Catatan Akhir Tahun Buruh Perkebunan Sawit 2024: Desak Transisi yang Adil dalam Tata Kelola Sawit

oleh | Des 23, 2024 | Fokus

Siaran Konferensi Pers: Catatan Akhir Tahun Buruh Kebun Perkebunan Sawit 2024

Jakarta, mediaperkebunan.id – Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit atau Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/ (TPOLS) mendesak Pemerintah untuk melibatkan kalangan perburuhan dalam tata kelola sawit nasional yang belakangan ini gencar di lakukan.

Perlu di ketahui, TPOLS di dirikan pada tahun 2019 untuk memperdalam partisipasi transnasional dalam tata kelola regional dan mencapai industri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

Rizal Assalam sebagai Koordinator TPOLS dalam keterangan resmi yang di terima Media Perkebunan, Jumat (27/12/2024), mengatakan serikat-serikat buruh, pejuang agraria, dan kelompok sipil yang tergabung dalam TPOlS berjuang agar buruh di libatkan atau tidak di kesampingkan dalam tata kelola sawit.

“Kami berupaya memberikan ulasan hal-hal penting seputar buruh perkebunan sawit yang terjadi sepanjang tahun 2024,” kata Rizal Assalam.

Mereka menunjukkan terdapat 6 ciri khas industri perkebunan kelapa sawit yang masih relevan dengan adanya kumpulan kasus yang mereka temui pada tahun 2024 ini, yaitu (1) kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah, (2) eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan.

Lalu (3) cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang di manipulasi, (4) ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak/ plasma, dan konflik tanah, (5) penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan, (6) ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat.

Sementara itu Damar Panca selaku Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menyebutkan, tidak adanya perlindungan terhadap buruh kebun ini di akibatkan oleh regulasi nasional yang buruk.

“UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktek eksploitatif di perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual/ musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujar Damar Panca.

Ia lalu menyinggung soal regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang AntiDeforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan atau Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) yang di terapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya dan mekanisme perlindungan buruh.

Damar mengungkapkan pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember 2024 lalu menegaskan bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa di akses oleh serikat buruh.

Uli Arta Siagian dari Walhi Eksekutif Nasional menegaskan perlunya penyerahan aspek perlindungan buruh pada peraturan nasional tidak akan efektif di situasi ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh.

Kekosongan hukum ini mendapat perhatian dari Sawit Watch. Hotler “Zidane” Parsaoran, dari Sawit Watch menggarisbawahi bagaimana UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang digunakan saat ini kurang representatif untuk melindungi buruh perkebunan sawit.

Menurutnya, lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda di bandingkan industri sektor manufaktur.

“Hal ini bisa di lihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang di dasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja,” kata Zidane.

“Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak di sediakan dengan layak oleh perusahaan,” tuturnya lebih lanjut.

Sebelumnya, kata dia, telah ada upaya mendorong rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit.

Zidane mengatakan, Pemerintah banyak memberi dukungan masif terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga melobi negara-negara konsumen.

Namun, dukungan tersebut, kata dia, tidak di ikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit.

Ia menegaskan bahwa RUU ini perlu masuk dalam prolegnas prioritas. Karena itu, tegasnya, TPOLS menilai perlu transisi yang adil dalam industri sawit, yang menyasar corak produksi eksploitatifnya.

“Deklarasi Sambas yang di keluarkan oleh jaringan TPOLS di buat sebagai acuan tuntutan-tuntutan yang relevan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi di perkebunan sawit,” tegas Zidane.

 

Tulisan ini dimuat ulang dari portal berita Media Perkebunan untuk keperluan pendidikan dan pendokumentasian kegiatan jaringan. Baca sumber aslinya pada https://mediaperkebunan.id/tpols-desak-transisi-yang-adil-dalam-tata-kelola-sawit/.

 

Baca selengkapnya rilis siaran pers bersama:

Baca Rilis Selengkapnya

Pin It on Pinterest