Pernyataan pers
Selasa, 7 Juli 2022, para petani plasma di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, melakukan aksi “pasang spanduk” di jalan dan depan rumah mereka untuk menyampaikan pesan pada perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) agar mengembalikan lahan mereka yang sudah diplasmakan oleh PT HIP. Pesan itu juga disampaikan pada pihak pemerintah untuk bertanggung jawab menyelesaikan konflik petani plasma dengan PT HIP karena pemerintah yang memberikan ijin masuknya PT HIP ke Buol dan merampas lahan-lahan petani. Tuntutan tersebut mereka ajukan karena kemitraan plasma yang dijalankan dan dikeloka PT HIP telah merugikan petani. Sejak sawit ditanam hingga sekarang, petani tidak mendapatkan hasil. Alih-alih menerima hasil, utang yang dibebankan pada petani justru semakin membesar tanpa petani tahu penambahan utang itu untuk apa. Sementara petani hanya bisa menonton truk-truk PT HIP mengangkut hasil sawit dari kebun plasma mereka. PT HIP sama sekali tidak transparan dalam mengelola kebun plasma. Pihak perusahaan hanya memberi informasi tentang utang petani plasma yang semakin bertambah tanpa petani menerima hasilnya.
Para petani sudah menempuh banyak jalan untuk memperjuangkan hak mereka. Dari mendatangi pemerintah daerah sampai datang ke Jakarta untuk bertemu pemilik perusahaan di Jakarta. Namun mereka pulang dengan tangan kosong. Para petani juga sudah berulangkali melakukan protes pada PT HIP lewat berbagai cara, termasuk memblokir kebun plasma mereka. Namun pihak PT HIP hanya merespon dengan janji-janji dan juga ancaman akan mengerahkan polisi untuk menangkap dan memenjarakan para petani. Beberapa petani dari koperasi plasma “Awal Baru” yang sebelumnya melakukan aksi pemblokiran, telah menyampaikan surat pemutusan kerjasama kemitraan, dan melakukan aksi “memanen buah sawit” di kebun plasma mereka, sudah ditangkap polisi dan dipenjarakan dengan tuduhan mencuri buah sawit. Pertemuan terakhir para petani plasma dari koperasi plasma “Amanah” di Desa Winangun dengan pemilik PT HIP, Hartati Murdaya Po, yang dilakukan secara online juga tidak membawa hasil. Petani tetap saja dijanjikan akan mendapatkan hasil dan sekaligus diancam akan ditangkap dan dipenjarakan apabila para petani menentang perusahaan.
Para petani mengikuti kemitraan plasma karena PT HIP menjanjikan kesejahteraan pada para petani. Listan, ketua Koperasi plasma Awal Baru, misalnya, menyatakan “Waktu perusahaan datang, mereka menjanjikan petani akan sejahtera dengan plasma.” Sri Subekti, seorang petani plasma dari Desa Winangun, menyatakan, “Ketika Ibu (Hartati Murdaya) datang, petani dijanjikan kalau mengikuti plasma akan mendapatkan hasil meskipun tidak bekerja. Dengan memiliki 30 pohon sawit saja sudah bisa membiayai pendidikan anak. Ketika saya menyerahkan sertifikat tanah, mereka bilang, ah ibu nanti setiap tahun bisa membeli mobil.” Jam’an, sekretaris koperasi plasma “Plaza” menyatakan, “PT HIP menjanjikan akan membangun kebun plasma untuk para anggota koperasi Plaza seluas 1.000 hektar, namun yang dibangun ternyata hanya 400 hektar saja.”
Janji kesejahteraan yang disampaikan PT HIP hanyalah harapan kosong karena sudah belasan tahun kebun plasma berjalan dan petani tidak menerima hasil. Bahkan Wati, petani plasma dari Desa Winangun dengan kecewa mengatakan, “Sampai petani mati utang tidak akan lunas karena terus bertambah.” Para petani sangat menyesal sudah menyerahkan lahan untuk kebun plasma karena mereka sangat dirugikan. Saryono, petani plasma anggota koperasi Amanah sempat menyatakan, “Kalau saja kebun keluarga kami tidak diplasmakan dan ditanami jagung, maka kami bisa mendapatkan hasil setidaknya Rp 20 juta setiap musim tanam. Kalau ditanami cengkeh hasilnya bisa Rp100 juta/hektar/tahun atau sekitar Rp8 juta/hektar/bulan. Kami merasa rugi besar dengan plasma ini karena tidak dapat hasil.”
Sudah bertahun-tahun para petani menantikan hasil dari kebun plasma mereka. Sebagian besar petani plasma tersebut adalah petani transmigran yang lahan pertaniannya sangat terbatas dan kini mereka tidak lagi memiliki lahan pertanian karena lahan sudah diplasmakan. Dengan tidak menerima hasil para petani semakin kesulitan untuk menyambung hidup karena mereka tidak lagi memiliki lahan pertanian sebagai sumber kehidupan, sementara harga kebutuhan pokok semakin melambung. Petani juga kesulitan membiayai pendidikan anak. Kondisi inilah yang melatarbelakangi para petani plasma menuntut lahan mereka dikembalikan. Mereka tidak lagi menuntut perusahaan memberikan hasil dari kebun plasma tetapi mereka ingin tanah mereka dikembalikan. Sebab tanah itulah satu-satunya sumber penghidupan petani.
Sekali lagi, dengan melakukan aksi “pasang spanduk” petani berharap perusahaan mengembalikan tanah mereka. Mereka ingin kehidupan mereka yang diambil perusahaan lewat kemitraan plasma dikembalikan pada mereka. Tanah adalah nafas hidupnya para petani. Dengan melakukan aksi pasang spanduk, para petani plasma juga menyampaikan “SOS” pada siapapun pihak yang dapat membantu mereka mendapatkan kembali tanah yang jadi satu-satunya sumber penghidupan para petani. Terlampir adalah foto-foto spanduk yang dipasang para petani dan hasil investigasi terkait detil kasus konflik petani plasma dengan PT HIP yang dilakukan Ecosoc Institute pada 2021.
Buol, 8 Juli 2022
Narahubung :
1. Prana (petani plasma, pengawas koperasi plasma “Amanah”) 0822 9674 9870
2. Iin (petani plasma, anggota koperasi plasma “Amanah”) 0823 3276 2160
3. Udin (petani plasma, anggota koperasi plasma “Amanah”) 082271563587
4. Ali (relawan pendamping petani) : 0821 2013 5553
5. Sri Palupi (peneliti Ecosoc Institute) : 0813 1917 3650