Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mempertanyakan respon cepat pemerintah terkait usulan pengusaha merevisi UU Ketenagakerjaan. “Sejak UU Ketenagakerjaan yang melegitimasi outsourcing ditetapkan, buruh sudah bereaksi meminta ketentuan itu dihapuskan, tapi tidak ada respon dari pemerintah. Tahun 2015 lalu, Sawit Watch sudah mengusulkan kebijakan untuk perlindungan buruh perkebunan sawit, sampai saat ini belum ada langkah nyata pemerintah. Justru pemerintah dengan cepat merespon usulan pengusaha.”, kata Inda Fatinaware.
Maryo Saputra Sanuddin, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch menyatakan rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan memberatkan buruh di perkebunan sawit dan peraturan ini tidak dapat diterapkan di buruh perkebunan sawit. “Jika usulan perluasan kontrak dan outsourcing ini diterima maka kehidupan buruh perkebunan sawit akan semakin buruk. Fakta hari ini bahwa mayoritas buruh perkebunan sawit merupakan migran lokal.
Buruh datang dari Jawa atau NTT bekerja di perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan. Jika mereka di PHK atau habis kontrak, apakah pemerintah akan menjamin pekerjaan berikutnya? apakah pemerintah akan menanggung biaya hidup keluarganya? Hal lain, kami meyakini usulan pengusaha dan pemerintah untuk menghapus pesangon sebagai cara untuk menghilangkan kepastian kerja. Status buruh tetap menjadi tidak berarti karena jika buruh di PHK tidak akan memperoleh pesangon”. Pemerintah perlu mengkaji lagi rencana revisi ini dan satu hal yang pasti, buruh di perkebunan sawit, tidak sama dengan buruh di industri lainnya, kata Maryo.
“Jumlah buruh yang bekerja di sektor hilir industri sawit mencapai lebih dari 10 juta orang. Sebagian besar diantaranya adalah buruh precariat, buruh tanpa jaminan kepastian kerja, upah tergantung pencapaian kerja, tanpa jaminan kesehatan dan tidak terwakili dalam serikat buruh independen serta minim perlindungan. Kami mengkhawatirkan revisi UU Ketenagakerjaan akan melegitimasi praktik buruk ketenagakerjaan di perkebunan sawit. Untuk itu kami menolak revisi UU Ketenagakerjaan yang memberatkan bagi buruh perkebunan sawit”, lanjut Inda Fatinaware.
Revisi UU Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah bergulir sejak lama. Terbaru, Apindo mengatakan UU Ketenagakerjaan saat ini menyebabkan tidak banyak investor yang berinvestasi di sektor industri padat karya. Beberapa hal yang diusulkan pengusaha seperti penetapan upah disesuaikan setiap 2 tahun, perluasan sektor pekerjaan alih daya, ketentuan besar pesangon, kontrak kerja dan PHK tanpa pesangon bagi buruh yang melakukan mogok kerja tidak sah. Merespon usulan pengusaha, Presiden Jokowi meminta kementerian terkait meninjau ulang UU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak relevan lagi. Menteri Tenaga Kerja menegaskan revisi UU Ketenagakerjaan bertujuan untuk menciptakan iklim ketenagakerjaan yang mendukung industri padat karya.
Maryo Saputra Sanuddin, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch menyatakan rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan memberatkan buruh di perkebunan sawit dan peraturan ini tidak dapat diterapkan di buruh perkebunan sawit. “Jika usulan perluasan kontrak dan outsourcing ini diterima maka kehidupan buruh perkebunan sawit akan semakin buruk. Fakta hari ini bahwa mayoritas buruh perkebunan sawit merupakan migran lokal.
Buruh datang dari Jawa atau NTT bekerja di perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan. Jika mereka di PHK atau habis kontrak, apakah pemerintah akan menjamin pekerjaan berikutnya? apakah pemerintah akan menanggung biaya hidup keluarganya? Hal lain, kami meyakini usulan pengusaha dan pemerintah untuk menghapus pesangon sebagai cara untuk menghilangkan kepastian kerja. Status buruh tetap menjadi tidak berarti karena jika buruh di PHK tidak akan memperoleh pesangon”. Pemerintah perlu mengkaji lagi rencana revisi ini dan satu hal yang pasti, buruh di perkebunan sawit, tidak sama dengan buruh di industri lainnya, kata Maryo.
“Jumlah buruh yang bekerja di sektor hilir industri sawit mencapai lebih dari 10 juta orang. Sebagian besar diantaranya adalah buruh precariat, buruh tanpa jaminan kepastian kerja, upah tergantung pencapaian kerja, tanpa jaminan kesehatan dan tidak terwakili dalam serikat buruh independen serta minim perlindungan. Kami mengkhawatirkan revisi UU Ketenagakerjaan akan melegitimasi praktik buruk ketenagakerjaan di perkebunan sawit. Untuk itu kami menolak revisi UU Ketenagakerjaan yang memberatkan bagi buruh perkebunan sawit”, lanjut Inda Fatinaware.
Revisi UU Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah bergulir sejak lama. Terbaru, Apindo mengatakan UU Ketenagakerjaan saat ini menyebabkan tidak banyak investor yang berinvestasi di sektor industri padat karya. Beberapa hal yang diusulkan pengusaha seperti penetapan upah disesuaikan setiap 2 tahun, perluasan sektor pekerjaan alih daya, ketentuan besar pesangon, kontrak kerja dan PHK tanpa pesangon bagi buruh yang melakukan mogok kerja tidak sah. Merespon usulan pengusaha, Presiden Jokowi meminta kementerian terkait meninjau ulang UU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak relevan lagi. Menteri Tenaga Kerja menegaskan revisi UU Ketenagakerjaan bertujuan untuk menciptakan iklim ketenagakerjaan yang mendukung industri padat karya.
Kontak Person :
Inda Fatinaware : 081148677/[email protected]
Maryo: 085228066649 /[email protected]
Inda Fatinaware : 081148677/[email protected]
Maryo: 085228066649 /[email protected]