Lindungi Buruh Perkebunan Sawit dari Ancaman Covid-19

oleh | Agu 8, 2021 | Solidaritas

Foto: Pemanen sedang memotong tandan buah sawit; Kredit: RAN/OPPUK/Nanang Sujana,

Siaran pers

Jakarta, 8 Agustus 2021, Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) melihat kondisi buruh perkebunan sawit semakin memburuk dengan adanya pandemi Covid-19. “Selama pandemi Covid-19, buruh perkebunan sawit mengalami kesulitan pada tiga aspek utama yaitu perlindungan kesehatan, jaminan pendapatan dan pekerjaan, serta akses terhadap kebutuhan pokok. Pandemi Covid-19 semakin jelas menunjukkan kerentanan yang selama ini dialami oleh buruh perkebunan sawit”, kata Rizal Assalam, Koordinator TPOLS.

Zidane dari Sawit Watch menyatakan situasi keterisolasian perkebunan sawit tidak membuat buruh terbebas dari risiko terpapar. “Pada tahun 2020 saja misalnya, sejumlah buruh perkebunan sawit dilaporkan terpapar virus Covid 19. Sepanjang Juli lalu, kami menerima informasi sejumlah buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Papua terpapar covid -19. Jika dikalkulasi jumlahnya mencapai lebih dari 150 kasus,” kata Zidane

Laporan jumlah kasus di buruh perkebunan sawit tampak tidak sebanyak di perkotaan. Namun, angka sesungguhnya berpotensi lebih besar. “Kami mengkhawatirkan laporan jumlah buruh perkebunan sawit di Indonesia yang terpapar Covid-19 seperti fenomena gunung es. Kondisi dimana buruh perkebunan sawit sulit mengakses uji PCR, alat pelindung diri yang tidak memadai dan ketidakterbukaan perusahaan menimbulkan kekhawatiran jumlah buruh yang terpapar tidak diketahui pasti,” sambung Zidane.

Perkebunan sawit seperti di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan tidak menyediakan masker medis yang direkomendasikan oleh WHO dan alat pelindung diri untuk mencegah penularan virus. “Situasi ini mengulang cerita buruknya standar kesehatan dan keselamatan kerja, terutama mengenai alat pelindung diri yang tidak pernah sesuai risiko kerja dan selalu tersedia setiap saat,” kata Ismet Inoni dari GSBI.

Lebih jauh menurut Ismet, “Sebagian besar pekerjaan di perkebunan sawit adalah pekerjaan dimana buruhnya berjarak satu sama lain, namun itu jangan dijadikan alasan sehingga perusahaan lalai memenuhi kewajibannya mencegah penyebaran dan meminimalisir resiko terpapar.”

Dianto Arifin dari SEPASI menyatakan selama pandemi covid -19 buruh kesulitan membeli bahan pokok dengan harga terjangkau. “Pembatasan mobilitas yang diterapkan perusahaan menyulitkan buruh untuk membeli kebutuhan pokok dengan harga murah di luar area perkebunan. Akibatnya buruh harus membeli kebutuhan pokok di dalam areal perkebunan dengan harga lebih mahal,” kata Dianto Arifin.

Pada banyak kasus, pemukiman buruh yang padat dan kewajiban mengikuti apel pagi berpotensi menjadikan virus ini lebih cepat menyebar. “Selain itu, buruknya infrastruktur jalan dan akses fasilitas publik telah lama menyulitkan buruh perkebunan sawit dan keluarganya mendapatkan layanan kesehatan, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19,” ujar pengurus Serikat Pekerja Nasional wilayah kalimantan Timur Kornelis WG.

Buruh perempuan merupakan kelompok yang paling rentan. Menurut Kornelis, “Buruh harian lepas, yang mayoritas perempuan adalah kelompok yang paling rentan. Perempuan BHL pergi dan pulang kerja berhimpitan di atas truk penjemput dan bekerja tanpa alat fasilitas pelindung diri yang memadai.”

Di Sabah, Malaysia, kasus penularan Covid-19 ditemukan di perkebunan milik Sabah Softwood Berhad, FGV dan Kretam Holding, perkebunan milik LSP Premiere di Kinabatangan dan Sandakan, dan perkebunan sawit lain di daerah Baturong, Kunak, Matamba dan Lahad Datu.

“Kebijakan diskriminatif terhadap ‘’Penduduk Asing Tanpa Izin’ selama ini telah menghalangi buruh migran untuk mendapatkan layanan kesehatan dan fasilitas perawatan. Pemerintah Malaysia telah lama menerapkan kebijakan biaya layanan kesehatan rumah sakit yang lebih tinggi bagi warga negara asing,” ungkap Suryani dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat.

Koalisi juga melakukan pemantauan dan penelusuran terkait masalah deportasi buruh migran tidak berdokumen. Hasil pemantauan menggambarkan perlakuan buruk dan ketakutan yang dialami oleh para buruh migran. 

Perlakuan tidak manusiawi lewat razia, penangkapan dan penyiksaan buruh migran tidak berdokumen telah menciptakan perasaan ketakutan di kalangan buruh migran. Sebagai hasilnya, pekerja migran iregular, termasuk anak migran, cenderung terkecualikan dalam sistem kesehatan di Malaysia. Buruh migran juga terdorong untuk tidak melaporkan dan mencari pertolongan kepada otoritas setempat jika mengalami gejala Covid-19,” Suryani menambahkan.

TPOLS melihat pandemi Covid-19 justru ditunggangi pemerintah untuk mengubah dan mengesahkan undang-undang yang melayani kepentingan pengusaha. “Di Indonesia, di saat pemerintah seharusnya mencurahkan seluruh upaya untuk melawan pandemi, UU Omnibus Law Cipta Kerja justru disahkan. Sementara di Malaysia, pemerintah terus menunda-nunda reformasi regulasi perburuhan yang diusulkan oleh serikat pekerja dan koalisi sipil,” kata Rizal Assalam. 

TPOLS menilai bahwa situasi pelik yang dihadapi oleh buruh perkebunan sawit sawit dan keluarganya tidak bisa dibiarkan. “Kami mendesak pemerintah nasional dan perusahaan untuk bersungguh-sungguh menjamin perlindungan buruh dan keluarganya dari dampak kesehatan maupun ekonomi akibat pandemi Covid-19. Secara khusus kami meminta pemerintah Malaysia untuk menghentikan seluruh operasi penangkapan terhadap buruh migran dan perlakuan tidak manusiawi selama proses penahanan di Pusat Tahanan Sementara. Pemerintah Indonesia harus memastikan proses pemulangan buruh migran dan keluarganya tidak melecehkan sedikit pun derajat kemanusiaan,” kata Rizal Assalam. 

 

Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) adalah jaringan kerjasama lintas organisasi yang menaruh perhatian pada isu keberlangsungan industri kelapa sawit. Jaringan TPOLS terdiri dari organisasi serikat buruh, kelompok lingkungan berkeadilan, organisasi perempuan, Pejuang HAM dan perburuhan, kelompok buruh migran, dan kelompok akademisi.

 

Kontak: [email protected]

Pin It on Pinterest