“HENTIKAN REPRESI APARAT, HAPUSKAN UTANG, DAN KEMBALIKAN TANAH PETANI BUOL” (KEMITRAAN INTI-PLASMA YANG GAGAL MEMBERIKAN KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN BAGI PARA PETANI PEMILIK LAHAN DI BUOL, SULAWESI TENGAH)
2 Februari 2024
Pada 20 Januari 2023, jejaring TPOLS menyelenggarakan diskusi daring dengan tema “Bagaimana Plasma Memiskinkan Petani?”, yang dihadiri oleh berbagai perwakilan komunitas petani, serikat buruh, akademisi dan aktivis. Peserta diskusi yang berasal dari berbagai wilayah terlibat aktif menyampaikan dan mendiskusikan beragam permasalahan petani dan buruh plasma perkebunan sawit di wilayahnya masing-masing, seperti di Buol Sulawesi Tengah, Seruyan dan Penyang Kalimantan Tengah, Sambas Kalimantan Barat, dan Langkat Sumatera Utara. Meski setiap lokasi memiliki situasi dan permasalahan yang berbeda, peserta diskusi sepakat membangun solidaritas untuk saling mendukung satu sama lain.
Salah satu solidaritas yang disepakati karena dalam situasi yang mendesak adalah untuk kasus petani plasma Buol yang sedang melakukan aksi serentak penghentian operasional kebun plasma di 6 desa (desa Winangun, Taluan, Jatimulya, Suraya, Maniala dan Balau), yang sudah berlangsung selama 3 minggu dan terus mendapatkan upaya buka paksa dari pihak perusahaan sawit PT. Hardaya Inti Plantations (HIP). Ketimbang melakukan negosiasi seperti yang dituntut para petani pemilik lahan yang sedang asksi saat ini, PT. HIP lebih memilih cara-cara paksa, seperti adanya upaya membenturkan antar buruh kebun plasma dengan petani, melibatkan aparat Kepolisian hingga pasukan Brimob yang setiap hari berpatroli di lokasi-lokasi aksi penghentian kebun tersebut. Pernyataan Sikap Bersama ini secara khusus dirilis berdasarkan kesepakatan koalisi jaringan TPOLS sebagai dukungan bagi para petani pemilik lahan program kemitraan inti-plasma yang bekerjasama dengan PT. HIP.
Para petani mitra yang tergabung dalam Forum Petani Plasma Buol (FPPB) beserta koalisi jaringan TPOLS menilai PT. HIP terbukti merugikan pemilik lahan selama + 16 tahun. Lebih dari itu, perkebunan plasma yang dikelolah oleh PT. HIP tersebut dibangun bukan di atas tanah Hak Guna Usaha (HGU) melainkan dibangun di tanah milik Masyarakat di 11 desa, yang terdiri dari Lahan Usaha 2 program Transmigrasi, Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM), program pemerintah daerah TAURAT (tanah untuk rakyat), hingga Tanah Ulayat yang menjadi lahan produktif bagi petani Buol. “Saat ini kami sedang berusaha mereklaim lahan seluas + 3.312 hektare dari luasan 6.746 hektare total luas Perkebunan plasma milik Masyarakat yang dikelola oleh PT. HIP selama belasan tahun. Aksi ini dilakukan pemilik lahan di 4 koperasi tani plasma yang bermitra dengan PT. HIP dari total 7 koperasi plasma” jelas Fatrisia Ain (Kordinator FPPB) pada pertemuan daring tersebut.
Fatrisia Ain, Kordinator FPPB melanjutkan bahwa selama bertahun-tahun para petani mitra plasma tidak pernah menerima pendapatan hasil panen TBS atau Sisa Hasil Usaha (SHU). Semenjak PT HIP pertama kali beroperasi pada 2011, petani mitra belum menerima dana apa pun dari perusahaan. “Tahun tanam di setiap desa mungkin bisa berbeda-beda. Di Koperasi Amanah saya ambil contoh, selama 16 tahun para petani belum pernah menerima pendapatan hasil panen TBS. Di wilayah lain, seperti para petani pemilik lahan di koperasi Awal Baru, sejak 2011 sampai hari ini belum menerima Jadup atau dana apa pun,” ungkap Fatrisia Ain.
Bukannya segera meluruskan permasalahan, PT. HIP justru mengerahkan pasukan untuk melakukan pembubaran aksi penghentian aktivitas kebun yang dilakukan oleh petani mitra PT. HIP. “Sejauh ini memang ada upaya pembubaran paksa. Pada hari pertama aksi yakni 8 Januari 2024, ada pengerahan aparat BKO dari Polda Sulteng untuk membuka aktivitas operasi sawit PT. HIP kembali, meski dari jarak jauh, dan sudah mulai masuk aparat Brimob yang berkeliling di pos-pos aksi dan keenam desa. Penjelasan dari pihak Kapolres mereka dikerahkan untuk PAM Pemilu.” Ujar Fatrisia.
Pada kesempatan yang sama, Riyadi anggota jaringan TPOLS memaparkan bahwa aksi yang dilakukan oleh para petani pemilik lahan Buol ini bukanlah aksi yang pertama. Aksi penghentian operasional kebun serupa telah dilakukan petani mitra selama 3 tahun sebelumnya untuk terus memaksa pemerintah memberikan perhatian. “Aksi seperti ini adalah aksi yang ketiga. Sebelumnya di 2021 dan 2022 juga pernah ada aksi serupa, tuntutannya adalah kembalikan tanah dan selesaikan utang. Merespon hal ini, pada 2022 pemerintah membentuk pansus, yang juga tidak efektif sampai masa pansus itu sendiri berakhir,” jelas Riyadi.
Kemudian Riyadi menilai bahwa perusahaan menggunakan bermacam cara untuk membenturkan kepentingan antara petani dan buruh. “Ada konflik yang sengaja dibangun oleh perusahaan untuk membenturkan petani plasma dan buruh PT. HIP sendiri. Barangkali hari ini konflik tidak terlihat, mungkin saja nanti konflik akan meruncing ketika sewaktu-waktu terjadi pemotongan upah kepada buruh PT HIP jika pemalangan yang dilakukan petani terus berlanjut. Konflik ini mungkin saja tidak hanya terjadi di Buol,” tegas Riyadi.
Merespon pernyataan tersebut, Agil dari Serikat Buruh Kerakyatan, Kalimantan Tengah (Serbuk Kalteng) menilai bahwa skema kemitraan inti plasma yang dialami oleh petani Buol memiliki kemiripan dengan kasus yang terjadi pada petani mitra inti plasma di Desa Semanga, Kalimantan Barat. Kasus ini terjadi karena tidak adanya transparansi pada kebijakan kemitraan itu sendiri. “Plasma itu punya permasalahan yang cukup seragam, seperti hutang dan pembagian untung. Di Kampung Semanga contohnya, ada pembagian yang tidak adil, akibat itu sempat bentrok. Selama belasan tahun banyak petani terjebak hutang, ini akibat kebijakan kemitraan perusahaan tidak pernah transparan,” papar Agil.
Di akhir diskusi, Rizal dari Sekretariat TPOLS menegaskan kembali bahwa konflik dalam skema kemitraan inti plasma di Buol bisa saja terjadi di tempat lain. Untuk itu, diperlukan solidaritas yang kuat di antara buruh, petani dan masyarakat lokal/adat. “Hal ini mungkin juga terjadi di tempat lain, diskusi ini tidak hanya ditujukan untuk menggali permasalahan bersama, tetapi juga sebagai upaya untuk menyatakan sikap bersama terhadap kasus di wilayah yang sedang membutuhkan solidaritas dari jaringan,” ungkap Rizal.
Berangkat dari permasalahan petani pemilik lahan di Boul, kami para pendukung petani pemilik lahan di Buol menyatakan tuntutan:
- Berikan bagi hasil penjualan TBS kepada petani pemilik perkebunan plasma!
- Kembalikan Sertifikat Tanah (SHU) milik petani!
- Hentikan operasional kebun plasma selama petani belum mendapatkan hak-haknya!
- Hentikan represi atau pun pembubaran paksa menggunakan aparat terhadap petani yang menghentikan operasional kebun untuk menuntut keadilan dalam kemitraan perkebunan, yang digencarkan oleh pihak HIP, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah hingga Pemerintah Daerah.
- Hentikan provokasi perusahaan terhadap pekerja PT Hardaya Inti Plantations untuk melanjutkan aktivitas produksi sawit di lokasi-lokasi yang dihentikan operasionalnya oleh petani pemilik lahan, dan segera pekerjakan buruh-buruh di tempat lain dengan tetap memberikan hak-hak mereka.
Buol, 2 Februari 2024
CP: Fatrisia Ain (Kordinator FPPB) – 082288015564
Kami yang bersolidaritas:
Organisasi/serikat/komunitas:
- Forum Petani Plasma Buol (FPPB)
- Rasamala Hijau Indonesia
- Sekretariat TPOLS
- Agra Wilayah Sulawesi Tengah
- Karya Massa Nusantara (KMN)
- Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia [DPP GSBI]
- SEPASI Kalimantan Tengah
- Sajogyo Institute
- Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
- SBMI NTT
- Link-AR Borneo
- GempaR-Papua
- Forum Islam Progresif (FIP)
- Greenpeace Indonesia
- Pil-Net Indonesia
Individu:
- Eka Ernawati
- Hariati Sinaga
- Mike Verawati Tangka
Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) merupakan jaringan transnasional yang bertujuan membangun kolaborasi yang sinergis dalam meningkatkan partisipasi publik, terutama gerakan akar rumput, di sektor perkebunan sawit. Jaringan TPOLS meliputi beragam organisasi rakyat, buruh dan serikat buruh, komunitas petani, NGO, akademisi dan aktivis, dari berbagai wilayah di Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, India, Kamerun, Kolombia, Inggris dan Jerman.