Industri sawit seringkali memicu konflik lahan dengan masyarakat. Foto: Petani masyarakat lokal memblokade jalan akses perkebunan sawit dan mengadakan aksi simbolik menumpahkan darah babi di jalan, Kalimantan Barat, Indonesia © Irendra Radjawali
Bentang Alam Mosaik (Kebun-Kebun Kecil) sebagai Visi Transformatif untuk Industri Sawit – Hak atas Lahan dan Ekologi
Di antara sekian banyak dampak lingkungan dan sosial yang paling merugikan dari kegiatan industri sawit, ada beberapa yang diakibatkan oleh begitu banyaknya tumbuhan sawit yang dibudidayakan oleh perusahaan nasional dan transnasional dalam perkebunan monokultur skala besar. Cara pandang yang digunakan dalam hal ini tentunya adalah pemaksimalan keuntungan secara jangka pendek yang disertai dengan pengabaian permasalahan ekologi dan sosial serta biaya jangka panjang yang muncul sebagai akibatnya.
Sebagai alternatif dari keadaan status quo saat ini, kami merumuskan masa depan sawit yang berdasarkan atas lanskap mosaik berbasis hak, di mana hal ini akan lebih berkelanjutan secara ekologis, menghormati hak-hak masyarakat, dikembangkan tanpa menghilangkan kepemilikan tanah oleh masyarakat setempat, dan menyediakan ruang bagi beragam ekonomi petani, dan di mana sawit dibudidayakan di antara tanaman-tanaman komoditas lain dan menciptakan alternatif mata pencaharian.
Apa yang dimaksud dengan bentang alam mosaik?
Ada banyak kelompok masyarakat adat dan petani lokal yang menghuni dataran tinggi berhutan dan kawasan-kawasan pedalaman di pulau-pulau Indonesia. Mereka telah melestarikan hutan dan mempraktikkan mata pencaharian berkelanjutan. Hal ini dicirikan dengan beragam portofolio ekonomi yang meliputi pertanian subsisten, produksi tanaman komersial, peternakan, agroforestri, dan pengumpulan sumber daya hutan yang tumbuh liar.
Hasil dari diversifikasi ekonomi ini adalah lanskap yang mirip mosaik (pecahan), yang terdiri dari ladang, kebun skala kecil, taman hutan, pertumbuhan sekunder tanaman dari berbagai usia dan perlindungan hutan primer yang tersisa. Pengakuan atas tanah masyarakat adat dan penduduk setempat serta hak pengelolaan sangat penting untuk mencapai lanskap mosaik.
Apa manfaatnya bagi lingkungan?
Suatu lanskap mosaik terdiri dari kawasan-kawasan budidaya intensif dan unsur-unsur (semi-) alami, seperti petak hutan sekunder atau primer yang tersisa. Unsur-unsur (semi-) alami ini, bahkan jika hanya merupakan sebagian kecil saja dari total luas kawasan, seringkali menyediakan habitat bagi sebagian besar keanekaragaman hayati lanskap tersebut.
Keanekaragaman tanaman pada bentang alam mosaik mendukung keanekaragaman hayati, sementara kanopi yang lebih rapat mencegah pengeringan tanah. Selanjutnya, teknik tumpang sari dan pertanian organik dapat membantu mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia (herbisida, pestisida dan pupuk). Bentang alam mosaik juga dapat mencegah terjadinya penebangan habis di bagian kawasan hutan yang luas dan justru menyertakan pola budidaya bergilir.
Berbekal pengetahuan ekologi tradisional yang dimilikinya, masyarakat adat dan penduduk setempat telah melestarikan hutan, keanekaragaman hayati dan karbon yang tersimpan di pepohonan secara efektif. Bentang alam mosaik berbasis hak dengan pengakuan formal atas hak atas tanah mereka memastikan kelanjutan perlindungan hutan.
Apa manfaat hal ini bagi masyarakat adat?
Masyarakat adat meraih manfaat dari lanskap mosaik karena sesuai dengan pola tradisional penggunaan lahan dan hutan yang telah lama diterapkannya. Dengan cara ini, terjadi perampasan dan pemindahan untuk pembangunan perkebunan skala besar tidak akan. Sebaliknya, hak adat akan diakui dan masyarakat adat akan memiliki kesempatan untuk memasukkan sawit ke dalam berbagai aset/portofolio ekonominya.
Hal ini akan menyelamatkan masyarakat adat agar tidak menjadi pekerja upahan yang hidup dengan ketergantungan dan, sebaliknya, membuat mereka mampu tetap menjadi petani swadaya. Bentang alam mosaik tidak hanya akan mendukung nilai-nilai lokal kemandirian hidup (self determination), akan tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan.
Apa manfaat hal ini bagi petani pemilik lahan?
Sekitar 40% sawit di Indonesia dibudidayakan oleh petani, baik sebagai peserta dalam berbagai skema petani (yang lebih atau kurang menguntungkan) atau sebagai produsen mandiri (Li 2015: 2). Kepemilikan lahan sawit oleh petani secara resmi didefinisikan sebagai kepemilikan tanaman komersial yang dilakukan di atas lahan dengan luas di bawah angka yang diwajibkan untuk memiliki izin usaha perkebunan, yakni 25 hektar (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.1401.2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan).
Akan tetapi ukuran plot standar yang dialokasikan untuk satu KK di bawah sebagian besar skema petani sawit yang mengikat adalah 2 hektar. Tanpa sumber pendapatan tambahan, sulit bagi petani untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dengan 2 hektar kebun sawit. Selain itu, persyaratan di banyak skema petani yang sangat tidaklah menguntungkan sehingga petani akhirnya memiliki tumpukan utang yang hampir tidak dapat mereka lunasi.
Oleh karena itu, lanskap mosaik yang kami usung didasarkan pada kepemilikan kebun plasma sawit mandiri (bukan berskema petani terikat dengan perkebunan). Masyarakat akan memiliki keuntungan ekonomi dari diversifikasi dan keuntungan dari ketahanan ekonomi yang tercipta. Mereka tidak bergantung hanya pada satu jenis tanaman saja sehingga akan lebih mampu mengimbangi perubahan harga dan permintaan yang ada, di samping juga menanam tanaman pangan untuk konsumsi sendiri.
Keuntungan jangka pendek vs. manfaat jangka panjang
Pendukung model perkebunan industrial tentu akan merasa terganggu dengan adanya fakta bahwa produksi sawit dalam lanskap mosaik ini jauh lebih tidak menguntungkan sistem monokultur. Mengingat adanya krisis produksi berlebih di industri saat ini, strategi yang hanya berfokus pada hasil yang lebih tinggi per hektar adalah pandangan yang sempit.
Pendekatan lanskap mosaik beserta diversifikasi ekonominya mengikuti berbagai nilai yang ada dan mempertimbangkan berbagai ukuran pula. Diversifikasi portofolio ekonomi akan memberikan pendapatan yang stabil dan berketahanan bagi petani mandiri yang memiliki tanah sendiri, sehingga akan menghindari terciptanya penambahan populasi petani yang tidak memiliki lahan.
Di masa yang akan datang, hal ini juga akan mengurangi biaya-biaya yang timbul dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan serta mendukung ketahanan pangan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Fungsi sosial dan ekologis ini tidak dapat diukur semuanya melalui istilah moneter. Akan tetapi jelas terlihat bahwa bahkan jika petani memproduksi sawit dalam jumlah yang lebih sedikit secara keseluruhan, petani memiliki nilai yang mutlak sangat diperlukan untuk masa depan Indonesia.
Jalan menuju lanskap mosaik
Meskipun lanskap mosaik sejalan dengan tuntutan masyarakat adat dan gerakan keadilan lingkungan akan pengakuan hak atas tanah dan konservasi berbasis hak, masih diperlukan lebih banyak diskusi tentang bagaimana cara menjadikannya sebagai ide yang menarik bagi pekerja.
Reforma agraria yang memecah skema monokultur skala besar dan mengembalikan kawasan konsesi kepada pemilik tanah setempat dapat mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara signifikan.
Bagaimana cara model lanskap mosaik ini nantinya dalam menyerap pekerja? Sanggupkah model ini memberikan mata pencaharian alternatif bagi pekerja?
Salah satu kemungkinannya adalah memasukkan pekerja sebagai pihak yang menerima redistribusi lahan dari kawasan perkebunan sehingga menjadikan mereka sebagai petani sawit yang dapat melakukan diversifikasi tanaman dalam jangka panjang.
Kemungkinan lainnya adalah perampingan dan restrukturisasi pengelolaan perkebunan yang ada saat ini menjadi lanskap mosaik dan mengubah model dampak ekologi dan sosial yang tidak sanggup diatasi oleh model monokultur saat ini. Pekerja akan tetap bekerja di perusahaan sawit, akan tetapi mereka akan mengelola beragam lanskap berupa unit kecil agroforestri sawit (lihat di bawah). Tetapi struktur kepemilikan juga dapat diajak untuk mengalihkan perkebunan atau Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menjadi koperasi.
Meninggalkan ekonomi perkebunan secara total dan beralih ke ekonomi rendah karbon dapat menjadi pilihan ketiga. Pekerja dapat dilatih dan dipekerjakan dalam konservasi dan pemulihan/restorasi berbasis masyarakat dengan menawarkan pekerjaan jangka panjang dan jaminan sosial. Pekerja yang berasal dari masyarakat yang bergantung pada hutan sudah memiliki pengetahuan dan keahlian ekologi untuk ditawarkan, di mana hal ini sebelumnya tidak dihargai.
Cara-cara yang dapat dilakukan ini bisa dilakukan secara sekaligus. Pada akhirnya, cara-cara ini perlu dijelajahi oleh para buruh dan dalam interaksinya dengan Masyarakat Adat dan gerakan keadilan lingkungan. Lanskap mosaik perlu menawarkan cara yang jelas untuk keadilan sosial dan ekonomi sehingga pekerja tidak lagi mengalami eksploitasi dalam visi yang baru.
Bentang Alam Mosaik sebagai Visi Transformatif bagi Industri Sawit – Hak Pekerja dan Keadilan Sosial
Karena dihadapkan pada tuntutan dari masyarakat adat dan gerakan keadilan lingkungan, beberapa perusahaan sawit besar menanggapinya dengan membentuk skema sertifikasi RSPO dan inisiatif serupa yang menangani masalah branding. Namun skema ini tetapi tidak mengubah model dasar bisnis yang merusak.
Terkait indikator utama kelestarian lingkungan, seperti penghentian ekspansi lebih lanjut, alternatif untuk monokultur berskala besar, strategi untuk produksi netral karbon, atau penghentian penggunaan pestisida, perusahaan-perusahaan cenderung memilih tetap diam, bimbang atau sepenuhnya menentang (Pye 2016).
Posisi perusahaan tersebut didasari alasan alasan bahwa setiap orang yang dipekerjakan di sektor ini berada dalam posisi kepentingan yang sama dengan perusahaan—mempertahankan bisnis dan lapangan pekerjaan, Perusahaan berusaha untuk menarik perwakilan tenaga kerja dan pekerja untuk menentang peraturan-peraturan lingkungan, misalnya dalam upaya mencegah berlakunya undang-undang yang lebih ketat tentang subsidi bahan bakar nabati di Uni Eropa.
Namun dari perspektif perburuhan, pekerja dan pihak manajemen/pemilik berdiri pada posisi yang justru bertolak belakang. Perusahaan tidak hanya mengatur pekerja dan menentukan kondisi kerja, akan tetapi juga ekstraksi dan penggunaan sumber daya alam, sehingga ini berarti ekstraksi lingkungan. Kekuatan korporasi untuk menjalankan kepentingannya (memaksimalkan keuntungan, akumulasi, menekan biaya produksi, dan bersaing di pasar global) telah mendorong terjadinya kesenjangan antara kebutuhan lingkungan dan pekerja.
Meskipun pada faktanya, alam dan pekerja sama-sama dieksploitasi oleh kapital. Pihak manajemen dan pemilik perusahaan bertanggung jawab langsung atas upah rendah di sektor ini, kondisi kerja dan kontrak yang tidak menentu, upah borongan yang memaksa pekerja untuk mengikutsertakan anggota keluarganya ke dalam pekerjaan perkebunan, lingkungan kerja yang tidak sehat, dll.
Jika kepentingan pekerja dan modal sangat berbeda dalam persoalan-persoalan sosial, maka apakah pekerja mempunyai kepentingan yang berbeda persoalan lingkungan? Menurut kami, kepentingan pekerja dan modal bekerja mengikuti logika yang sama sekali berbeda.
Walaupun tujuan utama industri sawit adalah meningkatkan keuntungan sehingga terjadi kenaikan terus menerus pada volume sawit, para pekerja terutama berkepentingan pada reproduksi sosialnya, yaitu upah hidup layak dan jaminan tetap bekerja agar dapat menghidupi orang-orang yang mereka cintai.
Selain itu, dampak perubahan iklim pada sektor perkebunan mungkin akan membuat pekerja tidak dapat menghindari terjadinya transisi bagi pekerja perkebunan. Hal ini lantaran suhu ekstrem akan menjadikan pekerja perkebunan sebagai kelompok yang berisiko tinggi terhadap paparan stres akibat panas (heat stress) yang akan memperburuk keadaan yang sudah tidak setara dan perpindahan posisi yang terjadi (ILO 2019).
Yang menjadi kekhawatiran utama bagi pekerja adalah bahwa peraturan yang lebih ketat yang dikenakan pada industri sawit atau perampingan industri dapat menyebabkan PHK. Kekhawatiran lainnya adalah beban kerja yang mereka hadapi, yang saat ini sudah terlalu berat, bisa menjadi lebih berat. Sementara, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, dimulai dari upah layak yang belum terselesaikan dalam mode produksi yang saat ini tidak berkelanjutan.
Bisakah perspektif bentang alam mosaik memberikan solusi? Bagaimana caranya agar tuntutan-tuntutan ekologis yang utama dapat diselaraskan dengan kepentingan pekerja? Dan perbaikan sosial apa yang perlu dimasukkan dalam perspektif transformasi sosial-ekologis?
Tabel berikut ini merangkum beberapa persoalan dan potensi sinergi antara posisi para pendukung lingkungan dan kemungkinan tanggapan oleh tenaga kerja dalam hal ini.
Tabel 1. Potensi Sinergi yang dapat dicapai antara Keadilan Lingkungan dan Pekerja dari Perspektif Transisi yang Adil
Patokan Utama dalam Bidang Lingkungan | Kemungkinan Posisi Pekerja |
1. Menghentikan ekspansi lebih lanjut (Deforestasi, Lahan Gambut, Keanekaragaman Hayati) | Penghentian ekspansi lebih lanjut dapat berarti mengurangi pekerjaan di masa yang akan datang, tetapi tidak ada pengurangan untuk pekerja saat ini. Potensi kehilangan pekerjaan secara keseluruhan dapat diatasi dengan pengurangan jam kerja di seluruh industri. |
2. Lanskap mosaik yang menggantikan monokultur skala besar | Lanskap mosaik akan jauh lebih padat karya dan akan membutuhkan pekerjaan yang lebih terampil. Kelompok petani dapat bekerja dengan mereka yang sebelumnya dipekerjakan sebagai buruh/pekerja perkebunan perusahaan. Bentuk kerja sama petani dan mantan buruh ini dapat mendorong transisi dari pekerja upahan ke petani pemilik lahan. |
3. Perlindungan bagi hak masyarakat adat atas lahan dan mata pencaharian mereka | Perampingan untuk mencapai lanskap mosaik dapat mengembalikan tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat adat sekaligus menyediakan pekerjaan pengelolaan lahan dengan keterampilan tinggi bagi para pekerja. Dalam pemecahan perkebunan perusahaan secara lebih radikal, pekerja harus disertakan menjadi penerima manfaat dari reforma agraria dalam lanskap mosaik pasca perkebunan. |
4. Pupuk organik yang menggantikan pupuk kimia NPCO | Sifat dari transisi menuju praktik lahan yang ekologis adalah lebih padat karya dan ini membutuhkan para pekerja yang terampil. Bentuk transisi ini dapat dimasukkan sebagai salah satu tuntutan serikat pekerja yang meminta penyediaan lebih banyak pekerjaan permanen dan mengakui pekerjaan perawatan sebagai pekerjaan yang memerlukan keterampilan tinggi dan permanen. |
5. Manajemen Hama Terpadu (Integrated Pest Management) yang menggantikan penggunaan herbisida dan pestisida, di mana hal ini penting bagi keanekaragaman hayati dan kesehatan | Karena penggunaan herbisida telah terbukti berdampak pada kesehatan pada pekerja perempuan, maka hal ini harus menjadi tuntutan utama di serikat pekerja. Manajemen Hama Terpadu membutuhkan pekerjaan permanen yang lebih terampil dan dengan upah yang lebih baik bagi perempuan yang saat ini dieksploitasi dalam kontrak harian yang statusnya tidak menentu. |
6. Pengolahan Limbah Cair PKS (Palm Oil Mill Effluent/POME) menjadi metana dan pupuk organik (model produksi sirkuler) sebagai langkah penting dalam mencapai netralitas karbon | Pengenalan model produksi sirkuler untuk industri minyak sawit membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi. Serikat pekerja harus menuntut dilakukannya hal ini secara proaktif, disertai dengan kursus pelatihan kerja yang dihitung sebagai kerja dibayar |
7. Produksi yang lebih rendah secara umum untuk mencapai produksi yang lebih lestari (contohnya tanpa bahan bakar nabati) | Dari perspektif pekerja, pertumbuhan volume secara tidak terbatas adalah kontraproduktif, yang menyebabkan terjadinya krisis di mana produksi menjadi berlebih sehingga harganya jatuh. Volume yang lebih kecil dan disertai dengan produksi yang sifatnya lebih padat karya (lebih banyak pekerjaan untuk setiap ton CPO yang diproduksi) adalah posisi yang menguntungkan bagi pekerja. |
Jika kita menyoroti dua pertentangan paling menonjol antara gerakan keadilan lingkungan dan gerakan buruh, yaitu antara penghentian ekspansi perkebunan dan upah hidup layak, maka kita akan dapat langsung melihat hubungan antara dua tuntutan ini.
Semakin tinggi upah pekerja, akan semakin sedikit keuntungan teramat besar yang bisa dihasilkan di industri. Modal akan mengalir masuk ke perkebunan baru karena perkebunan tersebut memiliki tingkat pengembalian modal yang begitu tinggi. Jika dikurangi dan dibuat lebih sesuai kewajaran melalui upah yang jauh lebih tinggi, maka ini akan mengurangi beberapa tekanan investasi yang mendorong pembukaan lebih banyak lahan dan hutan untuk pengembangan sawit.
Akan tetapi bagaimana dengan undang-undang yang menghambat izin pembukaan lahan perkebunan baru? Bukankah ini akan mencegah terciptanya lapangan kerja baru?
Dari perspektif buruh, mempertahankan pekerjaan yang ada saat ini perlu lebih diprioritaskan daripada potensi pekerjaan baru. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi serikat pekerja untuk mendukung perluasan perkebunan baru sebelum perkebunan tersebut didirikan.
Pada saat yang sama, hilangnya potensi pekerjaan yang diciptakan oleh perluasan lahan perkebunan dapat dikompensasikan dengan model bisnis yang didasarkan pada rasio pekerja per hektar yang lebih tinggi (lebih banyak pekerja yang direkrut per satu hektar). Rasio yang lebih besar ini dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pencaharian masyarakat lokal. Di sinilah model mosaik berperan sebagai elemen kunci dalam transformasi sosial-ekologis.
Produksi lanskap mosaik yang dipahami sebagai perubahan pengelolaan perkebunan untuk mencapai unit-unit agroforestri berukuran kecil sama artinya dengan merekrut lebih banyak pekerja per hektar. Dalam hal ini tidak hanya keekonomian skala (economies of scale) akan berkurang. Berkurangnya produktivitas pekerja akan justru diikuti dengan semakin produktifnya lahan.
Dalam kata lain, bekerja di perkebunan-perkebunan yang lebih kecil di kawasan yang lebih luas untuk areal dengan luasan yang sama juga berarti waktu perjalanan menuju tempat kerja yang lebih lama, lebih banyak koordinasi yang dibutuhkan, tambahan pembagian tugas, dll.
Dengan cara produksi yang menggunakan lanskap mosaik, akan ada lebih banyak pekerjaan per hektarnya serta lebih banyak pekerjaan per ton CPO. Perusahaan-perusahaan sawit mencoba meningkatkan skala ekonomi dan produktivitas pekerja secara permanen agar tetap kompetitif. Pekerja cenderung menolak dorongan produktivitas. Sementara tahap-tahap untuk mencapai produksi mosaik untuk keseluruhan industri akan melampaui kebutuhan kompetitif industri.
Perspektif serupa dapat dikembangkan untuk Manajemen Hama Terpadu serta produksi dan penggunaan pupuk organik untuk menggantikan pupuk kimia. Pertama-tama, penggunaan pestisida dikurangi untuk kepentingan pekerja, terutama pekerja perempuan yang cenderung dipekerjakan pada bagian perawatan dan mengalami banyak masalah kesehatan.
Pengurangan bahan kimia akan lebih mungkin dilakukan dalam lanskap mosaik yang memiliki lebih banyak keanekaragaman hayati, serangga, dan proses pemeriksaan dan penyeimbangan (check and balance) yang alamiah terhadap hama yang hidup dari sawit. Sisa Limbah Cair PKS (POME) dari proses penggilingan adalah sumber pupuk organik yang sempurna. Bahan-bahan ini harus dikumpulkan dan diolah oleh pekerja dalam operasi biogas.
Setelah siap, jika dikombinasikan dengan hasil parutan pelepah sawit, bahan-bahan ini akan menjadi mulsa/ sersah[2] yang sangat baik untuk disebarkan di sekitar pohon sawit. Tidak hanya dapat menyuburkannya, mulsa juga dapat untuk menekan hama rumput yang akan mengurangi kebutuhan akan herbisida.
Semua ini membutuhkan lebih banyak pekerjaan dan keterampilan. Jenis pekerjaan ini membutuhkan pekerja yang terampil sebagai pengelola lahan dengan status kerja permanen, dan bukan pekerja yang hanya menjalankan tugas monoton yang sama setiap hari dengan upah minimum atau upah borongan yang tidak realistis. Idealnya, hal ini juga dapat meningkatkan kesadaran akan siklus ekologi dan kebutuhan lingkungan.
Terakhir, pertanyaan tentang semakin banyaknya produksi minyak sawit adalah hal yang penting. Konsep ini tertanam lekat dalam perspektif perusahaan (dan juga RSPO) karena semakin banyak penjualan berarti semakin banyak pula keuntungan yang akan didapatkan.
Namun dari perspektif ketenagakerjaan, belum tentu demikian halnya. Perluasan yang tidak dilakukan secara terkoordinasi telah menyebabkan krisis akibat produksi berlebih yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya harga global. Sementara itu, penurunan harga pasar selalu dijadikan alasan oleh perusahaan untuk tidak menaikkan atau bahkan memotong gaji. Pekerja pun memiliki kepentingan yang sama atas harga minyak sawit yang lebih tinggi dan kompetitif. Ini akan memberikan lebih banyak pekerjaan dan jaminan pendapatan dalam jangka panjang.
Sebagai perspektif jangka menengah, gerakan pekerja berkepentingan dalam mengubah pekerjaan-pekerjaan berupah rendah dengan status yang tidak menentu—yang sering disebut sebagai pekerjaan ‘tidak terampil’ atau ‘dengan sedikit keterampilan’—agar menjadi pekerjaan dengan upah yang lebih baik dengan status permanen.
Transformasi sosial-ekologis terhadap industri sawit, yang dilakukan dengan memecah perkebunan monokultur besar menjadi kebun-kebun yang lebih kecil, merestorasi lahan gambut, menghubungkan kembali koridor hutan dan mengembalikan keadaan lanskap hutan ke keadaan semula, membutuhkan pekerja yang sudah terlatih dalam memahami lanskap secara ekologis, untuk menjadi pengelola lahan-lahan tersebut.
Yang dibutuhkan adalah pekerja terlatih yang diupah dengan layak dengan investasi jangka panjang untuk perawatan lingkungan. Tidak perlu lagi ada pekerja dieksploitasi dengan mencurahkan keringat dan jerih payahnya, atau pekerja yang terasing dari alam. Kita menghendaki pekerja yang dapat menyatu dengan alam, bekerja dengan mengikuti hukum alam dan kebutuhan kelestarian lingkungan
Pekerja mempunyai kemampuan dan potensi untuk menjaga pengelola lanskap kelapa sawit yang berkelanjutan
Transformasi perkebunan skala besar menjadi lanskap mosaik dapat dilakukan melalui dialog bersama masyarakat adat yang menghuni kawasan-kawasan sekitar perkebunan, yaitu memangkas luasnya dengan mengembalikan ke tangan para pemilik adat. Dari perspektif pekerja, kebutuhan transformasi ini akan dapat dipahami. Pertama, karena pekerja setempat memiliki akar di masyarakat tersebut, dan kedua karena di dalamnya akan terjadi peningkatan kelas pekerjaan dan upah untuk pekerjaan berketerampilan yang dilakukan dalam model kepengelolaan (stewardship).
Cara yang dilakukan untuk mencapai lanskap mosaik melalui reforma agraria dan pemecahan perkebunan-perkebunan yang ada saat ini menjadi petak-petak kebun petani mungkin akan menarik bagi pekerja. Pada tahun 1950-an, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) pernah mendukung strategi ini dalam konteks pengambilalihan massal perkebunan saat itu dan mengklaim kembali lahan-lahan tersebut untuk produksi secara subsisten (Stoler, 1995).
[1] Salah satu serikat pekerja (KASBI) kemudian menarik namanya dari pernyataan tersebut. Sikap keberpihakan kepada industri yang serupa oleh serikat pekerja juga terjadi di industri pulp dan kertas. Contohnya adalah pekerja perkebunan pulp industri di Riau yang membela PT Riau Andalas Pulp and Paper peraturan baru di bidang lingkungan mengatur pengurangan luas konsesi perusahaan yang beroperasi di kawasan lahan gambut yang rawan kebakaran dan kaya akan karbon. Berdasarkan pernyataan dari serikat pekerja, mata pencaharian mereka dipertaruhkan dan pemangkasan luas konsesi akan berakibat pada PHK masal. Koalisi serikat pekerja juga turut mempertahankan perkebunan pulp industri Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara ketika menghadapi tuntutan masyarakat adat untuk menutup perusahaan dikarenakan adanya persoalan-persoalan perampasan lahan dan pencemaran lingkungan (Arumingtyas 2017; Indriani and Susanti 2017; Pemerintah Provinsi Riau 2017; Anon 2015; Diputri 2015).
[2] Mulsa adalah semua bahan yang digunakan pada permukaan tanah terutama untuk menghalangi hilangnya air karena penguapan atau untuk mematikan tanaman pengganggu. Mulsa sering juga disebut sersah. Sersah sudah terbukti efektif sekali untuk mengurangi penguapan dan menghindari tumbuhnya tanaman pengganggu, tetapi pada umumnya tidak dapat digunakan pada tanaman yang memerlukan pengolahan tanah susulan