Penulis: Hariati Sinaga, Pengajar Kajian Gender SKSG Universitas Indonesia
Sambil menjejer sayuran dan ikan yang akan dimasak di dapur, Kak Rani (bukan nama sebenarnya) bercakap-cakap dengan kakak iparnya, Kak Ita (bukan nama sebenarnya), sore itu. Sebagai istri ketua Serikat Buruh Anggota (SBA) Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) di satu perkebunan sawit, sebut saja PT A, di Sambas, Kalimantan Barat, Kak Rani sering berperan dalam mempersiapkan konsumsi rapat maupun pertemuan buruh di rumahnya. Jika harus masak dalam jumlah yang cukup banyak, seperti sore itu, Kak Rani biasanya dibantu oleh Kak Ita, yang tinggal hanya dua rumah di sebelahnya. Ini adalah kali kedua saya berkesempatan singgah di rumah Kak Rani, yang dapurnya selalu menjadi tempat yang strategis untuk mengobrol. Kak Rani memotong-motong kangkung, sementara Kak Ita mengaron nasi. Di samping kangkung yang sedang dipotong Kak Rani, terdapat juga daun singkong yang siap untuk dicuci. Setiap kali dijamu makan oleh Kak Rani, memang kami dapat menyantap paling tidak dua jenis sayur.
Terdapat sebuah jendela di dapur Kak Rani, yang jika dibuka dapat menunjukkan pemandangan halaman belakang rumah Kak Rani. Di belakang rumah Kak Rani terdapat ladang yang ditanami berbagai tanaman pangan, seperti daun singkong, rebung, kacang dan talas. Tanaman komoditas, seperti karet, juga tidak lupa ditanam. Ibu mertua Kak Rani biasanya pergi menyadap karet pada pagi hari. “Lumayan untuk bantu-bantu kebutuhan keluarga,” selorohnya ketika saya menanyakan tentang manfaat penjualan getah karet bagi rumah tangga. Sementara Kak Rani sering mengajak anak perempuan pertamanya, Hani (bukan nama sebenarnya), untuk mencari rebung ke ladang dan tanaman pangan lain untuk dikonsumsi oleh mereka. Melalui rutinitas ini, Kak Rani secara tidak langsung mendidik anaknya terkait pengetahuan tentang ladang dan tanaman pangan di sekitar mereka. Hanilah yang menunjukkan kepada saya apa saja yang terdapat di ladang belakang rumah Kak Rani.
Di ujung ladang terdapat sungai kecil yang airnya digunakan oleh Kak Rani dan keluarga untuk mandi dan bersih-bersih. Meski warnanya coklat, air sungai tersebut sebenarnya bersih dan belum tercemar oleh limbah perkebunan sawit. Berada di sekitar lahan gambut, air sungai berwarna coklat karena kandungan organik yang tinggi. Namun, karena warnanya, Kak Rani dan keluarga tidak mengkonsumsi air sungai tersebut sebagai air minum. Selain air sungai, Kak Rani juga mengandalkan air hujan untuk mencuci piring. Sebuah gentong ditempatkan oleh Kak Rani di belakang rumah untuk menampung air hujan. Sumber air dan pangan, keduanya maha penting bagi keberlangsungan hidup manusia, tersedia dan dirawat oleh Kak Rani dan keluarga di halaman belakang rumahnya.
Dapur sebagai Lokus Perjuangan Buruh
Kak Rani dan Kak Ita bergerak dengan cekatan di dapur sambil sesekali menimpali obrolan. Ibu Kak Rani, Bu Salwa, membantu menjaga anak kedua Kak Rani yang baru saja merayakan ulang tahun yang pertama. Bu Salwa bekerja sebagai buruh perempuan di salah satu perkebunan sawit, sebut saja PT B, di Sambas, Kalimantan Barat. Setelah belasan tahun bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL), Bu Salwa akhirnya diangkat menjadi buruh SKU (Syarat Kerja Umum), istilah lain dari buruh dengan status permanen di perkebunan sawit. Tahun lalu, buruh perkebunan PT A, tempat suami Kak Rani bekerja, bersama-sama dengan buruh perkebunan PT B, tempat Bu Salwa bekerja, sempat hendak melakukan aksi mogok. Perkebunan PT A dan PT B berada di bawah naungan manajemen yang sama. Sebagai ketua SBA Serbuk PT A, suami Kak Rani, Bang Roy (bukan nama sebenarnya), berkoordinasi dengan ketua SBA Serbuk PT B untuk mengkonsolidasikan para buruh anggota dalam rencana aksi mogok tersebut. Rencana aksi mogok tersebut dilakukan setelah berbagai perundingan yang dilakukan antara buruh perkebunan PT A dan PT B dengan gagalnya manajemen perkebunan dalam memenuhi tuntutan buruh, yang salah satunya berkaitan dengan status ketenagakerjaan. Aksi mogok yang melibatkan buruh perkebunan PT A dan PT B kemudian dibatalkan setelah manajemen perkebunan PT A dan PT B sepakat memenuhi 31 dari 34 tuntutan buruh. Setelah dipenuhinya tuntutan tentang ketenagakerjaan, Bu Salwa dan buruh BHL yang lain, yang kebanyakan adalah perempuan, diangkat menjadi SKU.
Sepanjang persinggahan kami di tempat Kak Rani dan Bang Roy, Bu Salwa selalu bersemangat menceritakan tentang pengalamannya dan buruh PT B dalam memperjuangkan tuntutannya. Cerita tersebut kebanyakan terjadi di dapur, baik saat Bu Salwa membantu Kak Rani memasak, maupun saat Bu Salwa menjaga anak kedua Kak Rani. Dengan cerita tersebut, Bu Salwa juga seakan juga menyemangati Kak Ita, yang bekerja di perkebunan PT C, sebagai BHL. Kondisi BHL perempuan di perkebunan PT C sangat memprihatinkan. Kak Laksmi (bukan nama sebenarnya), yang juga sesekali singgah ke dapur Kak Rani untuk membantu menyiapkan konsumsi, juga bekerja sebagai BHL di PT C. Meski sudah ada SBA di perkebunan PT C, serikat buruh tersebut masih perlu memobilisasi anggotanya. Kak Ita dan Kak Laksmi mengkhawatirkan hangusnya kartu keanggotaan serikat buruh mereka karena iuran keanggotaan serikat buruh tidak kunjung dipungut. Pihak serikat buruh memberikan klarifikasi bahwa iuran belum dijalankan karena serikat buruh masih belum berjalan aktif. Ketua SBA PT C, Bang Gani (bukan nama sebenarnya), merasa pengurus SBA PT C masih belum solid dalam memobilisasi anggotanya. Fragmentasi tampaknya terasa antara buruh panen dan buruh perawatan. Buruh panen, yang kebanyakan berstatus SKU, merasa tidak perlu menjadi anggota serikat. Sementara buruh perempuan yang kebanyakan berstatus BHL justru terbakar semangatnya untuk berserikat berkat pengalaman buruh kebun PT A dan PT B.
Pada suatu malam, setelah hujan melanda Desa Sijang, beberapa buruh PT C dan ketua SBA Serbuk PT C, Bang Gani, berkunjung ke rumah Bang Roy. Di dapur Kak Rani, kopi diseduh dan biskuit disiapkan. Di ruang tamu, kondisi lemahnya mobilisasi di PT C sekali lagi diceritakan. Bu Halimah (bukan nama sebenarnya), salah satu BHL perempuan PT C, mengungkapkan aspirasinya. Kegusaran yang sama dengan Kak Laksmi disampaikan oleh Bu Halimah, yaitu tentang kondisi buruh di PT C. Cerita perjuangan buruh yang tadinya berawal dari dapur kini menyebar ke ruang tamu.
Beberapa hari kemudian, pelatihan gender yang melibatkan para buruh perempuan perkebunan dilakukan di rumah Bang Roy. Dapur Kak Rani kembali mengebul, terutama saat teh dan kopi disiapkan. Meski pada saat itu para pengurus laki-laki serikat buruh yang bertugas di dapur, dapur Kak Rani tetap menjadi penunjang utama berlangsungnya pelatihan gender. Tidak hanya pada hari itu, tetapi juga di hari-hari lain, ketika buruh perkebunan dan pengurus serikat buruh mampir ke rumah Bang Roy sekedar untuk membicarakan isu buruh perkebunan, atau pada saat rapat-rapat konsolidasi dalam rangka mempersiapkan rencana mogok, dapur Kak Rani tetap berfungsi penting dalam menyuplai energi para buruh baik melalui makanan dan minuman yang disediakan maupun cerita-cerita masalah-masalah perkebunan, cerita-cerita harapan-harapan dan perjuangan.
Dapur Perjuangan dan Ladang Belakang Rumah: Menyingkap Lanskap Perjuangan Buruh
Seminggu sebelum saya melakukan kunjungan lapangan ke perkebungan di Sambas, Kalimantan Barat, saya mengunjungi sekber (sekretariat bersama) aliansi P2RI (Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia). Di sekber tersebut baru dimulai sebuah inisiatif dapur umum. Idenya adalah setiap buruh yang bergabung dalam Aliansi P2RI bebas datang ke dapur tersebut, baik untuk sekedar minum, atau mencari makanan, dengan catatan buruh harus bisa menyiapkannya secara mandiri. Dapurnya terbuka dan langsung terhubung ke ruang tengah, di mana rapat dan pertemuan biasanya diadakan. Kunjungan saya berbarengan dengan pertemuan antara pengurus aliansi P2RI dengan para buruh PT Graha Fortuna yang diputus hubungan kerjanya (PHK) dengan kompensasi yang minim. Pertemuan tersebut salah satunya membicarakan strategi bagaimana para buruh PT Graha Fortuna tetap dapat melaksanakan aksi perjuangan, yang tentunya membutuhkan biaya, misalnya biaya transportasi, biaya konsumsi aksi dan sebagainya. Diskusi tersebut mengingatkan saya akan reproduksi sosial dari gerakan perjuangan buruh, yang sering kali minim dibicarakan. Anggaran aksi dibutuhkan salah satunya agar para buruh tetap dapat mencukupi kebutuhan pangan dan energi untuk melaksanakan aksi. Setelah selesai pertemuan, salah seorang buruh laki-laki menyiapkan makan siang di dapur umum untuk kami santap bersama. Strategi sudah dirancang, dan tindak lanjut pertama adalah dengan makan agar buruh memiliki energi untuk melakukan aksi perjuangan. Di sini dapur umum menunjukkan fungsi pentingnya sebagai sumber energi buruh dalam perjuangan.
Cerita dapur umum di sekber Aliansi P2RI tersebut di atas mengingatkan saya akan dapur Kak Rani dan peran pentingnya dalam perjuangan buruh perkebunan sawit di Sambas, Kalimantan Barat. Namun, yang membedakan dapur Kak Rani dengan dapur umum di sekber adalah ladang di belakang rumah Kak Rani. Lokasi ladang yang berada persis di belakang dapur Kak Rani seperti menunjukkan fungsinya yang tidak dapat dipisahkan dari dapur Kak Rani. Berbagai tanaman bahan pangan yang tumbuh di ladang kemudian diolah dan dimasak di dapur Kak Rani. Kebutuhan sanitasi rumah tangga Kak Rani dicukupi oleh sumber air yang berasal dari sungai yang berada di ujung ladang. Makanan, minuman dan sanitasi menopang lokasi pertemuan buruh dan menjadi sumber energi buruh perkebunan. Semuanya berasal dari lanskap di bagian belakang rumah Kak Rani, yaitu dapur, ladang belakang rumah dan sungai. Posisinya yang berada di bagian belakang sering kali membuat lanskap ini dianggap sebagai hal yang kurang penting, khususnya dalam perjuangan buruh.
Menurut teori perburuhan (Wright 2000), kekuatan buruh bersumber dari dua hal, yaitu sumber struktural dan sumber asosiasional. Sumber struktural merujuk pada posisi buruh dalam sistem ekonomi, yang dapat dibagi menjadi tiga: (1) posisi tawar dalam pasar kerja; (2) posisi tawar di tempat kerja; dan (3) posisi tawar secara logistik. Sumber asosiasional merujuk pada kekuatan buruh yang bersumber dari aksi dan mobilisasi kolektif, misalnya, melalui serikat buruh. Di sini saya ingin memfokuskan pada sumber struktural, secara khusus yang merujuk pada posisi tawar buruh dalam pasar kerja. Menurut teori ini, kekuatan buruh dapat bersumber dari: keterampilan yang dimiliki buruh, pasar kerja yang ketat (tight labour market), dan kemampuan buruh untuk mengandalkan sumber penghidupan selain upah. Hal yang terakhir ini yang merupakan aspek yang menjelaskan pentingnya dapur perjuangan dan lanskap agroekologi dalam perjuangan buruh. Baik dapur umum di sekber aliansi P2RI maupun dapur Kak Rani berperan menjadi dapur perjuangan yang menjadi wadah kerja-kerja kolektif yang tidak dibayar, di mana buruh dapat mengandalkan sumber penghidupan selain upah. Ladang di belakang rumah Kak Rani berperan menjadi sumber kebutuhan pangan baik bagi rumah tangga Kak Rani maupun bagi buruh perkebunan anggota serikat. Tanaman karet yang ditanam di ladang, yang dapat membantu menambah penghasilan rumah tangga Kak Rani, juga menunjukkan sumber penghidupan selain upah. Ini penting terutama ketika Bang Roy dan Kak Rani menghadapi intimidasi dari perusahaan akibat perlawanan serikat buruh perkebunan. Sering kita mendengar cerita buruh yang di-PHK karena berjuang melawan eksploitasi perusahaan. Pada saat seperti ini, adanya sumber penghidupan selain upah dapat menjadi sumber kekuatan buruh.
Di dalam satu sesi diskusi partisipatif yang menggunakan metode “sungai kehidupan”[1] di pelatihan gender yang kami lakukan di Sambas, Kalimantan Barat, seorang buruh perempuan menuliskan dalam sticky note bahwa harapannya dalam usianya yang menginjak 37 tahun adalah hidup yang sehat dan terjamin. Setelah bergabung dengan serikat dan memperoleh status SKU di perkebunan, buruh perempuan tersebut menuliskan pernyataan yang menunjukkan kepada kita tentang hal yang mendasar, yaitu sistem yang memproduksi hidup, alih-alih sistem yang merenggut dan mengeksploitasi kehidupan buruh. Di sini kita diingatkan akan etika perawatan, atau etika yang merawat kehidupan (ethics of care). Kerja-kerja reproduktif yang berlangsung di dapur perjuangan adalah salah satu contoh etika tersebut. Lanskap agroekologi yang meliputi tanaman pangan dan komoditas yang ditanam dan dirawat oleh rumah tangga buruh menunjukkan etika perawatan dalam bentuk hubungan timbal balik (reciprocity) antara buruh dan lahan serta teritorialnya. Jaringan dukungan (support network) antara Bu Salwa, Kak Rani, Kak Ita dan Kak Laksmi melalui cerita-cerita dan nasihat-nasihat yang berlangsung di dapur adalah contoh hubungan timbal balik lainnya yang menunjukkan etika perawatan tersebut. Memandang gerakan buruh melalui perspektif yang berangkat dari dapur perjuangan dan lanskap agroekologi juga berarti menggarisbawahi etika perawatan dalam gerakan buruh.
[1] Metode “sungai kehidupan” adalah metode partisipatif yang bertujuan untuk menangkap dinamika situasi yang dihadapi perempuan dalam kehidupannya.