Penulis: Tabea Meuter Penerjemah: Salma Rizkiya Kinasih
Studi etnografi ini mengeksplorasi bagaimana solidaritas dipraktekkan serta relasi gender dalam jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), terutama dalam konteks industri sawit. Penelitian ini menggunakan pengamatan etnografis dan wawancara mendalam dengan buruh perempuan, anggota serikat buruh, dan perwakilan NGO untuk memahami bagaimana solidaritas dijalani dalam keseharian, bagaimana perempuan memposisikan diri mereka di dalam gerakan, dan pengetahuan seperti apa yang beredar tentang transformasi sosio-ekologis yang adil di industri sawit (Just Transition). Tulisan ini menyajikan temuan-temuan utama dari penelitian tesis penulis di bidang antropologi budaya di Universitas Bonn, Jerman.
Solidaritas dalam Jaringan TPOLS
Sebagai langkah awal, saya menganalisis solidaritas dalam jaringan TPOLS dan peserta konferensi “Just Transition” (JT), yang kemudian diperkaya dengan analisis terhadap kehidupan sehari-hari buruh di perkebunan sawit, berdasarkan empat konsep sosiologi, yaitu interdependence (kesalingtergantungan), norms and values (norma dan nilai), struggle (perlawanan), dan encounter (perjumpaan), sebagaimana yang didefinisikan oleh Stijn Oosterlynck dkk. (2016). Hal ini memungkinkan saya menemukan bahwa pembentukan solidaritas dipengaruhi oleh (1) diferensiasi sosial yang dihasilkan dari pembagian kerja, serta (2) kesadaran akan kesalingtergantungan, yang ditemukan oleh tim peneliti (Oosterlynck dkk. 2016). Namun, saya berpendapat bahwa pengetahuan merupakan salah satu alat paling penting dalam perjuangan gerakan sosial untuk mencapai perjuangan kolektif yang efektif. Pengetahuan dapat ditempatkan sebagai praktik konkret solidaritas pada tingkat kedua dari investigasi yang didefinisikan oleh Schall (2022).
Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil risel, konferensi JT berfungsi sebagai platform untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman. Dalam beberapa kasus, seperti kasus Selvi sebagai buruh migran perempuan di perkebunan kelapa sawit Malaysia, konferensi ini menggiring pada kesadaran bahwa semua kasus yang terjadi merupakan masalah sistematis dan bentuk mekanisme penindasan, sebab masalah-masalah yang diuraikan dalam konferensi dapat ditransfer ke perkebunan mana pun, terlepas dari berasal dari negara mana peserta konferensi. Tindakan saling berbagi pengalaman satu sama lain berfungsi untuk memperkuat rasa solidaritas, di mana tantangan setiap peserta merupakan bagian dari gerakan yang lebih luas dan saling berhubungan. Legitimasi sebagai pembicara, sebagai pemberdayaan pengetahuan (Epstein 1996: 234), memainkan peran penting di sini.
Melalui FGD dan observasi bersama buruh perempuan di perkebunan sawit Kalimantan Tengah, penelitian ini menemukan bahwa kesadaran akan kesalingtergantungan sangat bervariasi di antara aktor-aktor. Pada FGD, buruh perempuan tidak mengetahui konsep JT dan tidak dapat memberikan tanggapan atas pertanyaan saya mengenai solidaritas. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti mereka tidak terlibat dalam tindakan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini justru menunjukkan bahwa istilah ‘solidaritas’ bukanlah istilah yang umum digunakan dalam kosakata sehari-hari. Dari observasi dan wawancara, saya menemukan bahwa terdapat norma dan nilai bersama yang dianut oleh semua informan yang diteliti, yang mencakup “komitmen terhadap kekompakan, persahabatan, saling mendukung, kejujuran, dan keakraban”.
Ketimpangan Relasi Kuasa dan Pelemahan Solidaritas
Saya dapat mengidentifikasi berbagai perlawanan muncul akibat dari ketimpangan relasi kekuasaan. Dalam mencegah perlawanan, perusahaan perkebunan sawit mengerahkan berbagai strategi untuk mencegah terbentuknya solidaritas dan kekuatan kelas buruh dalam serikat buruh. Dalam wawancara, observasi dan FGD, saya menemukan dua strategi perusahaan yang berusaha menekan solidaritas:
Pertama, diskriminasi terhadap masyarakat adat dan perempuan melalui status kerja.
Begitu tanah yang digunakan masyarakat adat dirampas oleh perusahaan sawit, berbagai masyarakat adat bekerja sebagai buruh di perusahaan (karena tidak ada sumber pendapatan lain bagi mereka). Untuk memicu konflik di antara para buruh, perusahaan sawit umumnya hanya mempekerjakan masyarakat adat sebagai buruh harian lepas atau di lahan yang sebelumnya mereka miliki atau bahkan mereka tidak dipekerjakan secara langsung oleh perusahaan, melainkan sebagai “buruh tempel” oleh buruh lain seperti pemanen. Sebagai buruh lepas, mereka tidak memiliki jaminan sosial dan upah tetap, dan hanya dipekerjakan jika mereka mencapai target. Status pekerjaan ini juga diperuntukkan bagi perempuan. Para transmigran—yaitu buruh yang direkrut yang biasanya pindah dari pulau Jawa ke wilayah perkebunan sawit untuk mencari pekerjaan di sana—dipekerjakan di perkebunan yang sama sebagai buruh permanen dengan upah tetap, hari libur dan cuti sakit. Akibatnya, masyarakat lokal melihat para pendatang ini—meskipun mereka kebanyakan adalah orang Indonesia sendiri— sebagai musuh, bukan sebagai buruh yang sama-sama dipekerjakan oleh perusahaan yang juga merampas pekerjaan mereka.
Kedua, strategi penyebaran rumor dan misinformasi.
Salah satu strategi yang digunakan oleh perusahaan untuk mendiskreditkan gerakan aktivis lingkungan adalah dengan menyebarkan narasi bahwa para aktivis lingkungan berusaha untuk menghilangkan pekerjaan mereka. Kekhawatiran semacam itu juga berdampak pada kehidupan pribadi para buruh, menghalangi mereka untuk mengambil sikap proaktif terhadap isu-isu keberlanjutan (lingkungan). Selain itu, para buruh—terutama perempuan—yang diharuskan untuk menyemprot atau menuang pestisida diberitahu bahwa susu kental manis dapat menghilangkan racun yang terakumulasi dalam tubuh mereka sebagai akibat dari aktivitas pekerjaan mereka. Saat ini belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur kewajiban perusahaan untuk menyediakan nutrisi tambahan bagi para buruhnya yang bekerja di area pestisida untuk memperkuat kesehatan mereka. Mungkin karena alasan ‘efisiensi biaya’, para pengusaha perkebunan mendistribusikan susu kental manis dan menyarankan kepada para buruhnya bahwa ini adalah makanan yang tepat.
Ragam Upaya dalam Mengatasi Ketimpangan Kuasa di Jaringan TPOLS
Selanjutnya, TPOLS sebagai jaringan tidak dapat terlepas dari tantangan ketimpangan pengetahuan (antara mereka yang punya lebih banyak pengetahuan dan yang tidak), namun mereka yang memiliki lebih banyak pengetahuan nampaknya menyadari hal ini dan secara aktif berusaha untuk mengatasi perbedaan tersebut dengan memberdayakan mereka yang memiliki lebih sedikit pengetahuan untuk mencapai tingkat yang sama. Hal ini terlihat dari lokakarya dan sesi pelatihan yang diselenggarakan d dalam jaringan. Di luar TPOLS, dalam kehidupan sehari-hari para aktor yang saya wawancarai, “praktik-praktik solidaritas” seperti pelatihan perempuan sebagai juru bicara, pembagian selebaran informasi tentang keluhan-keluhan dan dasar-dasar hukum untuk mendorong buruh menuntut kondisi kerja yang lebih adil, serta interaksi-interaksi personal yang secara khusus menyapa orang-orang tertentu, dapat diidentifikasi. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk “perjumpaan” (encounter). Meskipun harus diingat bahwa pengenalan konsep JT di TPOLS masih cukup baru dan —seperti yang diakui oleh para informan— membutuhkan proses yang panjang, tetap saja ada perbedaan yang kuat dalam memahami konsep tersebut.
Salah satu contoh kesenjangan distribusi pengetahuan adalah kasus dua anggota serikat buruh yang menghadiri konferensi JT, tetapi sebulan setelah saya mengunjungi perkebunan mereka, mereka belum membahas JT di dalam serikat mereka. Hal ini kemudian membuat enam buruh perempuan yang hadir dalam FGD mengaku baru pertama kali mendengar konsep JT. Hal ini menunjukkan bahwa individu-individu tersebut bertindak sebagai penjaga gerbang. Karena hanya perwakilan dari masing-masing organisasi yang hadir pada konferensi tersebut dan dengan demikian memiliki akses terhadap informasi, maka akhir bergantung pada mereka dalam penyampaian informasi untuk menjangkau rekan-rekan serikat buruh yang tidak berkesempatan untuk mengunjungi konferensi tersebut. Juga terlihat jelas dalam konferensi tersebut bahwa, secara kuantitatif, lebih banyak laki-laki daripada perempuan yang dapat berpartisipasi. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa perempuan pada umumnya kurang terwakili dalam perjuangan politik dan organisasi. Namun, mereka juga sering dipekerjakan dalam kondisi kerja yang lebih rentan. Oleh karena itu, memastikan penyebaran informasi sangat penting untuk menjamin bahwa pengetahuan tersebut menjangkau setiap orang.
Perempuan Merupakan Kelompok yang Paling Termarjinalisasi
Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan merupakan salah satu kelompok terpinggirkan yang paling terdampak oleh eksploitasi dan kerusakan yang disebabkan oleh industri sawit. Status pekerjaan mereka, ekspektasi yang mengakar dalam masyarakat patriarkis, dan pengalaman kekerasan seksual, merupakan alasan utama yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam perjuangan politik, serta secara serius membahayakan kesehatan mental dan fisik mereka. Hal ini dapat diungkap dengan mengurai ‘ideologi-ideologi gender’ yang jelas dan tidak jelas menurut Idrus (2008). Dalam pekerjaan mereka sebagai penyemprot atau pengemas pestisida, perempuan terpapar risiko kesehatan setiap hari. Pencemaran air minum juga menyebabkan risiko tinggi terkena kanker, penyakit kulit dan pernapasan atau keguguran yang lebih sering terjadi dalam kehidupan pribadi mereka sebagai akibat dari pekerjaan mereka. Pengalaman pemerkosaan, pelecehan seksual di tempat kerja dan kekerasan dalam rumah tangga yang diceritakan kepada saya —baik di Afrika Barat maupun di Indonesia— menunjukkan adanya kesamaan yang mencolok: dalam semua kasus, perempuan memilih untuk menderita dalam diam karena konsekuensi sosial yang ditimbulkannya tidak dapat mereka tanggung.
Perempuan masih dianggap sebagai pengasuh utama dalam keluarga, yang bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Selain pekerjaannya, yang dalam kasus perkebunan buruh perempuan memakan waktu antara delapan hingga sebelas jam sehari, ia juga menanggung tugas untuk mengelola ranah domestik, termasuk mengasuh anak dan memberikan dukungan emosional kepada pasangannya. Pada akhirnya, hanya ada sedikit waktu dan energi yang tersisa untuk terlibat dalam perjuangan politik di dalam serikat.
Selain itu, posisi perempuan pun berada dalam kondisi yang rentan terhadap kasus kekerasan seksual. Sebagaimana dalam kasus pemerkosaan yang digambarkan oleh Aminata, perempuan yang menjadi penyintas di Afrika Barat diancam dengan perceraian langsung dan stigmatisasi oleh masyarakat desa. Perempuan yang diperkosa dianggap sebagai aib bagi suami dan masyarakat. Di Indonesia, Adinda, seorang pegawai NGO dari sebuah organisasi feminis yang mendampingi perempuan adat dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan hak-hak buruh, juga menceritakan kisah-kisah serupa. Jika seorang perempuan Dayak diperkosa, maka ketua adat harus melakukan ritual ruwat. Masyarakat menganggap pemerkosaan sebagai sesuatu yang najis. Oleh karena itu, adalah tugas kepala adat untuk membebaskan masyarakat dari kejahatan dengan membersihkan korban pemerkosaan. Adinda mengkritik prosedur ini karena hanya menambah beban dan stigmatisasi terhadap penyintas.
Ragam Upaya dalam Melawan Ketidakadilan
Sebagai solusi strategis untuk kekerasan fisik, organisasi Aminata telah membentuk serikat khusus perempuan: dalam kerangka pengorganisasian ini, perempuan dapat berbagi penderitaan mereka tanpa takut akan konsekuensinya. Aminata dan rekan-rekannya memberikan saran kepada para perempuan mengenai langkah-langkah selanjutnya dan menyampaikan kasus-kasus pemerkosaan secara anonim kepada anggota serikat yang lain agar para korban tidak menghadapi konsekuensi lebih lanjut. Jika anggota laki-laki serikat menolak untuk bertindak, organisasi Aminata mengancam untuk mempublikasikan kasus-kasus tersebut di radio—masih tanpa nama untuk melindungi para korban—untuk menuntut konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya.
Terlepas dari beragam kendala yang disebutkan di atas, beberapa perempuan menemukan cara untuk bersura dan memperjuangkan hak-hak mereka. Perempuan seperti Buana—yang menentang ekspektasi sosial dan sebagai perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki anak—mengadvokasi kondisi kerja dan kehidupan yang lebih baik, atau Sita, yang meskipun dipaksa menikah, pertama kali bekerja sebagai sukarelawan di sebuah NGO untuk buruh migran di perkebunan sawit dan kemudian menjadi pekerja penuh yang bertanggung jawab. Para perempuan ini secara bertahap menantang norma-norma yang menekan partisipasi mereka. Karena banyak perempuan yang secara langsung terkena dampak dari perampasan tanah dan degradasi lingkungan, mereka tidak hanya menjadi korban dari ketidakadilan yang sistematis, tetapi juga menjadi aktor kunci dalam memperjuangkan transformasi sosial-ekologis.
Fakta dominasi partisipasi laki-laki dalam serikat buruh menunjukkan bahwa kondisi budaya serikat buruh dirancang untuk laki-laki, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk berpartisipasi daripada perempuan. Bukan hanya perempuan yang harus beradaptasi dengan melegitimasi diri mereka sebagai juru bicara yang lebih kuat dan membentuk komite perempuan, tetapi juga dibutuhkan adaptasi aktif dari lingkungan dengan bantuan rekan-rekan laki-laki mereka untuk membuatnya lebih memudahkan keterlibatan perempuan. Dengan menggunakan pemahaman Foucault tentang budaya, nilai-nilai dan prosedur yang terstruktur secara hierarkis (Foucault/Gros 2001 [1982]) harus diatur sedemikian rupa sehingga solidaritas sebagai praktik budaya dapat diakses oleh semua anggota yang beragam, tanpa memandang jenis kelamin, serta nilai-nilai yang diharapkan dapat dihayati.
Dengan berbagai temuan di atas, adanya JT bagi jaringan TPOLS sendiri merupakan titik persimpangan antara perjuangan atas hak-hak buruh dan tanah, perlindungan lingkungan dan keadilan sosial yang turut mengakomodir keterlibatan perjuangan buruh perempuan di dalamnya. Istilah yang berakar pada keadilan lingkungan dan perjuangan untuk perubahan yang adil dalam menghadapi krisis iklim ini masih relatif baru bagi banyak aktivis akar rumput dalam jaringan TPOLS. Namun demikian, penerjemahan konsep tersebut dari teori ke praktik masih menjadi tantangan, terutama karena perhatian atas masalah-masalah kelangsungan hidup sehari-hari sering kali menutupi masalah-masalah lingkungan yang berjangka panjang. Dampak lingkungan dari produksi sawit sebagaimana terjadi saat ini, terutama pencemaran sumber air dan perusakan hutan, memiliki dampak langsung terhadap kesehatan dan mata pencaharian buruh dan masyarakat.
Pada akhirnya, studi ini menunjukkan bahwa konsep JT menyediakan yang cara potensial bagi gerakan buruh di industri sawit untuk setidaknya mengatasi dua poin utama perjuangan buruh, yakni eksploitasi ekonomi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perkebunan sawit. Konsep JT memiliki potensi untuk menjadi alat transformatif jika didukung oleh upaya-upaya pendidikan dan advokasi. Peserta seperti Agung, Rizal dan Aminata menekankan bahwa JT haruslah merupakan sebuah proses yang berkelanjutan —proses yang membutuhkan kesinambungan dan dedikasi.
Silahkan mengunduh tesis Tabea lengkapnya dalam bahasa Inggris atau versi terjemahannya oleh Salma Rizkiya Kinasih dalam bahasa Indonesia di tautan berikut:
Tesis Master Tabea (English) Tesis Tabea Versi Terjemah (Indonesia)
