Pemenuhan Hak atas Kesehatan Buruh Sawit di Masa COVID

oleh | Agu 24, 2021 | Kabar, Perburuhan

Tangkapan layar narasumber diskusi “Kondisi Buruh Perkebunan Sawit di Masa Pandemi (20/08).

Ringkasan Diskusi

Moderator: Ika Krismantari, The Conversation

Pembicara: :

  1. Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan
  2. Sumarjono Saragih, Kepala Bidang Ketenagakerjaan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoensia (GAPKI)
  3. Zidane, Koalisi Buruh Sawit
  4. Putri Nidyaningsih, ELSAM

Diskusi “Kondisi Buruh Perkebunan Sawit di Masa Pandemi: Sejauh Mana Pemenuhan Hak atas Kesehatan Dapat Diakses?” diselenggarakan pada Jumat, 20 Agustus 2021 pukul 15.00-16.30 WIB oleh Perkumpulan ELSAM dan The Conversation Indonesia

 

Zidane, Koalisi Buruh Sawit

Contoh yang kami temukan cukup baik adalah saat ada pekerja yang sakit, lalu perusahaan menangani. Kami mendengar perusahaan memfasilitasi PCR dan isolasi mandiri. Ini adalah contoh baik yang harus ditiru perusahaan lain.

Kami juga menerima laporan dari Kalimantan Timur, pekerja yang terpapar dan tidak bisa bekerja, lalu hak dan upahnya tidak dibayarkan.

Dalam situasi pandemi, kita mendorong pemerintah dan perusahaan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan terhadap buruh, mengingat situasi khusus yang dialami buruh kebun yang tinggal di area yang terisolir, tidak seperti di perkotaan yang memiliki fasilitas kesehatan lebih baik.

 

Sumarjono Saragih, GAPKI, tentang kebijakan perusahaan/ GAPKI dalam mengatasi situasi pandemi

GAPKI bukanlah penguasa tunggal di sawit nasional. Dari 16 juta lahan sawit nasional, yang menjadi anggota GAPKI sekitar 3,2 juta hektar (22%). Keanggotaan GAPKI adalah perusahaan dan bersifat sukarela.

Sawit nasional separuhnya adalah petani (58% perusahaan, anggota GAPKI hanya 22%). Dari struktur kepemilikan lahan itu, tidak semua hal bisa dilakukan GAPKI untuk menjalankan banyak hal, termasuk praktik baik penanganan pandemi Covid.

Namun GAPKI sebagai organisasi perusahaan berupaya dan mengambil beragam inisiatif untuk membantu mengendalikan Covid. Itu dianggap penting karena sawit sudah menjadi sektor penopang banyak hal (dalam hal ekspor, yang selama pandemi naik terus). Komposisi ekspor sawit berkontribusi 17-18% dari total ekspor nasional.

Dalam guncangan ekonomi, sektor industri sawit cukup resilien: terus tumbuh, tidak ada PHK, bisnis berjalan terus, dan menikmati kenaikan harga akibat banyak hal selama Covid-19.

Faktor resiliensi industri sawit, pertama sawit masuk kategori industri esensial, kedua komoditasnya dibutuhkan sebagai bahan disinfektan, pangan, dan energi. Konsumsi biodiesel domestik, sebagai solusi alternatif impor energi fosil, tumbuh terus.

Industri perkebunan sejak masa kolonial … sejarah keberpihakan terhadap pekerja dalam konteks kesehatan sudah terbukti sejak ratusan tahun (pret, cek rekaman)

16 juta tenaga kerja di industri secara keseluruhan, termasuk petani dan rantai pasoknya. Namun pekerja formalnya di hulu industri, di perkebunan, ada 5 juta tenaga kerja. Sekali industri terganggu, akan mengganggu kehidupan jutaan manusia

Cara kerja di perkebunan sesuai dengan protokol Covid-19 (menjaga jarak, cuci tangan, tidak berkerumun), karena bekerja di alam terbuka. Apel pagi dilakukan di alam terbuka dengan prokes yang ketat. Prokes Covid-19 pasti dilakukan lebih ketat. Itu menjadi momen untuk mengingatkan kepatuhan dan kedisiplinan prokes. Apel pagi itu momen yang bagus.

Upaya pencegahan, GAPKI bekerja sama dengan JAPBUSI

200 kasus infeksi dari jutaan tenaga kerja, tanpa mengecilkan jumlah, itu adalah hasil dari berbagai upaya yang dilakukan industri. Itu menjadi contoh baik bagaimana industri yang mempekerjakan jutaan orang, dengan interaksi fisik misalnya petani yang mengirimkan buah ke pabrik kelapa sawit, adalah tanda unggulnya penanganan Covid-19.

Secara industri, anggota GAPKI tidak keberatan dan bersedia membayar untuk program vaksin Gotong Royong. Beberapa perusahaan yang saya pantau melakukan itu, meski tidak semua telah melakukannya. Itu kontribusi GAPKI untuk membangun herd community di konteks perkebunan.

 

Zidane, Koalisi Buruh Sawit, tentang alasan serikat buruh menolak komersialisasi vaksin (berbayar)

Kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah. Jika vaksin diperjualbelikan itu akan menyalahi prinsip tanggung jawab pemerintah, sebagai alasan penolakan.

Merespon Sumarjono mengenai angka kasus, menurut kita melihat situasi keterisolasian buruh sawit, kami menduga angkanya lebih besar—semoga tidak seperti itu. Kita mengapresiasi perusahaan yang melakukan program vaksinasi, namun kita juga bertanya-tanya kenapa perusahaan lain tidak bisa. Apakah tidak bisa atau tidak mau, apakah karena tidak ada stok vaksin atau bagaimana?

Kami mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak fokus di pulau Jawa saja. Kawan-kawan di daerah melaporkan soal ketersediaan vaksin yang kosong.

 

Putri Nidyaningsih, ELSAM tentang perluasan vaksinasi ke masyarakat perkebunan

Keterbatasan vaksin, perlu prioritas perluasan vaksin. Saat ini pemerintah memiliki prioritas vaksinasi yang masih berpusat di perkotaan dan di pulau Jawa.

Kalau hanya menggantungkan pemerintah, itu beban yang sangat berat. Sehingga perusahaan perlu pro-aktif untuk memberikan fasilitas vaksin maupun fasilitas kesehatan lainnya.

Ada perusahaan yang sudah memberikan dukungan bagi teman-teman buruh yang terpapar Covid, yang diberikan akses pemulihan isolasi mandiri. Bisa dilakukan yang hal sama di mana perusahaan membangun kerja sama dengan pemerintah dan serikat buruh, di titik-titik yang rentan dan butuh prioritas vaksinasi.

Perlu juga akses dari perusahaan, baik dari manajemen atau seluruh operasional perusahaan secara disiplin menerapkan protokol kesehatan. Perlu sosialisasi kepada teman-teman pekerja terkait dengan vaksinasi. Kami melihat masih ada beberapa ketakutan dan kekhawatiran terhadap efek vaksinasi.

 

Siti Nadia, Kemenkes, tentang perkembangan program nasional vaksinasi

Problem: kebutuhan bagi pekerja untuk mendapat fasilitas kesehatan, salah satunya vaksin, namun aksesnya terbatas. Salah satunya disebabkan oleh lokasi terpencil dengan akses yang serba terbatas.

Sejak Juli 2021, pemerintah Indonesia telah melakukan program vaksinasi nasional untuk seluruh lapisan masyarakat di atas 12 tahun—tidak ada pembatasan vaksinasi berdasarkan kelompok umur

Pada tahap awal, vaksinasi terbatas pada tenaga medis, lansia dan pelayan publik. Untuk sektor swasta, muncul dengan rencana melakukan vaksinasi secara gotong royong.

Hal yang terjadi, dosis vaksinasi yang sudah diterima pemerintah Indonesia baru 30% dari target.

Vaksin Gotong Royong diharapkan dapat mempercepat program vaksinasi tanpa harus menunggu distribusi vaksin bertahap dari pemerintah Indonesia.

Bukan berarti pemerintah tidak memberikan akses yang setara, namun terbatas karena jumlah vaksin yang diterima 30%. Yang terpenting adalah jika sudah ada jadwal, masyarakat jangan menunda-nunda.

 

Sumarjono, tentang pengendalian penularan Covid dan program vaksinasi

200 kasus dari 5 juta buruh kebun sawit adalah buah dari prokes perusahaan. Karyawan kami tinggal di area perkebunan, sehingga lebih mudah menegakkan prokes dengan mekanisme reward dan punishment. Kita bisa kontrol arus masuk orang.

Selama Covid, kita tidak membolehkan pekerja untuk pulang kampung. Kami memberikan berbagai insentif agar tidak pulang. Kami juga menggandeng serikat buruh untuk memberikan kesadaran agar tidak pulang kampung.

Kami berupaya membantu pemerintah mempercepat program vaksinasi, bantu fasilitasi tempat, panitia pelaksana, seperti di Sumatera Utara, kami bantu pemerintah untuk memfasilitasi vaksinasi massal. Itu adalah buah dari kontribusi industri sawit yang diberkahi selama pandemi.

Jika ada stok vaksin yang tersedia, kami tidak sungkan untuk melakukan vaksin gotong royong.

 

Zidane, tentang kebutuhan buruh pada masa pandemi yang tinggal di pelosok

Buruh kebun sawit dan keluarganya, mempertanyakan soal fasilitas kesehatan, termasuk fasilitas bagi pasien Covid. Tidak banyak perusahaan yang sudah memiliki fasilitas klinik di lingkungan kerja, apalagi dengan kapasitas perawatan.

Di salah satu kebun sawit di Kalimantan Tengah, ada fasilitas isolasi mandiri. Namun menurut laporan, kualitasnya tidak cukup. Pemerintah dan perusahaan harus melengkapi fasilitas yang ada. Jika fasilitas di lingkungan kerja, tidak mekanisme rujukannya. Apakah harus ke ibu kota provinsi?

Hal ini yang menjadi keluhan pekerja.

Hal lain yang penting adalah sosialisasi tentang Covid-19 itu sendiri. Ada beberapa cerita, pekerja yang sudah mengalami gejala, namun tidak mau periksa dan melaporkan. Termasuk juga sosialisasi mengenai vaksinasi.

Hal lain, jika teman-teman memeriksa diri, baik PCR, ini adalah barang langka dalam konteks perkebunan sawit—belum tentu ada. Kalau pun ada, buruh harus pergi ke ibu kota provinsi, dan mengambil cuti kerja.

Ketika pekerja memeriksa diri, hak-hak buruh harus tetap dipenuhi dan perusahaan memfasilitasi tes Covid.

Kasus yang terjadi di Musi Rawas, saat pekerja mau memeriksa namun hasilnya keluar membutuhkan waktu hingga 5 hari.

 

Siti Nadia, tentang akses layanan kesehatan

Untuk diagnosa Covid melalui PCR, harus pemeriksaan laboratorium. Rapid antigen bisa jadi alternatif tanpa harus melalui pemeriksaan laboratorium, wilayah terdekat dari Puskesmas adalah Bidan Desa. Jika alatnya bisa disediakan perusahaan, lalu tenaga kesehatan mengambil bantuan dari Puskesmas atau Bidan Desa, bisa memperluas akses pemeriksaan.

 

Sumarjono, tentang akses layanan kesehatan

Tidak semua perusahaan punya kapasitas pemeriksaan, terutama perusahaan kecil. Jika perusahaan besar, mereka punya Faskes Tingkat 1. Setiap kebun milik perusahaan besar mempunyai klinik, meski sederhana

Sebetulnya kita double cost, karena di undang-undang diwajibkan mengikuti program BPJS. Namun, kita juga mengeluarkan biaya untuk menyediakan Faskes tingkat 1, meski dengan fasilitas yang sederhana

Upaya untuk menggandeng Puskesmas pada jarak dengan radius yang dekat

Kami tidak menolak temuan soal keterbatasan Faskes dalam lingkungan perkebunan, namun kita terus mendorong betapapun kecilnya perusahaan, agar terus memfasilitasi akses layanan kesehatan, baik bekerja sama dengan Puskesmas maupun melalui klinik perusahaan.

 

 

 

 

Pin It on Pinterest