Pangan dan Perlawanan Buruh Perempuan Perkebunan: Cerita Perjalanan Sambas, Kalimantan Barat (Bagian 2)

oleh | Mei 9, 2024 | Fokus, Kajian, Pangan dan Reproduksi Sosial

Penulis: Hariati Sinaga, Pengajar Kajian Gender SKSG UI

Pangan, Kontrol dan Perubahan Relasi Sosial

Pangan perlu dilihat melampaui komoditas. Pangan pada dasarnya mencerminkan relasi sosial, baik yang terkait produksi, distribusi dan konsumsinya. Minyak sawit, yang merupakan keluaran dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit,  sebenarnya merupakan salah satu komoditas pangan. Minyak sawit kemudian diolah baik sebagai bahan dalam industri pangan, maupun industri lainnya. Dalam industri pangan, minyak sawit umumnya diolah menjadi minyak goreng. Sepintas ini seharusnya dapat menjamin kebutuhan pangan buruh perkebunan sawit. Namun, perkebunan sawit monokultur justru merebut kontrol tersebut. Salah satunya ditunjukkan dengan kebergantungan buruh perkebunan terhadap pasar untuk suplai kebutuhan pangannya. Akibatnya, meskipun buruh perkebunan berperan serta dalam memproduksi minyak sawit, mereka tidak serta-merta dapat memiliki akses secara langsung terhadap minyak sawit tersebut.

Dalam rezim pangan korporasi (McMichael 2005), pangan menjadi komoditas yang produksinya melibatkan konsolidasi perusahaan-perusahaan agribisnis skala besar.  Dominasi mereka ditunjukkan oleh  penguasaan proses produksi mulai dari hulu hingga hilirnya. Pangan menjadi komoditas yang tidak hanya menjadi sumber akumulasi keuntungan, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol. Pangan sebagai komoditas yang menjadi sumber akumulasi menunjuk pada proses produksinya.

Perkebunan monokultur merupakan suatu corak pertanian yang menekankan aspek produktivitas dan “upah murah” untuk akumulasi keuntungan.

Produktivitas perkebunan dengan rezim upah murah ini penting untuk menghasilkan “pangan murah”, yang kemudian dibutuhkan untuk mereproduksi “buruh murah”.  Ini menggambarkan bagaimana pangan menunjukkan relasi sosial yang mengalami perubahan.

Perkebunan sawit monokultur yang berlandaskan pada sistem “upah murah” dengan tujuan untuk mereproduksi “pangan murah” hal ini berkelindan dengan pangan sebagai mekanisme kontrol. Pangan sebagai mekanisme kontrol merujuk pada konsumsi pangan. Tercerabutnya buruh perkebunan dari alat produksi membuat buruh perkebunan harus bergantung pada pasar dalam konsumsi pangan. Kebergantungan pada pasar ini dapat dijadikan sebagai mekanisme kontrol oleh penguasa. Dengan memperkenalkan “pangan murah” tertentu, tidak hanya diet masyarakat yang terpengaruh, tetapi juga budaya, termasuk, cita rasa masyarakat. “Pangan murah” seperti mie instan, gorengan, minuman kemasan, kopi sachet menjadi kebutuhan pangan harian masyarakat, termasuk buruh perkebunan. Hal ini tidak hanya harga pangan ini sesuai dengan kantong buruh kebun, tetapi juga karena konsumsi pangan ini dapat menimbulkan candu atau ketergantungan tersendiri bagi buruh kebun.

 

Pangan, Plot dan Perlawanan

Pangan sebagai bagian penting dalam reproduksi sosial tidak hanya merujuk pada urusan perut, tetapi juga mengacu pada satu titik perlawanan buruh. Menurut Tithi Bhattacharya (2017), terdapat kontradiksi dalam reproduksi sosial. Di satu sisi, reproduksi sosial merupakan elemen yang menopang regenerasi tenaga kerja dan reproduksi sistem kapitalisme secara keseluruhan. Di sisi lain, reproduksi sosial memberikan basis bagi perlawanan terhadap sistem kapitalisme. Secara khusus tentang perlawanan, reproduksi sosial dapat menghubungkan perjuangan kelas pekerja (dalam arti sempit yang berfokus pada relasi upah) dengan perjuangan yang lebih luas. Isu-isu dalam reproduksi sosial tidak hanya mencakup kerja reproduktif yang tidak dibayar, tetapi juga akses terhadap komoditas yang penting untuk reproduksi sosial buruh dan masyarakat, seperti sandang, pangan dan papan. Ini berarti, isu pengupahan, yang pada umumnya merupakan isu pokok dalam perjuangan serikat buruh, dapat dihubungkan dengan perjuangan-perjuangan sosial lain, seperti perjuangan atas perumahan yang layak, hak atas air, dan termasuk kedaulatan pangan.

Seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, buruh perkebunan PT A memenuhi kebutuhan pangan mereka baik dengan cara membeli bahan pangan maupun dengan cara lain. Keberadaan kebun pangan yang diperbolehkan oleh perusahaan sebagai salah satu cara bagi buruh perkebunan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Cara lain adalah dengan memancing ikan di sungai-sungai sekitar perkebunan. Bagi buruh perkebunan yang tidak tinggal di dalam area perkebunan, tanaman pangan yang tumbuh secara liar dalam perkebunan menjadi salah satu sumber bahan pangan. Kombinasi pemenuhan kebutuhan pangan seperti ini dikritik sebagai cara perusahaan untuk melanggengkan upah murah. Alih-alih memastikan perusahaan untuk membayar buruh perkebunan dengan upah layak, alokasi kebun pangan oleh perusahaan untuk dikelola buruh perkebunan dapat dijadikan alasan bagi perusahaan untuk menekan upah buruh.

Meski demikian, pemenuhan kebutuhan pangan di luar upah dapat juga berperan sebagai strategi untuk mengurangi ketergantungan buruh terhadap upah dalam rangka reproduksi sosial buruh. Khususnya bagi buruh perempuan yang pada umumnya bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, alternatif sumber bahan pangan dapat membantu mengurangi beban mereka. Jika penghasilan keluarga buruh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, biasanya buruh perempuan yang harus berkorban. Tanaman pangan yang ditanam di kebun pangan ataupun yang tumbuh liar di area perkebunan dapat menjadi solusi dari pemenuhan kebutuhan pangan dalam kondisi seperti ini. Akibat peran gandanya, buruh perkebunan perempuan terlatih untuk menjadi kreatif dalam mencari alternatif pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Pangan sebagai perlawanan dapat ditelusuri mekanismenya melalui plot. Plot pada umumnya dipahami sebagai sebidang lahan yang dialokasikan untuk ditanami. Tetapi plot juga dapat merujuk pada alur cerita fiksi. Menurut Sylvia Wynter (1973), kedua konotasi dari plot ini sebenarnya berhubungan mengingat sistem perkebunan juga merupakan sebuah fiksi. Ini mengacu kepada sejarah sistem perkebunan yang ditanamkan di Karibik oleh imperialisme Barat. Menurut Wynter, sistem perkebunan adalah sebuah novel fiksi karena terbentuk oleh kekuatan eksternal, yaitu ekonomi pasar pada masa dominasi imperialisme Barat. Sistem perkebunan pada waktu itu mempekerjakan para budak yang dibawa dari benua Afrika. Di satu sisi, plot yang dialokasikan oleh pemilik perkebunan kepada para budak perkebunan ditujukan agar keuntungan perkebunan dapat dimaksimalkan oleh pemilik perkebunan. Tetapi, hemat Wynter, plot ini juga dapat berperan sebagai perlawanan bagi para budak pada saat itu. Plot menawarkan kesempatan dan ruang bagi para budak untuk bernegosiasi dalam sistem perkebunan yang totaliter dengan kontrol sosial yang sangat kuat terhadap para budak. Pengelolaan kebun pangan menunjukkan negosiasi ruang dan waktu yang dilakukan buruh. Pekarangan atau halaman belakang yang dijadikan plot pangan mencerminkan ruang-ruang yang dinegosiasikan oleh buruh perkebunan baik untuk bertahan hidup sehari-hari maupun untuk melawan penundukan. Kerja pengelolaan kebun pangan juga melibatkan negosiasi waktu terutama

Terinspirasi oleh Sylvia Winter, Judith Carney (2020) berpendapat bahwa plot pangan dalam perkebunan tidak hanya penting pagi para budak untuk bertahan hidup, tetapi juga sebagai perlawanan. Carney membongkar lebih lanjut bagaimana plot mencerminkan agro-biodiversitas sekaligus sebagai ekonomi subaltern para budak. Terkait agro-biodiversitas, plot yang ditanami tanaman pangan menawarkan sebuah perlawanan pangan di tengah-tengah perkebunan yang bercorak monokultur. Kebun pangan yang dikelola oleh buruh perkebunan PT A dan tanaman-tanaman pangan yang liar yang tumbuh di sekitar perkebunan dapat menjadi simbol penolakan terhadap penundukan yang dilakukan sistem perkebunan monokultur akan keragaman pangan. Sementara, waktu mengacu kepada waktu Selain itu, perlawanan ini ditopang dengan pengetahuan alternatif yang dikembangkan oleh para buruh dalam menanam tanaman pangan.

Plot pangan sebagai perlawanan dapat juga melampaui batas teritorial. Ketika para budak dibawa ke perkebunan di Dunia Baru, mereka tidak hanya membawa kultur dan pengetahuan mereka dari tempat asal, tetapi juga mentransformasi petak pangan mereka di perkebunan dengan kultur dan pengetahuan tersebut. Ini menunjukkan konteks ruang dan waktu di mana plot pangan itu berkembang. Dari cerita buruh di PT A, hal ini diilustrasikan melalui dua bentuk plot yang berkembang. Kebun pangan yang dikelola oleh buruh perkebunan baik di pekarangan maupun di petak terpisah lainnya merupakan satu bentuk plot yang berkembang dalam konteks buruh perkebunan yang tinggal dalam area perkebunan.  Sementara bagi buruh perkebunan yang tinggal di kampung sekitar, tanaman-tanaman pangan liar yang ditemukan sepanjang perkebunan berkembang menjadi plot pangan mereka.

“Jamur sawit sekarang sudah jadi makanan sultan,” ucap seorang buruh perempuan perkebunan sambil mengolah jamur sawit menjadi salah satu lauk kami pada suatu sore. Sebelumnya, buruh perempuan tersebut bersama-sama dengan salah satu pengurus serikat perempuan menjelajahi blok-blok perkebunan untuk mencari jamur sawit. Jamur sawit pada umumnya tumbuh pada janjang kosong (janjang sawit yang sudah mengalami proses pengolahan) dan biasanya menjamur pada musim hujan.

Awalnya jamur sawit menjadi tanaman liar yang dikonsumsi buruh kebun. Ketika penghasilan tidak lagi mencukupi untuk membeli kebutuhan pangan dari pasar atau warung, jamur sawit menjadi alternatif sumber pangan buruh kebun. Hanya saja, semakin ke sini jamur sawit semakin sulit ditemukan.

Ini menunjukkan bagaimana di satu sisi pangan menjadi perlawanan, di sisi lain perlawanan ini dapat saja disubordinasi, yang kemudian membatasi potensinya yang revolusioner.

 

Pin It on Pinterest