Kondisi migran Indonesia yang dideportasi selama masa Covid-19 dari Sabah, Malaysia ke Indonesia (Juni 2019-September 2020) [Laporan Tim Pencari Fakta]

oleh | Jan 27, 2021 | Laporan dan Publikasi

Ringkasan Laporan:

Laporan ini adalah hasil penelusuran tim pencari fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mengenai pemulangan lebih dari 1.082 (data Juni-September 2020) buruh migran Indonesia pada masa pandemi Covid-19, dari Sabah, di Malaysia, ke Indonesia. Laporan membatasi pengamatan pada kurun Juni 2019 hingga September 2020. Namun demikian, gelombang pemulangan buruh-buruh migran Indonesia beserta keluarganya, secara mencolok sebagian besar adalah buruh perkebunan sawit, masih berlangsung hingga laporan ini dituliskan. 

Tim mengamati bahwa penanganan Covid-19, baik di Sabah, Malaysia, maupun di Indonesia, telah mengabaikan keselamatan dan hak asasi manusia dari buruh migran Indonesia beserta keluarganya. Alih-alih pemulangan segera ke Indonesia, buruh-buruh migran yang tidak memiliki dokumen mengalami penahanan berkepanjangan di Pusat Tahanan Sementara (PTS), atau Depo Imigrasi, di Sabah, Malaysia karena prosedur deportasi yang rumit. Pemulangan segera juga terhambat oleh keputusan pemerintah Indonesia, khususnya oleh permintaan Gubernur Kalimantan Utara kepada otoritas di Sabah, untuk menunda deportasi dengan alasan ketiadaan dana untuk menerima 

deportan, dengan mematuhi prosedur penanganan Covid-19, di wilayah perbatasan Nunukan. Para deportan akhirnya mengalami penyiksaan lebih lama dalam PTS, yang sudah menjadi problem sejak lama.

Penelusuran kami menunjukkan bahwa:

• Sejak proses penangkapan, penyidikan sampai peradilan, hampir tidak ada satupun prinsip peradilan yang adil dipenuhi oleh otoritas penegak hukum di Sabah. Tidak ada satupun deportan yang pernah didampingi oleh penasehat hukum, di hadapan pengadilan seluruh tersangka hanya memiliki pilihan untuk mengakui kesalahan, dan tidak ada satupun dari deportan yang pernah menerima dokumen peradilan atas diri mereka sendiri.  

• Para deportan yang ditahan di PTS telah mengalami berbagai macam perlakuan dan penghukuman yang tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan. 

• Para deportan yang ditahan di PTS telah mengalami pemerasan, perampasan atas benda milik pribadi, dan eksploitasi terhadap deportan anak.

• Tinggal berdesak-desakan di fasilitas penahanan, membuat para deportan rentan terpapar Covid-19, menyebabkan mereka menderita berbagai macam sakit fisik dan gangguan kesehatan mental. Sebagian tahanan adalah perempuan, anak-anak, dan lanjut usia; dan fasilitas penahanan tidak menyediakan fasilitas dan pertolongan khusus bagi perempuan hamil. 

• Penundaan deportasi menyebabkan para migran -yang sebenarnya telah menjalani  penghukuman karena pelanggaran imigrasi, dan karena itu harus disebut sebagai orang bebas- harus mendekam lebih lama di PTS di Sabah. 

• Keterangan yang terkumpul mengindikasikan bahwa berbagai macam perlakuan dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan di PTS Sabah bukanlah merupakan kasus-kasus individual semata, melainkan sudah berlangsung secara rutin selama bertahun-tahun, mengambil korban ribuan buruh migran; sementara para pelakunya dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. 

Persoalan belum berakhir ketika para tahanan, sesudah proses administrasi deportasi yang kompleks dan tidak efisien, dideportasi melalui pelabuhan Nunukan ke Indonesia. Kegagalan pemerintah Indonesia mengantisipasi gelombang pemulangan buruh migran yang sebesar ini, termasuk lemahnya koordinasi antar pemerintah propinsi dan antar instansi, menyebabkan:

• Lemahnya kerja sama antar lembaga pemerintah menyebabkan BP2MI seakan-akan bekerja sendirian dengan sumber daya terbatas, dan tidak dapat mengakses berbagai sumber daya yang berada di luar kewenangannya. 

• Minimnya layanan kesehatan bagi deportan selama proses pemulangan, termasuk tidak tersedianya layanan penanganan kesehatan mental

• Para deportan khususnya asal NTT, alih-alih segera diberangkatkan ke tempat tujuan masing-masing, tertahan berhari-hari di tempat penampungan yang disediakan UPT BP2MI di Makassar. 

• Fasilitas penampungan juga tidak memiliki fasilitas bagi deportan anak-anak dan orang lanjut usia yang memerlukan penanganan khusus.

• Kegagalan memahami deportan sebagai korban kekerasan dan penghukuman yang tidak manusiawi, menyebabkan tidak tersedianya layanan dan penanganan khusus untuk deportan yang kelelahan, ketakutan, dan mengalami gangguan psikologis. 

 

Berdasarkan seluruh temuan yang disebutkan di atas, KBMB mendesak kepada pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk mengambil segala langkah yang diperlukan; meliputi reformasi kebijakan, hukum, dan administrasi, serta mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk perbaikan layanan, guna: 

• Menghentikan segera segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

• Mencegah penahanan yang berlarut-larut dan memastikan proses deportasi yang singkat dan menghormati segenap hak yang melekat pada semua deportan. 

• Memastikan seluruh tahapan proses pemulangan selalu memperhatikan kondisi kesehatan para deportan dengan mengedepankan prinsip-prinsip keselamatan manusia. 

Unduh laporan lengkap (PDF)

Pin It on Pinterest