Krisis Pangan, Kesehatan dan Kebebasan Berserikat di Perkebunan Kelapa Sawit

oleh | Agu 6, 2021 | Fokus, Kajian, Pangan dan Reproduksi Sosial

Foto: Buruh perempuan perawatan menaburkan pupuk pada salah satu kebun di Sumatera Utara. Kredit: RAN/ OPPUK/ Nanang Sujana.

Laporan Kondisi Buruh Kebun Sawit Indonesia dan Malaysia pada Masa Pandemi Covid-19

 

Lebih dari satu tahun sejak pandemi Covid-19 melanda di seluruh dunia, namun kondisi buruh kebun sawit di Indonesia dan Malaysia nyaris tidak ada perbaikan. Selama itu juga, buruh kebun sawit masih mengalami kesulitan pada tiga aspek kebutuhan mendesak, yaitu perlindungan kesehatan, jaminan pendapatan dan pekerjaan, serta pasokan makanan dan kebutuhan dasar.

Pandemi Covid-19 semakin jelas menunjukkan kerentanan yang selama ini dialami oleh buruh perkebunan kelapa sawit dan anggota keluarganya. Kondisi kerja buruk yang mulai banyak dilaporkan pada banyak publikasi semakin memburuk dengan adanya pandemi Covid-19. Misalnya, beban kerja rata-rata buruh perkebunan mengalami peningkatan di saat rata-rata upah semakin menurun. Pandemi Covid-19 juga telah memperbesar biaya hidup yang sebelumnya sudah tidak terjangkau oleh upah yang rendah.

Kami kembali mendesak seluruh pemerintah nasional dan perusahaan transnasional untuk betul-betul menaruh perhatian dan memastikan perlindungan bagi para pekerja, terutama dari dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Perusahaan wajib menempatkan kehidupan pekerja sebagai prioritas di atas keuntungan.

Kami bersama dengan serikat buruh terus melakukan pemantauan dan mendokumentasikan perkembangan masalah dan kondisi yang dihadapi oleh buruh perkebunan sawit pada konteks pandemi Covid-19. Melalui laporan ini, kami melaporkan sejumlah kondisi yang semakin mengkhawatirkan yang membutuhkan tindakan segera.

Metode pendokumentasian laporan ini bersumber pada data primer tuturan pengurus-pengurus serikat buruh perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam jaringan melalui proses wawancara. Para pengurus serikat buruh melakukan pemantauan dan mencatat laporan-laporan yang disampaikan oleh anggota-anggotanya yang tersebar di berbagai perkebunan kelapa sawit.

Laporan ini merupakan dokumen hidup yang akan terus dikembangkan berdasarkan perkembangan situasi di lapangan dan merupakan kelanjutan dari laporan-laporan jaringan sebelumnya: 

  1. Tanpa Pekerja, Dunia Akan Kolaps
  2. Pelanggaran Hak Dasar Buruh Dalam Rantai Pasok Global Industri Sawit
  3. Kondisi migran Indonesia yang dideportasi selama masa Covid-19 dari Sabah, Malaysia ke Indonesia

 

Perlindungan kesehatan: penyebaran infeksi, buruknya protokol kesehatan dan akses layanan kesehatan

Kasus penularan virus Covid-19 di area perkebunan sawit tampak tidak meledak seperti di perkotaan dan kawasan industri manufaktur. Tak heran jumlah kasus Covid-19 di kalangan buruh perkebunan sawit dilaporkan relatif kecil dibandingkan dengan buruh di sektor lain yang tinggal dan bekerja di perkotaan dan kawasan industri. Buruh perkebunan sawit tinggal tinggal di area  terpencil dan jauh dari perkotaan. Mereka juga hidup dikelilingi oleh ratusan hingga ribuan hektar area perkebunan dengan akses mobilitas dari dan ke dalam area kebun yang terbatas.

Namun demikian, situasi keterisolasian ini tidak membuat buruh perkebunan terbebas dari risiko penularan. Namun demikian, situasi keterisolasian ini tidak membuat buruh perkebunan sawit terbebas dari risiko penularan. Pada tahun 2020 saja misalnya, berdasarkan monitoring berita media, sejumlah buruh perkebunan sawit di kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan, kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah dan di Kalimantan Timur terpapar virus Covid 19. 

Saat ini, hingga rilis ini diterbitkan, sebanyak 33 orang buruh perkebunan sawit di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah diketahui tertular Covid-19. Kasus serupa juga ditemukan pada anggota GSBI di salah satu perkebunan di wilayah Papua Barat, di mana sebanyak 15 orang buruh perkebunan sawit terpapar. Sementara di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, satu anggota GSBI buruh perkebunan sawit terpapar Covid-19.

Di perkebunan milik Eagle High Plantation di Kalimantan Timur, sebanyak 3 orang buruh  pemanen dan perawatan diketahui terpapar Covid-19. Belum lama ini, ada satu orang buruh migran asal NTT yang bekerja di perkebunan milik PT. Golden Frame yang memasok buah untuk FELCRA di Sarawak, Malaysia meninggal akibat Covid-19 setelah sempat dipulangkan dan dirawat di Pontianak. Kasus lain ditemukan di perkebunan sawit milik Grup Minamas, sebanyak 1 orang buruh sedang dalam perawatan, sementara satu lainnya telah meninggal.

Di Malaysia, kasus penularan Covid-19 ditemukan di perkebunan milik Sabah Softwood Berhad, FGV dan Kretam Holding di Sabah. Kasus-kasus penularan yang diberitakan hampir tersebar di seluruh penjuru di wilayah Sabah, Malaysia seperti di perkebunan milik LSP Premiere di Kinabatangan dan Sandakan, dan perkebunan lain di daerah Baturong, Kunak, Matamba dan Lahad Datu.

Laporan jumlah buruh perkebunan sawit di Indonesia yang terpapar Covid-19 dikhawatirkan seperti fenomena gunung es. Kondisi dimana buruh perkebunan sulit mengakses uji PCR dan ketidakterbukaan perusahaan menimbulkan kekhawatiran jumlah buruh yang terpapar tidak diketahui pasti. Pemukiman buruh yang padat dan kewajiban mengikuti apel pagi berpotensi menjadikan virus ini lebih cepat menyebar.

Hidup di perkebunan sawit memperbesar risiko kesehatan dan efek samping lainnya dari pandemi. Buruknya infrastruktur jalan dan akses fasilitas publik telah lama menyulitkan buruh perkebunan sawit dan keluarganya mendapatkan layanan kesehatan, terutama jika terpapar oleh Covid-19. Sekalipun beberapa perusahaan menyediakan klinik di area perkebunan, namun seringkali layanan kesehatan yang diberikan serta tenaga medis amat tidak memadai.

Untuk mendatangi Puskesmas terdekat saja (biasanya terletak di wilayah Kecamatan), buruh perkebunan sawit di wilayah Kalimantan Timur misalnya rata-rata harus menempuh perjalanan sekitar 2-3 jam melewati jalanan yang rusak dan berlumpur. Tidak seperti di pulau Jawa, Puskesmas di banyak wilayah di Sumatera, Kalimantan dan pulau besar lainnya tidak mempunyai kapasitas untuk menyediakan obat-obatan untuk isolasi mandiri, memantau apalagi untuk merawat pasien Covid. 

Sekalipun fasilitas kesehatan dapat dijangkau, buruh perkebunan sawit harus menempuh perjalanan hingga belasan jam untuk mendapat perawatan yang memadai di rumah sakit di ibu kota kabupaten atau provinsi. 

Sementara di Malaysia, kebijakan diskriminatif terhadap ‘’Penduduk Asing Tanpa Izin’ (istilah lokal yang merendahkan pekerja migran) selama ini telah menghalangi buruh migran untuk mendapatkan layanan kesehatan dan fasilitas perawatan. Pemerintah telah lama menerapkan kebijakan biaya layanan kesehatan rumah sakit yang lebih tinggi bagi warga negara asing. 

Perlakuan tidak manusiawi lewat razia, penangkapan dan penyiksaan buruh migran tidak berdokumen telah menciptakan perasaan ketakutan dan teror di antara kalangan buruh migran. Sebagai hasilnya, pekerja migran iregular, termasuk anak migran, cenderung terkecualikan dalam sistem kesehatan di Malaysia. Pekerja migran juga terdorong untuk tidak melaporkan dan mencari pertolongan kepada otoritas setempat jika mengalami gejala Covid-19.

Kerentanan ini seolah tidak pernah diperhatikan oleh perusahaan perkebunan. Tidak hanya tidak pernah betul-betul menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai di tempat kerja, perusahaan juga tidak betul-betul mengambil langkah efektif dalam mencegah penularan Covid-19 di area perkebunan. 

Pengurus serikat pekerja melaporkan adanya rutinitas pemeriksaan suhu tubuh buruh dan penyemprotan desinfektan pada kendaraan yang masuk area perkebunan pada beberapa perusahaan. Namun demikian, apel pagi sampai sejauh ini masih diberlakukan hampir di seluruh perkebunan. Tentu ini sangat beresiko terhadap penyebaran virus. Sampai sejauh ini, belum ada informasi bahwa perkebunan sawit melakukan penyemprotan desinfektan terhadap areal pemukiman buruh. 

Perusahaan perkebunan di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, termasuk di Malaysia juga tidak menyediakan masker medis yang direkomendasikan oleh WHO dan peralatan kesehatan untuk mencegah penularan virus. Jangankan untuk membeli masker, vitamin dan asupan bergizi, kebutuhan dasar masih sulit dipenuhi akibat rendahnya upah yang diterima. Kenyataan ini hanya mengulang cerita buruknya standar kesehatan dan keselamatan kerja, terutama mengenai alat pelindung diri yang tidak pernah sesuai risiko kerja dan selalu tersedia setiap saat.

Buruh harian lepas, yang mayoritas perempuan adalah kelompok yang paling rentan. Jika sebelum pandemi kerentanan kesehatannya berasal dari paparan bahan kimia berbahaya (herbisida, pestisida dan pupuk kimia), kini para perempuan BHL itu menghadapi risiko tertular Covid-19. 

Para perempuan BHL pergi dan pulang kerja berhimpitan di atas truk penjemput tanpa fasilitas pelindung diri BHL tidak memadai. Perusahaan hampir tidak pernah menerapkan standar keselamatan yang memadai dan penyediaan alat perlindungan diri, termasuk masker pernapasan. Pemerintah seharusnya mewajibkan perkebunan sawit menyediakan fasilitas pencegahan untuk semua buruh tanpa memandang status hubungan kerja.

‘No work no pay’: ketidakpastian kerja dan upah yang memiskinkan

Hampir seluruh perusahaan perkebunan sawit mempekerjakan buruh dengan status harian lepas dalam jumlah yang signifikan, melebihi jumlah buruh dengan status permanen. Banyak perusahaan juga menerapkan sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil atau hari kerja. 

Mereka yang bekerja dengan status harian lepas dan dibayar berdasarkan satuan hasil atau satuan hari adalah kebanyakan pekerja bagian pemanenan, perawatan (penyemprotan dan pemupukan), pemungut biji, dan pekerjaan lapangan lainnya yang direkrut melalui perusahaan penyalur tenaga kerja. Hubungan kerja dan pendapatan yang tidak pasti ini belakangan semakin meluas dengan semakin berkurangnya pekerja berstatus tetap dan beralih ke kontrak berjangka tahunan dan lepas. 

Seiring dengan hubungan kerja yang semakin terinformalisasi dan teralih-dayakan, perusahaan tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada pekerja yang kontraknya di bawah agen perekrutan. Perekrutan buruh harian lepas juga memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya dengan menekan upah buruh dan tunjangan lainnya serendah-rendahnya.

Berdasarkan keterangan dari pengurus Serikat Pekerja Nasional di wilayah Kalimantan Timur, perkebunan milik PP London Sumatera dan Eagle High Plantation mengurangi hari kerja buruh harian lepas, dari semula 25 hari/ bulan menjadi 12-16 hari. Pengurangan hari kerja ini berdampak langsung pada penurunan pendapatan buruh lantaran upah hanya didapatkan saat perusahaan memberikan pekerjaan.

Di Sumatera Selatan, buruh kebun PT. Agro Kati Lama milik SIPEF Group hingga saat ini belum mendapati kondisi kerjanya berubah. Sejak awal perkebunan beroperasi pada 2011, ribuan BHL dipekerjakan dengan tidak menentu setiap bulannya. Para BHL ini, yang kebanyakan perempuan rata-rata mendapatkan upah hanya sekitar Rp 1,4 juta, tidak sampai setengahnya UMK Musi Rawas sebesar Rp. 3,1 juta. 

Menurut pengurus Serikat Buruh Sawit Sejahtera, dua bulan terakhir ini sebanyak 12 buruh pemanen berusia di atas 40 tahun diberhentikan dan digantikan dengan pekerja yang berusia lebih muda (yang kebanyakan berasal dari anggota keluarga si-pekerja yang diberhentikan)

Kondisi serupa dialami oleh buruh di perkebunan milik Sinar Mas di Kalimantan Tengah yang mengurangi buruh kontrak sambil menambah BHL. Di wilayah yang sama, perkebunan milik Wilmar Grup diketahui mempekerjakan buruh harian lepas selama bertahun-tahun melebihi dari ketentuan hukum.

Sementara di Kalimantan Tengah, pekerja kebun justru mengalami peningkatan beban kerja akibat pengurangan jumlah pekerja yang dilakukan oleh perusahaan. Kondisi ini dilaporkan terjadi pada kebun milik, anak perusahaan Sinar Mas. Pekerja bagian pemanenan kini diharuskan menggarap lahan seluas 4-5 hektar tiap harinya, dari sebelumnya hanya 2-3 hektar. Dengan bertambahnya beban kerja ini, pekerja dapat menghabiskan waktu kerja hingga 11-12 jam untuk memanen buah sawit.

Kondisi kerja buruk yang telah lama terjadi ini bahkan sebelum masa pandemi, telah lebih jauh mempersulit kondisi hidup buruh kebun dan keluarganya selama masa pandemi. Sebagaimana dijelaskan di bawah, hal ini terutama akibat kebijakan pembatasan mobilitas yang diumumkan pemerintah nasional dan diterapkan perusahaan tidak memperhatikan masalah keterisolasian buruh kebun sawit. 

 

Pembatasan mobilitas: masalah pangan dan pendidikan anak

Di sejumlah perkebunan sawit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, buruh kesulitan membeli bahan pokok dengan harga terjangkau. Pembatasan mobilitas yang diterapkan perusahaan menyulitkan buruh untuk membeli kebutuhan pokok dengan harga murah di luar area perkebunan. Akibatnya buruh harus membeli kebutuhan pokok di dalam areal perkebunan yang dimiliki atau diadakan perusahaan dengan harga lebih mahal. 

Contoh pada saat sebelum pandemi harga 1 kilogram gula putih Rp. 15.000-Rp. 16.000, sekarang berkisar Rp. 22.000-Rp. 25.000 per kilogram. Tidak jarang cerita buruh yang terpaksa berutang ke toko sembako yang difasilitasi perusahaan tersebut. Dalam beberapa kasus, situasi ini tampak seperti kerja paksa akibat ikatan utang.

Bukannya memastikan ketersediaan pangan yang murah, perusahaan justru memecat buruh yang dituduh melanggar protokol kesehatan. Sebanyak 14 buruh kebun milik Wilmar di Kalimantan Tengah dipecat atas alasan ‘melanggar’ protokol kesehatan saat hendak mencari bahan pangan di luar kebun. Sementara 7 orang buruh di perkebunan lainnya dipecat atas alasan tidak menggunakan masker, meski perusahaan itu sendiri tidak menyediakan masker medis gratis.

Sekalipun beberapa perusahaan mengizinkan buruh untuk keluar dari area perkebunan, mereka diwajibkan perusahaan untuk memberikan hasil tes PCR dengan biaya sendiri saat kembali. Dengan upah rata-rata di bawah UMK, bagaimana mungkin buruh kebun dapat mengambil tes PCR dengan tarif paling murah Rp. 900.000? Akibatnya para pekerja terpaksa terkurung dalam area perkebunan dengan akses kebutuhan dasar yang amat terbatas.

Dampak pandemi pada aspek pemenuhan kebutuhan pangan ini juga dirasakan masyarakat lokal. Perempuan petani di Kampar, Riau mayoritas tidak mempunyai lahan dan tengah dalam konflik dengan perusahaan milik Sinar Mas. Dalam kondisi pandemi beserta pembatasan mobilitas, para perempuan ini tidak mempunyai alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasarnya mengingat dirampasnya kesuburan lahan oleh perkebunan kelapa sawit.

Pada aspek pendidikan, pembatasan mobilitas yang ikut menghentikan kegiatan belajar mengajar di sekolah menambah beban yang harus ditanggung, terutama buruh perempuan. Kegiatan belajar jarak jauh yang mensyaratkan akses internet sulit diperoleh anak buruh kebun akibat buruknya infrastruktur internet, ketersediaan perangkat ponsel serta biaya internet.

Penyempitan Ruang Kebebasan berserikat

Selama lebih dari satu tahun pandemi, perusahaan justru mengambil manfaat dengan membatasi ruang gerak serikat. Salah satunya adalah dengan membatasi ruang gerak serikat buruh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Kalimantan Timur, 37 orang buruh dan keluarganya dipecat dan diusir perusahaan atas tuduhan menyebarkan Covid-19. Tuduhan ini muncul tanpa bukti serta diduga sebagai bentuk pemberangusan lantaran 37 orang buruh tersebut merupakan anggota serikat dan mengikuti aksi protes UU Omnibus Law yang banyak melayani kepentingan perusahaan.

Akibat pembatasan mobilitas oleh perusahaan, pengurus serikat tidak bisa memberikan bantuan dan menolong anggotanya yang tinggal di dalam area perkebunan serta untuk berunding dengan manajemen perusahaan untuk memastikan perlindungan bagi para pekerja. 

Dua kali Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran mengenai pembayaran THR tahun 2020 dan 2021 terbukti menjadi alat pengusaha untuk tidak memenuhi kewajiban pembayaran THR. Surat yang dikeluarkan oleh Menaker itu menyaratkan perusahaan untuk bernegosiasi dengan pekerja terkait pembayaran THR. Namun pada kenyataannya, negosiasi dengan pekerja tidak pernah betul-betul terjadi. Serikat pekerja tidak mempunyai kesempatan untuk meminta perundingan akibat minimnya akses ke perkebunan. Para pekerja tidak terlibat dalam keputusan perusahaan dengan tidak adanya proses perundingan.

Pandemi Covid-19 tidak lantas membuat perusahaan menghentikan tekanan-tekanan terhadap serikat buruh. Hal ini seperti yang dialami ketua dan sekretaris DPC GSBI dan DPC HUKATAN-KSSBI Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Perusahaan melaporkan buruh ke pihak kepolisian atas tuduhan penghasutan. Padahal, buruh dimaksud melakukan pendampingan aksi pemogokan. 

Selama masa pandemi, serikat-serikat buruh mengalami kendala dalam mengadvokasi anggotanya yang berkasus. Proses pengadilan atas masalah yang dialami buruh PT. Citra Agro Kencana anggota SPN terhenti akibat Pengadilan Hubungan Industrial tidak membuka layanan. Para buruh itu juga yang sempat mengungsi ke kantor Disnaker justru diusir untuk kedua kalinya oleh pejabat Disnaker karena dianggap mengganggu layanan publik. 

 

Pandemi Covid-19: pengusaha untung, pekerja buntung

Ketika menyangkut kewajibannya terhadap pekerja, perusahaan selalu menggunakan alasan perusahaan tengah merugi. Alasan ini juga selalu digunakan sebagai tameng perusahaan ketika mengurangi dan memberhentikan buruh permanen dan kontrak dan digantikan dengan buruh harian lepas. 

Bukan hanya tidak terdampak, industri kelapa sawit justru menikmati laba sepanjang masa Covid-19. Industri agrikultur, termasuk kelapa sawit dilaporkan sebagai sektor industri yang bertahan di tengah masa krisis saat ini, sebagaimana halnya pada krisis 1998 dan 2008. Pada masa awal pandemi pada Januari-Juni 2020, neraca perdagangan Indonesia justru mengalami surplus sebesar US$ 5,48 miliar. Surplus ini disumbangkan dari ekspor minyak sawit yang menyumbang devisa sebesar US$ 10,06 miliar atau sekitar Rp. 147 triliun, lebih besar 47 triliun dari tahun 2019. Selain itu, industri sawit selama lima tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dalam hal volume ekspor minyak sawit mentah dan turunannya. Harga jual minyak mentah di pasar global juga justru mengalami peningkatan dan sempat mencapai US$ 1.000 per ton pada Mei 2021.

Di saat perusahaan cenderung mengabaikan tindakan efektif pencegahan Covid-19 di lingkungan tempat kerja, anak perusahaan Sinar Mas di Kalimantan Timur dan perusahaan lain di berbagai tempat, di saat yang sama diketahui mengucurkan dana-dana CSR untuk penyediaan masker dan fasilitas lainnya untuk masyarakat setempat atau pemerintahan desa. 

Dalih pembatasan mobilitas telah mempersempit ruang gerak serikat buruh untuk menjalankan aktivitas organisasi. Sementara buruh dan serikat buruh dikekang, aturan tersebut tampak tidak berlaku jika menyangkut kepentingan perusahaan, termasuk mobilitas keluar-masuk area kebun para staf dan jajaran manajemen perusahaan. 

Baik di Indonesia maupun Malaysia, perusahaan masih melakukan perekrutan buruh kebun. Sepanjang masa pandemi 1,5 tahun terakhir, arus dan perlintasan perbatasan pekerja, baik domestik maupun internasional tampak tidak betul-betul terganggu. Menurut pengurus SPN Kaltim, perekrutan tersebut tidak betul-betul memperhatikan protokol kesehatan. 

Arus migrasi non-prosedural—yang didorong oleh kebutuhan industri sawit—di Nunukan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia tampak tidak betul-betul terpengaruh oleh kebijakan pembatasan mobilitas, mengingat masih beroperasinya jalur non-prosedural. Namun di saat yang sama, pemerintah nasional terus menyalahkan pekerja migran sebagai penyebar virus.

Pandemi Covid-19 juga ditunggangi pemerintah untuk mengubah dan mengesahkan undang-undang yang melayani kepentingan pengusaha. Di Indonesia, di saat pemerintah seharusnya mencurahkan seluruh upaya untuk melawan pandemi, UU Omnibus Law Cipta Kerja justru disahkan. Sementara di Malaysia, pemerintah terus menunda-nunda reformasi regulasi perburuhan yang diusulkan oleh serikat pekerja dan koalisi sipil.

Kami menilai bahwa situasi pelik yang dihadapi oleh buruh kebun sawit dan keluarganya tidak bisa dibiarkan. Kami mendesak pemerintah nasional dan perusahaan untuk segera memperbaiki kesalahannya dan bersungguh-sungguh menjamin perlindungan buruh kebun dan keluarganya dari dampak kesehatan maupun ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

Kepada pemerintah nasional, kami mendesak

  1. Untuk betul-betul memastikan pelayanan kesehatan universal untuk setiap pekerja dan keluarganya tanpa memandang status kewarganegaraan, kelas, etnis, dan ras. 
    1. Pemerintah harus mengadakan pemeriksaan massal dan vaksinasi gratis kepada seluruh pekerja dan keluarganya tanpa terkecuali tanpa persyaratan
    2. Pemerintah harus memperbanyak fasilitas kesehatan dan tenaga medis dengan memperhatikan prinsip hak asasi manusia
  2. Untuk mengalokasikan dan memprioritaskan anggaran negara, seperti pemotongan gaji dan tunjangan pejabat negara, dan untuk meningkatkan pendapatan dengan menambah kewajiban pajak bagi orang kaya dan industri.
  3. Untuk membatalkan seluruh undang-undang yang tidak berpihak dan merugikan rakyat, seperti Omnibus Law di Indonesia dan Health Circular di Malaysia.
  4. Pemerintah Malaysia untuk menghentikan seluruh operasi penangkapan terhadap buruh migran dan perlakuan tidak manusiawi selama proses penahanan di Pusat Tahanan Sementara. Pemerintah Indonesia harus memastikan proses pemulangan buruh migran dan keluarganya tidak melecehkan sedikit pun derajat kemanusiaan.
  5. Untuk memastikan penyediaan kebutuhan dasar, terutama makanan, obat-obatan, bantuan keuangan dan pendidikan anak dengan gratis dan tanpa terkecuali hingga pandemi berakhir
  6. Untuk menjamin tidak adanya pendekatan represif dalam memerangi Covid-19 selama masa kebijakan karantina berlangsung. Pemerintah tidak boleh mengerahkan aparat kekerasan dan mengkriminalisasi rakyat dan aktivis. Pemerintah harus menjamin partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam merancang dan mengimplementasikan respons gawat darurat.

Kami menuntut perusahaan, terutama perusahaan transnasional untuk

  1. Memastikan implementasi tindakan yang diperlukan pada standar tertinggi di seluruh bagian rantai pasok perusahaan, baik anak perusahaan maupun bukan anak perusahaan.
  2. Perusahaan harus menjamin pemenuhan hak buruh dan migran selama dan setelah masa pandemi berakhir. Pemenuhan hak buruh migran harus didasarkan pada standar tertinggi hak asasi manusia dan melampaui standar kebijakan negara.
  3. Perusahaan harus memastikan ketahanan pangan buruh migran dan keluarganya beserta masyarakat lokal termasuk ketersediaan pangan yang murah dan bergizi, vitamin dan buah-buahan, termasuk kebutuhan air bersih.
  4. Perusahaan harus menyediakan fasilitas dan alat kesehatan seperti masker medis terstandar dan akses layanan kesehatan yang memadai dan mudah dijangkau selama dan setelah masa pandemi berakhir.
  5. Perusahaan wajib memantau kondisi kesehatan buruh dan keluarganya dengan memfasilitasi dan menanggung biaya tes usap PCR dan/ atau antigen gratis terlepas dari apapun hasilnya.
  6. Perusahaan wajib memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup buruh dan keluarganya yang tertular Covid-19, dalam masa pemulihan maupun kompensasi jika nyawa buruh dan keluarganya tidak tertolong.
  7. Perusahaan wajib menyelenggarakan vaksinasi untuk buruh kelapa sawit dan keluarganya beserta dengan edukasi tentang pentingnya vaksinasi dengan bekerja sama dengan pemerintah setempat.

 

6 Agustus 2021

Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) adalah jaringan kerjasama lintas organisasi yang menaruh perhatian pada isu keberlangsungan industri kelapa sawit. Jaringan TPOLS terdiri dari organisasi serikat buruh, kelompok lingkungan berkeadilan, organisasi perempuan, Pejuang HAM dan perburuhan, kelompok buruh migran, dan kelompok akademisi.

Kontak: [email protected]

Pin It on Pinterest