Perspektif Transisi yang Adil akan menggabungkan keberlangsungan lingkungan dan keadilan sosial. Foto: Helm pekerja dan tandan buah sawit, Sumatera Utara, Indonesia © RAN/OPPUK/Nanang Sujana
Langkah-langkah menuju Perspektif Pekerja tentang Transisi yang Adil
Kita telah menyaksikan bagaimana perusahaan sawit menjadikan buruh hidup terisolasi dari masyarakat dan bergantung pada perusahaan sebagai alat untuk melawan petani adat atau para pendukung lingkungan. Konflik antara lapangan kerja dan lingkungan tampak tercipta akibat operasi industri sawit.
Kita juga telah menyaksikan beberapa contoh serikat pekerja sawit yang berdiri bersama bersama korporasi sawit untuk mempertahankan ekspansi perkebunan sawit tanpa hambatan. Gerakan buruh di industri sawit tidak memiliki posisi dan strategi independen ketika menghadapi tantangan yang berasal dari perusakan lingkungan dan konflik lahan yang menjangkiti sektor industri ini secara keseluruhan.
Di saat yang bersamaan, kita juga telah menyaksikan bagaimana transformasi sosial ekologis terhadap industri sawit dapat menjadi ide yang menarik bagi pekerja dan serikat, baik dalam waktu dekat maupun jangka panjang. Namun gerakan buruh hanya dapat mengembangkan posisi tersebut melalui proses diskusi, edukasi dan pemikiran mendalam. Perspektif Transisi yang Adil bagi industri sawit perlu dikembangkan oleh pekerja sendiri. Keadilan lingkungan dan lembaga adat adalah sekutu utama yang dapat membantu memulai dan memfasilitasi proses pemikiran mendalam ini.
Perspektif pekerja untuk Transisi yang Adil tidak dapat hanya bersumber dari cara pandang pengurus serikat pekerja saja. Perspektif ini harus dimulai dari pengalaman lapangan para pekerja sawit. Oleh karena itu, langkah pertamanya adalah membentuk kelompok-kelompok diskusi bagi pekerja untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan lingkungan.
Diskusi-diskusi semacam ini dapat diawali dari permasalahan-permasalahan ekologis yang dialami pekerja dalam kesehariannya. Misalnya, dampak kesehatan yang muncul dari kegiatan panen, penyemprotan pestisida, penaburan pupuk, atau kurangnya air bersih.
Kemudian dapat diselenggarakan diskusi mengenai persoalan-persoalan terkait yang lebih luas, dengan didasarkan atas pengetahuan pekerja mengenai persoalan-persoalan yang sangat mendasar ini. Tujuannya juga untuk menunjukan persepsi bahwa pekerja bukan tidak peduli atau mengetahui tentang kehilangan keanekaragaman hayati, polusi kabut asap, dsb.
Operasi bisnis yang merusak lingkungan oleh perusahaan akan mengakibatkan pencemaran terhadap sumber air masyarakat, mengusir masyarakat dari lahannya, dan membuat seluruh kawasan dalam kondisi tercemar atau kehilangan kesuburan. Kerusakan permanen ini nantinya akan membuat pekerja serta masyarakat pedesaan dan adat tidak akan memiliki sumber daya ketika perusahaan nantinya selesai beroperasi dan keluar dari kawasan-kawasan tertentu.
Langkah ketiga adalah memikirkan secara mendalam tuntutan-tuntutan terkait pekerjaan, yang berkaitan dengan transformasi ekologis industri ini (dalam hal upah, keterampilan, pelatihan, penyusunan perjanjian kerja bersama, kontrak, dsb.).
Upaya lainnya adalah mempertemukan kelompok-kelompok keadilan lingkungan dan serikat pekerja yang tertarik untuk mengikuti dan mempelajari ide soal transisi yang adil. Hal ini merupakan proses penting dalam membentuk ‘aliansi merah-hijau’ di industri sawit. Dengan membawa suara lantang pekerja dalam diskusi-diskusi ini, para aktivis akan dapat menghindari gaya bicara yang kurang menghormati pekerja dan dapat memanfaatkan pengalamannya yang luas di lapangan.
Transformasi yang Adil yang mengusung keadilan sosial dan kelestarian lingkungan harus ditanamkan dalam pikiran serikat pekerja dan pekerja itu sendiri melalui kegiatan yang saling mengedukasi, organisasi dan mobilisasi.
Setelah pekerja memikirkan mendalam mengenai situasi yang dihadapinya dan tuntutan masing-masing terkait persoalan-persoalan sosial ekologis di industri sawit, fase kedua adalah mempertemukan masyarakat adat, kelompok keadilan lingkungan dan pekerja untuk membahas bagaimana cara mengatasi perbedaan dan menyusun strategi bersama.
Melalui pertukaran pengalaman, pekerja mungkin akan dapat memahami kemarahan masyarakat ketika perusahaan merampas lahan mereka, yang mungkin berkaitan dengan sejarahnya sendiri di mana pekerja pun hidup tanpa memiliki lahan. Sementara di sisi lain, masyarakat setempat juga dapat memahami pertaruhan besar yang ada di hadapan mata seorang pekerja manakala ia kehilangan pekerjaannya.
Dialog terus menerus antara kelompok-kelompok ini saat merumuskan titik temu kepentingan bersama akan mendorong tumbuhnya perasaan solidaritas dan landasan bagi gerakan menuju Transisi yang Adil.
Serangkaian diskusi di tingkat basis akar rumput di berbagai lokasi dan negara untuk memikirkan keberagaman konteks dan pengalaman yang dihadapi dapat memberikan dasar untuk membawa gagasan-gagasan untuk Transisi yang Adil di industri sawit ke tataran yang lebih umum dan luas.
Konferensi yang mempertemukan para pekerja dari kelompok diskusi tersebut dengan para tokoh serikat pekerja, aktivis keadilan lingkungan dan perwakilan masyarakat adat dapat membangun suatu kertas posisi untuk transformasi sosial ekologis di industri sawit. Hal ini kemudian dapat digunakan untuk membangun aliansi yang terdiri dari beberapa serikat pekerja, pemangku kepentingan, masyarakat adat dan pergerakan keadilan lingkungan di atas perspektif bersama.
Dalam jangka waktu menengah, aliansi adalah suatu kemungkinan yang realistis untuk dilakukan. Hal ini lantaran baik pekerja, masyarakat adat dan lingkungan merupakan korban dari perusahaan-perusahaan sawit transnasional yang sama. Pembukaan lahan dan perluasan perkebunan menghancurkan lingkungan dengan cara mengusir masyarakat dari tanahnya sendiri.
Para pekerja yang sudah tidak bertanah ini kemudian menjadi sasaran eksploitasi dalam bentuk kondisi kerja yang penuh dengan ketidakpastian. Pekerja tidak hanya terasing dari pekerjaannya, akan tetapi juga dari tanah yang mereka miliki. Persatuan di atas dasar kepemilikan lahan kolektif atau di seputar perspektif kedaulatan pangan adalah hal yang mungkin untuk dibentuk.
Pekerja dan masyarakat adat tidak hanya korban, melainkan juga entitas yang hidup di garis depan dalam menciptakan lanskap mosaik. Pada saat ini, baik pekerja perkebunan dan masyarakat setempat sangat tidak terorganisir dengan baik dan terpecah belah satu sama lain.
Untuk mengembangkan suatu strategi yang realistis untuk Transisi yang Adil, gerakan buruh pekerja perlu bersatu dan mengorganisir pekerja di seluruh industri sawit untuk membangun kekuatan. Dengan pekerja yang terorganisir, maka pekerja dapat mendorong perundingan perjanjian kerja bersama yang berlaku secara lintas negara dan mendorong perubahan sosial-ekologis dari industri itu sendiri.
Perdebatan mengenai Transisi yang Adil dan dialog bersama masyarakat lokal terkait persoalan-persoalan lingkungan dan lahan dapat membantu upaya ini. Contohnya dengan membangun kesadaran politik, khususnya bagi para pekerja. Alasan tepat mengapa pekerja cenderung untuk lebih berfokus pada tuntutan normatif (dan mengabaikan tuntutan lingkungan) adalah karena satu-satunya cara yang cepat dan dapat dilakukan untuk bertahan hidup adalah dengan cara menjual keringat dan jasanya sebagai pekerja.
Pekerja dapat melampaui kepentingannya jika mampu memikirkan mendalam mengenai akar dari permasalahan yang mereka hadapi beserta potensi kekuatan yang mereka miliki untuk mengubah situasi tersebut. Dengan demikian, proses perenungan dan diskusi terhadap strategi Transisi yang Adil dapat menjadi cara untuk memberdayakan pekerja di industri sawit.
Pustaka:
- Amnesty International (2016): The Great Palm Oil Scandal. Labour Abuses Behind the Big Brand Names. https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/5184/2016/en/.
- Amri, Qayuum (2018): APINDO dan Tiga Serikat Buruh Sepakat Lawan Kampanye Hitam Sawit https://sawitindonesia.com/apindo-dan-tiga-serikat-buruh-sepakat-lawan-kampanye-hitam-sawit/
- Anon (2015): SP/SB Tolak Penutupan Perusahaan. https://analisadaily.com/berita/arsip/2015/5/25/136540/spsb-tolak-penutupan-perusahaan/
- Arumingtyas, Lusia (2017): Ketika RAPP Tak Patuhi Aturan Gambut, Siti: Jangan Ajak-ajak Pekerja dan Ancam PHK. https://www.mongabay.co.id/2017/10/23/ketika-rapp-tak-patuhi-aturan-gambut-siti-jangan-ajak-ajak-pekerja-dan-ancam-phk/;
- Austin, Kemen, Amanda Schwantes, Yaofeng Gu, dan Prasad Kasibhatla (2019): What causes deforestation in Indonesia? Environmental Research Letters 14 (2019), [https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/aaf6db]
- Barry, John (2013): Trade unions and the transition away from ‘actually existing unsustainablity’. Dalam: Räthzel, Nora dan David Uzzel (2013): Trade Unions in the Green Economy. Working for the Environment. London and New York: Routledge, 227-240
- Bernie, Mohammad (2020): Kasus Effendi Buhing Terkait Pencaplokan Tanah Adat, Pak Mahfud. https://tirto.id/kasus-effendi-buhing-terkait-pencaplokan-tanah-adat-pak-mahfud-f3sg
- Campaign against Climate Change (2014): One Million Climate Jobs. Tackling the Environmental and Economic Crises. https://campaigncc.org/sites/data/files/Docs/one_million_climate_jobs_2014.pdf.
- Colchester Marcus, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Firdaus, Surambo dan Herbert Pane. (2006): Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous Peoples. Moreton-in-Marsh: Forest Peoples Programme dan Perkumpulan Sawit Watch.
- DGB (2020): The German Consensus on Coal. Successful Policies Towards a Just Transition. Berlin: DGB.
- Diputri, Caessaria Indra (2015): APEBDAS-SU Tolak Penutupan Perusahaan di Sekitar Danau Toba. https://waspada.co.id/2015/05/apebdas-su-tolak-penutupan-perusahaan-di-sekitar-danau-toba/
- Dohong, Alue, Ammar Abdul Azizd, dan Paul Darguscha (2018): Carbon Emissions from Oil Palm Development on Deep Peat Soil in Central Kalimantan Indonesia. Anthropocene 22, 31-39.
- Eilenberg, Michael (2015): Shades of Green and REDD: Local and Global Contestations over the Value of Forest versus Plantation Development on the Indonesian Forest Frontier. Asia Pacific Viewpoint 56 (1): 48-61.
- Elmhirst, Rebecca, Mia Siscawati, Bimbika Basnett dan Dian Ekowati (2017:. Gender and Generation in Engagements with Oil Palm in East Kalimantan, Indonesia: Insights from Feminist Political Ecology. The Journal of Peasant Studies 44 (6): 1135-1157.
- Goldstein, Jenny (2015): Knowing the Subterranean: Land Grabbing, Oil Palm, and Divergent Expertise in Indonesia’s Peat Soil. Environment and Planning A 48(4): 754-770.
- Haug, Michaela (2014): Resistance, Ritual Purification and Mediation: Tracing a Dayak Community’s Sixteen-Year Search for Justice in East Kalimantan. The Asia Pacific Journal of Anthropology 15(4): 357-375.
- ILO (2015): Guidelines for a just transition towards environmentally sustainable economies and societies for all, https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—ed_emp/—emp_ent/documents/publication/wcms_432859.pdf
- ILO (2019): Working on a warmer planet: The impact of heat stress on labour productivity and decent work. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—dgreports/—dcomm/—publ/documents/publication/wcms_711919.pdf
- Indonesian Palm Oil Board (2007): Sustainable Oil Palm Plantation. Jakarta: Indonesian Palm Oil Board.
- Indriani, Citra dan Reni Susanti (2017): Ribuan Pekerja Tolak Regulasi Gambut. https://regional.kompas.com/read/2017/10/24/09190441/ribuan-pekerja-tolak-regulasi-gambut.
- Karokaro, Ayat Suheri (2013): Organisasi Buruh dan Lingkungan Tolak Ekspansi Sawit di Indonesia. https://www.mongabay.co.id/2013/11/03/organisasi-buruh-dan-lingkungan-tolak-ekspansi-sawit-di-indonesia/
- Koh, Lian dan David Wilcove (2008): Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters 1: 60-64.
- Kohler, Brian (2010): Sustainability and Just Transition in the Energy Industries, dalam: Abramsky, Kolya (Ed.) Sparking a Worldwide Energy Revolution: Social Struggles in the Transition to a Post-Petrol World, Oakland: AK Press, hal. 569–76.
- Li, Tania (2015): Social Impacts of Oil Palm in Indonesia: A Gendered Perspective from West Kalimantan. CIFOR Occasional Paper 124. Bogor: Center for International Forestry Research.
- Li, Tania (2017): Intergenerational Displacement in Indonesia’s Oil Palm Plantation Zone. The Journal of Peasant Studies 44(6): 1158–1176.
- McCarthy, John. (2010): Processes of Inclusion and Adverse Incorporation: Oil Palm and Agrarian Change in Sumatra, Indonesia. Journal of Peasant Studies 37(4): 821-850.
- Meredith Burgmann, Verity Burgmann (2017): Green Bans, Red Union: The saving of a city. Sydney: New South Books.
- OECD (2017): Employment implications of green growth: Linking jobs, growth, and green policies, https://www.oecd.org/environment/Employment-Implications-of-Green-Growth-OECD- Report-G7-Environment-Ministers.pdf.
- Pemerintah Provinsi Riau (2017): Permen LHK Ditolak, SPSI Riau Layangkan Gugatan Ke MA. http://www.mediatransnews.com/read-4853-2017-10-17-permen-lhk-ditolak-spsi-riau-layangkan-gugatan-ke-ma.html.
- Potter, Lesley (2009): Oil Palm and Resistance in West Kalimantan, Indonesia. Dalam: Agrarian Angst and Rural Resistance in Contemporary Southeast Asia, diedit oleh Dominique Caouette dan Sarah Turner, 105-134. London: Routledge.
- Puder, Janina (2019): Excluding migrant labor from the Malaysian bioeconomy: Working and living conditions of migrant workers in the palm oil sector in Sabah, Austrian Journal of South-East Asian Studies, 12(1), hal. 31-48
- Pye, Oliver (2016): Deconstructing the RSPO. The Round Table on Sustainable Palm Oil and the Palm Oil Industrial Complex, dalam: Cramb, Rob and John McCarthy (eds.): The Oil Palm Complex: Agrarian Transformation, State Policy, and Environmental Change in Indonesia and Malaysia. Singapore: NUS.
- Pye, Oliver (2018): Commodifying sustainability: Development, nature and politics in the palm oil industry. World Development https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2018.02.014.
- Pye, Oliver, Ramlah Daud, Yuyun Harmono dan Tatat (2012): Precarious Lives: Transnational Biographies of Migrant Oil Palm Workers. Asia Pacific Viewpoint 53(3): 330-342.
- Räthzel, Nora; Cock, Jackly; Uzzell, David (2018): Beyond the nature-labour divide: trade union responses to climate change in South Africa, Globalizations 15(4), hal. 504-519.
- Reijnders, Lucas dan Mark Huijbregts (2008): Palm Oil and the Emission of Carbon-based Greenhouse Gases. Journal of Cleaner Production 16(4): 477-482.
- Rist Lucy, Feintrenie Laurene dan Levang Patrice (2010): The Livelihood Impacts of Oil Palm: Smallholders in Indonesia. Biodiversity Conservation 19 (4): 1009–1024.
- Rival, Alain dan Patrice Levang (2014): Palms of Controversies. Oil Palm and Development Challenges. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).
- Smith, Samantha (2017): Just Transition. A Report for the OECD, https://www.oecd.org/environment/cc/g20-climate/collapsecontents/Just-Transition-Centre-report-just-transition.pdf.
- Stevis, Dimitris dan Romain Felli (2015): Global labour unions and just transition to a green economy. Int Environ Agreements (2015) 15:29–43. DOI 10.1007/s10784-014-9266-1.
- Stevis, Dimitris; Uzzell, David; Räthzel, Nora (2018): The labour-nature relationship: varieties of labour environmentalism, Globalizations 15(1):1-15.
- Stoler, Ann (1995): Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870–1979. Ann Arbor.
- Varkkey, Helena. 2015. The Haze Problem in Southeast Asia: Palm Oil and Patronage. London: Routledge.
- View, Jenice L., 2002: Just Transition Alliance. Frontline Workers and Fenceline Communities United for Justice, Washington DC
- Vijay, Varsha, Stuart Pimm, Clinton Jenkins dan SJ Smith (2016): The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. PLoS One. 27 Juli 2016; 11(7): e0159668.
- Wilcove, David dan Lian Koh (2010): Addressing the Threats to Biodiversity from Oil Palm Agriculture. Biodiversity Conservation 19:-999–1007.
- World Growth (2011): The Economic Benefits of Palm Oil to Indonesia. Melbourne, Australia: World Growth.