Stéphane Maminindriana*
Perjalanan Mengubah Kerangka Pikir terkait Keselaman Kerja
Sebelumnya, saya bekerja di bidang Manajemen Keselamatan Kerja selama beberapa tahun. Saat itu saya percaya pada peran yang saya emban, pada sistem yang saya junjung tinggi, dan pada pentingnya membuat tempat kerja menjadi lebih aman. Aktifitas saya saat itu dipenuhi dengan pengelolaan audit, daftar periksa (checklists), pengarahan keselamatan, dan dokumentasi ritme kepatuhan yang teratur. Saat itu saya benar-benar berpikir bahwa saya sedang melakukan pekerjaan yang dapat melindungi keselamatan orang-orang (buruh-buruh). Namun seiring berjalannya waktu, rasa tidak nyaman mulai tumbuh—kegelisahan yang semakin meningkat ketika saya keluar dari lingkungan perusahaan dan mulai terlibat secara lebih kritis dengan dunia advokasi hak-hak perburuhan dan keselamatan kerja.
Tulisan ini merefleksikan perubahan cara pandang tersebut. Tulisan ini merekam perjalanan saya dari “mengelola keselamatan kerja sebagai tugas perusahaan” hingga menata ulang pemahaman terkait “keselamatan kerja sebagai masalah pemberdayaan buruh”. Titik tolak perubahan pandangan tersebut terjadi saat saya menempuh studi pascasarjana di SOAS, khususnya melalui penempatan virtual dengan TPOLS (Transnational Palm Oil Labour Solidarity) Network, sebuah jaringan yang bekerja untuk membangun aliansi dan solidaritas dalam mendorong peningkatan kondisi kerja buruh sawit secara demokratis. Di sinilah, ketika mendengarkan kesaksian dari buruh dan pemimpin serikat buruh, saya mulai melihat keterbatasan—dan bahaya—dari sistem yang dulu saya junjung tinggi.
Saya juga menemukan buku “Safety Differently” oleh Sidney Dekker, yang membantu saya memaknai dan memahami apa yang sebelumnya saya rasakan, tetapi tidak sepenuhnya saya pahami. Kritik Dekker terhadap rezim “keselamatan kerja” yang digerakkan oleh audit beresonansi dengan apa yang saya saksikan di perkebunan: sebuah sistem yang lebih mementingkan pengelolaan tanggung jawab daripada membina perlindungan yang sesungguhnya. Istilah perlindungan mengacu pada kesejahteraan fisik dan emosional buruh, sementara perlindungan yang sesungguhnya menyiratkan pendekatan holistik dan proaktif yang lebih dari sekadar kepatuhan untuk benar-benar melindungi hak-hak, kesehatan, dan martabat pekerja. Melalui lensa ganda ini—refleksi akademis dan keterlibatan praktis—saya mempertanyakan “politik risiko”. Dalam konteks ini, politik risiko mengacu pada bagaimana prioritas perusahaan dan struktur kekuasaan membentuk siapa yang memikul tanggung jawab atas keselamatan kerja dan bagaimana risiko dipersepsikan dan dikelola. Seperti yang saya pelajari melalui penempatan studi saya, sistem keselamatan perusahaan sering kali memprioritaskan kelangsungan bisnis daripada kesejahteraan pekerja. Kesadaran ini mendorong saya untuk secara kritis menilai sifat performatif dari keselamatan kerja perusahaan.
Makalah ini mengeksplorasi sisi lain dari keselamatan kerja: realitas kehidupan para buruh yang menavigasi lingkungan berbahaya, struktur kekuasaan yang membentuk realitas tersebut, dan kemungkinan-kemungkinan yang muncul untuk budaya keselamatan kerja yang tidak didasarkan pada pengawasan dan kontrol, tetapi pada solidaritas dan keadilan. Berdasarkan pengalaman saya di TPOLS dan berdasarkan teori keselamatan kritis (yang menantang praktik keselamatan tradisional dengan mengadvokasi agensi dan pemberdayaan buruh), saya berpendapat bahwa keselamatan kerja yang sebenarnya hanya dapat muncul ketika buruh diakui bukan sebagai masalah yang harus dikelola, tetapi sebagai agen perubahan dengan sendirinya. Pendekatan ini, yang menekankan praktik keselamatan kolaboratif dan advokasi yang dipandu oleh buruh, mewakili sisi lain dari keselamatan kerja, di mana keselamatan tidak dipaksakan dari atas ke bawah, tetapi diciptakan bersama dengan buruh untuk mengatasi akar penyebab kondisi yang tidak aman.
Politik Risiko dan Pengendalian Masalah K3 Perkebunan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di industri sawit sering kali ditampilkan sebagai sebuah sistem yang dirancang untuk melindungi buruh. Namun, sering kali sistem ini berfungsi sebagai alat kontrol perusahaan, yang digunakan untuk mengelola tanggung jawab perusahaan, mempertahankan target produksi, dan menciptakan citra publik tentang kepatuhan. Selama penempatan studi saya di TPOLS, kontradiksi ini menjadi semakin nyata, karena di balik kebijakan dan prosedur formal perusahaan, para buruh terus menghadapi kondisi kerja yang tidak aman dan tidak adil.
Contoh nyata dari hal ini adalah bagaimana perusahaan mengandalkan kepatuhan simbolis. Mereka menciptakan kesan tanggung jawab melalui tanda-tanda keselamatan yang ditunjukkan—poster yang mengingatkan pekerja untuk mengenakan sarung tangan, sesi pelatihan berkala, dan distribusi APD dasar seperti masker dan sepatu bot. Langkah-langkah ini mudah untuk didokumentasikan, difoto, dan dimasukkan ke dalam laporan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Namun, langkah-langkah tersebut sering kali hanya berdampak kecil terhadap keselamatan dan kesejahteraan buruh, terutama jika dilaksanakan tanpa keterlibatan yang tulus, sumber daya yang memadai, atau penegakan hukum yang konsisten di lapangan.
Rudi, seorang pemimpin serikat buruh yang saya wawancarai selama penempatan saya, menjelaskan bagaimana kebijakan K3 terlihat bagus di atas kertas tetapi tidak memiliki penegakan hukum yang nyata. Para buruh mungkin menerima pemeriksaan kesehatan tahunan, tetapi mereka sering tidak diberitahu tentang hasilnya. APD sering kali berkualitas rendah atau tidak memadai, dan pelatihan keselamatan cenderung hanya dilakukan satu kali, yang tidak berhubungan sama sekali dengan risiko yang dihadapi buruh sehari-hari. Yang lebih memprihatinkan lagi, ketika kecelakaan atau penyakit terjadi, perusahaan sering kali mencari cara untuk melimpahkan kesalahan kepada buruh itu sendiri.
Pelimpahan kesalahan kepada buruh ini merupakan bagian dari tren yang lebih luas di mana buruh dipaksa untuk memikul tanggung jawab untuk mengelola risiko yang tidak dapat mereka kendalikan. Banyak buruh yang diharuskan menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka memahami bahaya dari pekerjaan mereka dan menerima risikonya. Hal ini menciptakan rasa persetujuan yang salah. Pada kenyataannya, buruh menerima risiko-risiko ini karena terdesak secara ekonomi, bukan karena mereka merasa aman atau diberdayakan. Jika terjadi kesalahan, perusahaan dapat menunjuk pada formulir yang telah ditandatangani dan menghindari pertanggungjawaban.
Strategi ini sangat efektif untuk buruh migran, yang sering kali lebih disukai oleh perusahaan sawit karena mereka lebih rentan. Buruh migran cenderung tidak dapat berorganisasi atau menuntut kondisi yang lebih baik karena status hukum mereka yang tidak jelas, kendala bahasa, atau kurangnya jaringan lokal. Seperti yang dikatakan Rudi, hal ini membuat mereka lebih mudah dikendalikan. Mereka dibayar lebih rendah, diharapkan untuk melakukan tugas-tugas yang lebih berbahaya, dan menjadi orang pertama yang akan dipecat jika mereka bersuara.
Gender juga memainkan peran tambahan dalam bagaimana risiko didistribusikan. Perempuan sering kali ditugaskan pada pekerjaan yang paling berbahaya dan paling tidak diatur, seperti penyemprotan pestisida. Pekerjaan-pekerjaan ini memiliki risiko kesehatan yang serius, termasuk gangguan reproduksi, tetapi jarang dibahas secara terbuka. Para buruh perempuan yang saya temui melalui TPOLS berbagi cerita tentang menstruasi yang tidak teratur dan keguguran—masalah yang bahkan tidak diakui dalam sebagian besar kerangka kerja K3. Hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada dukungan, tidak ada kompensasi, dan tidak ada pertimbangan nyata tentang bagaimana gender membentuk kerentanan di tempat kerja—membuat perempuan terpapar pada konsekuensi kesehatan jangka panjang yang tetap tidak terlihat dalam kebijakan dan praktik.
Melalui mekanisme ini—kepatuhan simbolis, persetujuan palsu, kerentanan selektif, dan pengabaian berbasis gender—perusahaan-perusahaan sawit mempertahankan kontrol sambil menghindari tanggung jawab yang sebenarnya. K3 menjadi perisai yang melindungi perusahaan, bukan buruh. Sistem ini dirancang untuk mendokumentasikan bahwa langkah-langkah keselamatan telah ada, dan bukan untuk memastikan bahwa para buruh benar-benar aman.
Wawasan ini menantang banyak asumsi saya sebagai mantan manajer K3. Dulu, saya berpikir bahwa memiliki kebijakan dan prosedur saja sudah cukup—bahwa jika Anda mencentang semua kotak cheklist, Anda sudah melakukan hal yang benar. Namun, kenyataan yang saya temui melalui TPOLS menunjukkan kepada saya bahwa kebijakan hanya sebagus struktur kekuasaan yang mendukungnya. Di perkebunan, struktur-struktur tersebut sangat condong untuk mendukung perusahaan. Kecuali jika ketidakseimbangan tersebut diatasi, K3 akan tetap hanya menjadi performa, bukan perlindungan.
Memahami politik risiko dan kontrol ini sangat penting bagi siapa saja yang ingin terlibat dengan hak-hak dan keselamatan pekerja dengan cara yang bermakna. Tidaklah cukup hanya dengan menuntut lebih banyak audit atau daftar periksa (checklists) yang lebih ketat. Yang dibutuhkan adalah pergeseran kekuasaan ke arah sistem yang digerakkan oleh suara buruh, bukan kepentingan perusahaan. Inilah jenis K3 yang harus kita perjuangkan.
Memaknai Ulang Rezim Keselamatan Kerja: Dari Kepatuhan Manajerial ke Agensi Buruh
Berkaca pada peran saya di masa lalu, sekarang saya melihat betapa melekatnya saya pada sistem yang memprioritaskan dokumentasi di atas keselamatan yang sesungguhnya. Saat itu, saya yakin bahwa saya melakukan hal yang benar—menegakkan kebijakan, mengawasi audit, dan memastikan prosedur diikuti. Namun, baru setelah saya meninggalkan jabatan tersebut, saya mulai memahami betapa sempit dan terbatasnya visi keselamatan tersebut.
Setelah pengalaman yang saya Jalani tersebut, seseorang merekomendasikan saya untuk membaca buku “Safety Differently” karya Sidney Dekker. Buku tersebut menandai sebuah titik balik cara pandang saya. Dekker menantang dasar-dasar pemikiran K3 tradisional. Dia berpendapat bahwa keselamatan, seperti yang biasa dipraktikkan, telah menjadi terlalu fokus pada birokrasi, audit, dan kontrol. Hal ini lebih kepada mencentang kotak-kotak checklists daripada bertanya apakah buruh benar-benar merasa aman atau memiliki suara dalam membentuk kondisi kerja mereka.
Dengan membaca Dekker, saya terbantu untuk memahami ketidaknyamanan yang mulai saya rasakan di pekerjaan lama saya, namun tidak dapat saya ungkapkan. Saya telah menjadi bagian dari sebuah sistem yang melihat buruh sebagai masalah yang harus dikelola, bukan sebagai orang yang memiliki wawasan dan keahlian. Kami bereaksi terhadap kecelakaan dengan membuat lebih banyak aturan, lebih banyak batasan—jarang sekali berhenti untuk bertanya apakah metode kami merupakan bagian dari masalah itu sendiri. Dekker berpesan bahwa “manusia bukanlah masalah, melainkan solusi”, yang memaksa saya untuk mempertimbangkan kembali segalanya.
Ketika saya terlibat dengan TPOLS untuk penempatan studi, saya sudah mulai mempertanyakan praktik-praktik saya sebelumnya. Namun, mendengar langsung dari para buruh lah yang membuat refleksi ini menjadi nyata. Buruh menggambarkan bagaimana, sebelum pengorganisasian serikat buruh, kecelakaan dan cedera merupakan hal yang biasa terjadi, dan manajemen mengabaikan keprihatinan para buruh. Ketika para buruh menemukan cara untuk mengatasi atau beradaptasi, mereka dihukum karena melanggar peraturan, meskipun adaptasi tersebut merupakan satu-satunya cara untuk membuat mereka tetap aman. Hubungan antara keberadaan serikat buruh dan peningkatan keselamatan kerja sangat jelas: buruh yang tergabung dalam serikat buruh lebih mungkin untuk memiliki suara dalam kondisi kerja mereka, yang mengarah pada praktik keselamatan kerja yang lebih baik dan advokasi yang lebih kuat untuk hak-hak buruh.
Pengalaman ini mencerminkan apa yang disebut Dekker sebagai “hanyut dalam kegagalan”—erosi keselamatan secara perlahan-lahan karena risiko menjadi normal dalam mengejar produktivitas. Dalam industri sawit, di mana efisiensi adalah segalanya, pergeseran ini sangat berbahaya. Praktik-praktik yang tidak aman menjadi rutinitas karena dianggap perlu untuk memenuhi target. Ketika terjadi kesalahan, perusahaan merespon dengan lebih banyak pelatihan atau pengawasan yang lebih ketat, daripada mengatasi akar penyebabnya. Proses ini ditandai dengan ketergantungan yang berlebihan pada langkah-langkah birokrasi yang hanya menutupi masalah yang lebih dalam yang sedang terjadi, sama seperti sistem keselamatan perusahaan yang pernah saya terapkan.
Namun, TPOLS menawarkan visi yang berbeda. Pendekatan mereka terhadap keselamatan bukanlah tentang pengawasan—ini tentang solidaritas. Mereka membangun hubungan dengan para buruh, memperlakukan mereka sebagai ahli dalam kondisi mereka sendiri, dan mengadvokasi perubahan sistemik daripada perbaikan yang dangkal. Mereka menyadari bahwa keselamatan kerja yang sesungguhnya bersifat politis: ini adalah tentang kekuasaan, suara, dan agensi. Pergeseran dari kepatuhan manajerial ke agensi buruh menyoroti potensi transformatif dari sistem keselamatan kerja yang dipandu oleh buruh, di mana buruh tidak hanya menjadi penerima protokol keselamatan, tetapi juga menjadi partisipan aktif dalam membentuk perlindungan mereka sendiri.
Perbedaan ini memberikan dampak yang mendalam bagi saya. Sekarang saya melihat bahwa keselamatan kerja seharusnya bukan sesuatu yang dilakukan terhadap buruh, tetapi sesuatu yang dibangun bersama mereka. Ini bukan tentang mengelola risiko secara terpisah—ini tentang menciptakan lingkungan di mana orang dapat berbicara, beradaptasi, dan melindungi satu sama lain. Pendekatan lama saya mengandalkan aturan; pemahaman baru saya menghargai hubungan.
Belajar dari Safety Differently dan dari TPOLS telah membentuk kembali orientasi profesional dan etika saya. Saya tidak lagi melihat K3 sebagai fungsi perusahaan—saya melihatnya sebagai ruang untuk advokasi, pemberdayaan, dan keadilan. Dan saya percaya bahwa agar K3 dapat benar-benar berfungsi di tempat-tempat seperti perkebunan sawit, K3 harus dimulai dengan mengakui buruh sebagai agen keselamatan, bukan sebagai objek peraturan. Pergeseran ini, pada dasarnya, adalah “sisi lain dari keselamatan kerja”—sebuah sistem yang tumbuh dari kepercayaan, bukan pengawasan; dari martabat, bukan disiplin.
Sebagai penutup, tulisan ini telah mengeksplorasi batas-batas sistem K3 perusahaan dan potensi transformatif dari advokasi keselamatan yang dipandu oleh buruh, dengan mengacu pada pengalaman profesional masa lalu saya dan pengalaman saya dengan TPOLS. Saya memahami bahwa sistem yang pernah saya terapkan—audit, protokol, dan pemeriksaan kepatuhan—lebih bersifat melindungi perusahaan dari tanggung jawab ketimbang melindungi orang-orang yang melakukan pekerjaan. Sistem-sistem tersebut dibangun dengan asumsi bahwa keselamatan adalah sesuatu yang dapat dipaksakan, diukur, dan dikontrol dari atas ke bawah.
Namun, melalui penelitian saya, penempatan studi saya, percakapan dengan para buruh, dan wawasan pemikir seperti Sidney Dekker, saya sekarang melihat bahwa keselamatan yang sebenarnya tidak dapat dicapai tanpa mengatasi hubungan kekuasaan yang mendasari risiko. Ketika buruh tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab atas risiko yang tidak dapat mereka kendalikan, keselamatan sekedar menjadi sebuah performa, bukan perlindungan. Sebaliknya, ketika keselamatan berakar pada agensi buruh, pengetahuan kolektif, dan solidaritas, keselamatan menjadi transformatif.
Inilah sisi lain dari keselamatan kerja—yang jarang kita lihat dalam laporan perusahaan atau brosur CSR. Ini adalah keselamatan yang tumbuh dari kepercayaan, bukan pengawasan; dari martabat, bukan disiplin. Perspektif ini mengakui bahwa buruh bukanlah penghalang untuk dikelola, melainkan sebagai ahli yang harus didengarkan. Bagi saya, merangkul perspektif ini tidak hanya menjadi latihan akademis, tetapi juga merupakan reorientasi pribadi. Saya sekarang melihat K3 bukan sebagai fungsi kepatuhan tetapi sebagai tempat perjuangan, politik, dan kemungkinan.
Ke depannya, saya berniat menggunakan latar belakang saya bukan untuk memperkuat rezim keselamatan perusahaan, melainkan untuk mendukung mereka yang bekerja untuk membongkar dan menata ulang rezim tersebut. Saya percaya bahwa sistem K3 yang adil dan bermakna harus dimulai dari orang-orang yang paling terdampak oleh pekerjaan yang tidak aman—dan dibangun melalui kemitraan dengan mereka, bukan dipaksakan kepada mereka. Itulah jenis keselamatan yang layak diperjuangkan.
MSc Candidate, Environment, Politics, and Development,
SOAS University of London
📍 London, United Kingdom
