Riset dan Aksi: Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Perkebunan Sawit

oleh | Apr 22, 2022 | Fokus, Perburuhan

Tempat kerja bukan kuburan

Training of Trainers (ToT) diadakan untuk membekali pengetahuan dasar-dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi pekerja di industri Kelapa Sawit. Pada kesempatan kali ini, TPOLS sebagai pemantik diskusi menggaet kawan-kawan serikat pekerja yang diantaranya merupakan pekerja di sektor kelapa sawit yang bergabung dengan dari Federasi SERBUK Indonesia Komwil Kalimantan. Diskusi ini turut menghadirkan dua orang narasumber yaitu Dr. Maksuk, S.KM M.Kes dari Poltekkes Kemenkas yang merupakan praktisi kesehatan masyarakat memiliki kepedulian terhadap dampak pestisida terhadap K3 dan Subono dari Federasi SERBUK yang merupakan aktivis yang telah berpengalaman mengorganisir pekerja dalam isu K3 khususnya asbestosis.

“Konsep sistem manajemen K3 itu pekerjanya selamat, pekerjanya sehat dan juga produktif”

Menapaki Dunia Berbahaya: Perkebunan Kelapa Sawit
Pertama-tama, kegiatan TOT diawali dengan sambutan dari Koordinator TPOLS, Rizal Assalam dan Representasi NSI, Rahman yang telah menyinggung permasalahan buruknya kondisi K3 di industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia. Berbagai permasalahan terkait buruknya K3 tersebut terus hadir, kian memanas, menggelinding dengan cepat, dan bersiap menghantam tiap-tiap pekerja perkebunan kelapa sawit hingga tak jarang meregang nyawa. Kondisi memprihatinkan ini, turut diperparah dengan tumpang tindih regulasi pemerintah terkait regulasi ketenagakerjaan, standar K3, dan penggunaan bahan berbahaya yang berpotensi menyebabkan Penyakit Akibat Kerja (PAK). Serta, seringkali kondisi membahayakan ini tidak mudah dipahami pekerja. Berkaitan dengan kondisi tersebut, TOT berupaya menjembatani proses transfer pengetahuan dengan memaparkan hasil temuan studi literatur yang ditelusuri tim peneliti, serta materi-materi singkat dari narasumber untuk didiskusikan bersama.

Fakta-fakta buruknya kondisi K3 di industri kelapa sawit banyak ditemukan dalam studi literatur. Fakta-fakta yang ada membuktikan, bahwa industri kelapa sawit yang seringkali diasosiasikan dengan uang oleh pemerintah, nyatanya merupakan tempat kerja yang berbahaya. Hasil identifikasi menunjukkan potensi kecelakaan kerja mengancam pekerja pada nyaris seluruh sektor, yaitu perkebunan, transportasi panen, dan pabrik yang mana di seluruh sektor itu banyak dilibatkan buruh harian atau buruh lepas yang tidak memiliki asuransi kerja. Kemudian, penelitian memfokuskan pada isu bahan kimia berbahaya yang digunakan oleh para pekerja penyemprot.

Menanggapi temuan penelitian, Muzakir seorang pekerja perkebunan Kelapa Sawit yang memiliki pengalaman bekerja sebagai imigran di Malaysia menyepakati bahwa temuan yang diutarakan benar adanya. Justru, kondisi nyata di lapangan berlangsung lebih buruk dari apa yang dibayangkan. Faktanya, penanganan K3 di perusahaan perkebunan kecil di perbatasan Indonesia – Malaysia tidak jarang bertindak sembrono dengan “memajaki” para pekerja dengan potongan biaya Alat Perlindungan Diri (APD) untuk keselamatan dirinya. Di samping itu, para “tangan ketiga” yaitu para perantara kerja outsourcing di perbatasan seolah menjanjikan penghidupan yang lebih baik di negara tetangga. Umumnya, calon pekerja imigran diiming-imingi penghidupan lebih layak dengan upah yang lebih baik untuk dibawa ke areal perkebunan Malaysia. Namun akhirnya, justru sering kali dipulangkan secara nahas, misalnya hanya tinggal jasad dengan organ tubuh yang tidak lengkap.

Mengantarkan pada diskusi yang lebih terfokus, Dr. Maksuk menyambung diskusi dengan permasalahan K3 yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida berbahaya, seperti salah satunya paraquat yang banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit. Dalam studinya, pekerja perkebunan cenderung memiliki pengetahuan terbatas terkait bahaya dan penggunaan tiap-tiap alat dan bahan. Dengan keterbatasan yang ada, tidak jarang dijumpai pekerja yang menggunakan APD yang minim. Nahasnya, ketika penyakit mulai terasa dan menyerang, petugas kesehatan maupun dokter umum sering kali sulit mengidentifikasi sumber penyakit, karena pengecekan penyakit akibat pestisida memerlukan pengecekan khusus menggunakan tes urin maupun darah.

Kemudian, Subono sebagai aktivis yang pernah mengorganisir pekerja yang terdampak isu asbestosis menyambung obrolan dengan memberikan materi dasar-dasar K3 yang wajib dipahami pekerja. Dalam materinya, Subono turut mengungkapkan berbagai tantangan pengorganisiran pekerja yang terdampak. Salah satu tantangan utama pengorganisiran terkait isu K3 masih jarang dijumpai karena dianggap sebagai sesuai yang mahal. Misalnya perusahaan perlu mengeluarkan anggaran yang besar untuk menciptakan tempat kerja yang sesuai standar K3 lengkap dengan pengadaan klinik dan tenaga kesehatan. Di sisi lainnya, tidak sembarang dokter dapat menangani isu K3 karena tiap-tiap praktisi kesehatan pun perlu melakukan pengecekan laboratorium untuk memastikan kadar zat tertentu dalam tubuh. Tentunya, pekerja dengan segala keterbatasan yang ada menganggap pengecekan kesehatan merupakan hal yang mewah, tanpa dorongan fasilitas kesehatan, tidak mudah bagi pekerja melakukan pengecekan kesehatan.

Menyalakan Tanda Bahaya
Diskusi dibuka dengan pengalaman-pengalaman pekerja terkait isu K3 yang telah disampaikan. Tanggapan pertama, diungkapkan oleh Agyl dengan pengalamannya ketika mengunjungi perkebunan kelapa sawit milik perusahaan yang bersertifikasi RSPO di Riau. Menurutnya, praktik-praktik terkait K3 di perkebunan kelapa sawit begitu minim. Misalnya, tidak jarang pekerja dijumpai tidak menggunakan APD dan melalui prosedur penyemprotan sesuai K3. Tentu, kita tidak dapat menyalahkan pekerja, karena bagaimanapun pengetahuan pekerja terbatas pada hal-hal yang disampaikan perusahaan.

Menanggapi kondisi tersebut, Rudi yang juga bekerja di perkebunan kelapa sawit yang telah tersertifikasi RSPO mengungkapkan kondisi K3 pekerja di perkebunan kelapa sawit dideterminasi oleh perilaku perusahaan. Menurutnya pengetahuan dan komunikasi bahaya terkait K3 memang disampaikan secara terbatas, sehingga ia cenderung lebih banyak mendapat pengetahuan dari pelatihan-pelatihan yang diberikan serikat. Beberapa kondisi lainnya yang turut menjadi perhatian, diantaranya; (1) tingginya tuntutan produktivitas yang tidak masuk akal bila dibandingkan dengan pengadaan fasilitas APD, misalnya pekerja tetap harus bekerja di rawa-rawa maupun ketika kondisi banjir, (2) fasilitas medical check up hanya dapat dilakukan secara terbatas, khususnya menjelang audit sertifikasi, (3) terjadi kematian pekerja yang diakibatkan oleh penyumbatan jantung, namun keterbatasan fasilitas otopsi dan trauma keluarga korban menjadikan serikat tidak dapat menelusuri lebih jauh perkara yang ada. Menariknya, tanpa berupaya mencari tahu akar permasalahan, perusahaan secara rutin memberikan pekerja penyemprotan susu kental manis saset perhari.

Kondisi atas perilaku perusahaan tersebut kemudian direspon oleh Dr Maksuk, yang mengungkapkan bahwa “kompensasi” susu kental manis tidak lantas menjadi alasan perusahaan menunaikan kewajibannya dalam mengadakan fasilitas K3. Buruknya kondisi K3 di berbagai perusahaan perlu diatasi dari “atas” melalui regulasi pemerintah dan perusahaan yang turut diawasi oleh jumlah personel K3 yang memadai.

Sayangnya, perusahaan seringkali mangkir dari komitmen yang dibentuknya. Perusahaan membangun benteng tinggi yang sulit dilalui. Kondisi ini, dapat lebih parah di perkebunan kelapa sawit yang bersifat tertutup dan lokasinya jauh dari pusat kota. Tidak jarang, serikat pekerja dibentuk oleh perusahaan dalam kepentingan sertifikasi. Setelahnya, masih menjadi pertanyaan besar: Apakah benar-benar sekitar pekerja memperjuangkan hak K3 pekerja?

Melangkah Lebih Jauh
Permasalahan K3 merupakan permasalahan bersama yang memerlukan proses panjang. Maka, peserta diskusi bersama-sama mengumpulkan saran untuk keberlangsungan aksi. Beberapa rekomendasi yaitu;

  1. Pengorganisiran menyeluruh, tidak hanya menyasar kepada buruh dan serikat, namun juga diperlukan tenaga peneliti dan dokter-dokter yang diperlukan untuk pengawasan.
  2. Pendekatan perlahan terhadap pekerja tanpa mengglorifikasi isu K3 agar tidak membuat pekerja traumatis.
  3. Mulai melakukan pengawasan dan pendataan PAK (Penyakit Akibat Kerja), dengan adanya big data terkait penyakit yang diindikasikan terjadi pada pekerja dapat mengukuhkan fenomena dalam ranah penelitian.
  4. Mendorong berjalan kembalinya program-program K3 yang telah dirancang pemerintah melalui dinas-dinasnya, seperti penguatan kembali puskesmas dengan Pos UKK (Upaya Kesehatan Kerja), penguatan kembali lembaga pengecekan pestisida

Pada akhirnya, agar dapat menjadikan permasalahan penelitian menjadi permasalahan bersama, tim penelitian mengajak SERBUK sebagai rekan peneliti agar dapat turut bersama-sama mengawal isu K3. Penelitian yang ada tidak mampu menjadi solusi apapun, tanpa adanya pengorganisiran dan penguatan basis yang pusatnya adalah tiap-tiap pekerja perkebunan sawit itu sendiri. Dengan merangkum saran-saran dan atas seluruh dukungan SERBUK, narasumber, dan kawan-kawan yang terlibat dalam diskusi telah membantu kita bersama untuk satu langkah lebih dekat dengan isu K3 di perkebunan kelapa sawit. Tidak lupa, tim peneliti pun menjelaskan bahwa hasil TOT akan menjadi bahan-bahan penyusun untuk kegiatan pengorganisiran di lapang maupun pada isu-isu K3 lainnya. Maka, pada akhirnya menutup diskusi, pada proses yang panjang itu diperlukan kolaborasi bersama.

“Tempat kerja bukan kuburan”

Pin It on Pinterest