Penulis: Hariati Sinaga, Pengajar Kajian Gender SKSG UI
Sambil menunggu waktu yang diperbolehkan untuk pulang, empat orang buruh perempuan perkebunan sawit PT A beristirahat di area perkebunan yang baru saja mereka selesai kerjakan. Mereka adalah buruh penyemprot yang berstatus BHT (Buruh Harian Tetap), yang terlepas dari kata “Buruh Harian”-nya dapat dianggap sejajar dengan status permanen. Berkat kerja advokasi serikat buruh, status ini mereka dapatkan setelah belasan tahun sebelumnya bekerja sebagai BHL (Buruh Harian Lepas). Para buruh perempuan ini tidak tinggal dalam perumahan buruh dalam perkebunan. Mereka adalah penduduk salah satu kampung yang berlokasi di sekitar perkebunan, yaitu Kampung Semanga. Dari kampung menuju ke perkebunan, para buruh perempuan harus menggunakan paling tidak dua moda transportasi. Yang pertama adalah transportasi air hingga dari kampung menuju pelabuhan. Yang kedua adalah truk angkut yang disediakan oleh perusahaan, yang membawa para buruh perempuan dari pelabuhan ke perkebunan. Agar dapat mulai bekerja di perkebunan jam 7 pagi, para buruh perempuan sudah harus berangkat dari kampung pada pukul 4.30 pagi.
Pada saat beristirahat, salah satu buruh perempuan memasukkan segenggam daun ubi ke dalam tas ranselnya. Sayuran tersebut baru saja dipetiknya dari area perkebunan dan akan dibawa pulang untuk dikonsumsi oleh keluarganya. Hal ini nampaknya sering dilakukan oleh para buruh perempuan tersebut. Salah satu buruh perempuan bercerita tentang kesulitan yang dihadapi oleh penduduk Kampung Semanga untuk bercocok tanam. Buruh perempuan tersebut sebelumnya pernah menanam padi di ladang di Kampung Semanga. Banjir yang sering melanda kampung tersebut membuat lahan penduduk yang dikelola untuk menanam tanaman pangan sering kali mengalami gagal panen. Selain karena seringnya banjir, para buruh perempuan juga mengaku tidak memiliki waktu dan tenaga untuk mengelola sendiri kebun pangan karena waktu dan tenaga habis karena bekerja di perkebunan.
Sementara itu, buruh perkebunan yang tinggal di dalam area perkebunan PT A memiliki plot yang dapat dikelola sebagai kebun pangan. Plot tersebut dapat berbentuk pekarangan dan halaman belakang rumah buruh, maupun sepetak tanah dekat perumahan buruh. Cukup banyak buruh perkebunan PT A yang benar-benar mengelola plot tersebut untuk menanam tanaman pangan, mulai dari tanaman bumbu dapur, sayur-sayuran hingga buah-buahan. Pekarangan rumah pada umumnya digunakan buruh untuk menanam tanaman bumbu dapur dan beberapa jenis sayuran. Sementara sepetak tanah yang berlokasi dekat dengan perumahan buruh ditanami sayur dan buah-buahan. Tidak ada batasan tentang jenis tanaman pangan yang boleh ditanam oleh buruh di kebun pangan. Meski demikian, beberapa buruh perkebunan mengaku bahwa peraturan perusahaan terkait hal ini sering berubah-ubah tergantung siapa yang menjadi manager perkebunannya. Sebelumnya, terdapat peraturan perusahaan yang melarang buruh perkebunan untuk menanam pohon buah yang tingginya sampai mencapai ukuran tertentu. Dalam satu diskusi partisipatif dengan para buruh kebun di mana mereka diminta untuk mengisi tabel dengan beberapa persoalan di seputar perkebunan, beberapa jawaban yang dituliskan buruh menyebutkan bahwa tanaman pangan ini sering “dibasmi”.
Pilihan kata dibasmi yang digunakan oleh buruh seakan menggambarkan bagaimana tanaman pangan yang tidak selaras dengan keinginan perusahaan dianggap sebagai hama.
Pangan dan Reproduksi Sosial
“Yang penting perut tidak boleh kosong” adalah pernyataan yang mungkin sering kita dengar dan ucapkan. Pernyataan ini kurang lebih menggarisbawahi pentingnya pangan bagi kebutuhan metabolisme setiap orang dalam melakukan kegiatannya. Demikian juga halnya bagi para buruh perkebunan sawit. Bagi buruh perkebunan, pangan berperan penting tidak hanya sebagai sumber energi untuk bekerja, tetapi juga untuk reproduksi buruh dan keluarga buruh secara keseluruhan. Dengan penghasilan yang diperoleh dari hasil kerjanya, buruh kebun dapat membeli kebutuhan pangan baik untuk dirinya maupun untuk anggota keluarganya. Dengan demikian, pangan adalah elemen yang penting dalam reproduksi sosial baik individual maupun keluarga buruh.
Dalam keluarga buruh perkebunan sawit, kebutuhan pangan keluarga pada umumnya menjadi tanggung jawab buruh perempuan akibat stereotipe gender. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pangan keluarga merupakan bagian dari kerja reproduktif, salah satu dari beban ganda yang diemban buruh perempuan perkebunan. Adalah tugas yang pada umumnya diemban oleh para buruh perempuan untuk membelanjakan penghasilan rumah tangga buruh untuk membeli bahan pangan. Corak perkebunan sawit yang monokultur menyebabkan buruh perkebunan harus mengandalkan pasar untuk suplai pangan rumah tangga buruh. Di PT A, terdapat tukang sayur keliling yang datang ke area perkebunan dengan menggunakan sepeda motor. Buruh perkebunan perempuan mengandalkan suplai bahan pangan segar, seperti sayur dan protein, dari tukang sayur keliling tersebut. Sementara beras, minyak, telur, tepung, makanan kecil dan minuman kemasan dapat dibeli di beberapa warung sembako kecil yang terdapat di area perumahan buruh dalam perkebunan. Warung-warung sembako kecil ini juga dikelola oleh buruh perempuan. Salah satu warung sembako kecil tersebut juga merupakan warung makan di mana beberapa buruh laki-laki sarapan. Warung ini dikelola oleh seorang perempuan paruh baya yang sebelumnya bekerja sebagai buruh di perkebunan PT A.
Selain belanja kebutuhan pangan sehari-hari, buruh perempuan perkebunan juga bertanggung jawab untuk mengolah dan memasak bahan pangan tersebut untuk siap dikonsumsi oleh anggota keluarga buruh. Di PT A, hal ini tidak hanya membuat buruh perempuan harus menyesuaikan dengan jam kerja di kebun, tetapi juga dengan waktu-waktu di mana listrik dinyalakan oleh perusahaan perkebunan. Pada kenyataannya, tidak semua perkebunan menyediakan akses listrik 24 jam ke perumahan buruh. Di PT A, listrik di perumahan buruh dinyalakan hanya dari jam 5 sore hingga jam 5 pagi. Ini berarti bahwa buruh perempuan sudah harus memasak pagi-pagi sebelum listrik dimatikan, terlebih jika mereka memasak nasi menggunakan rice cooker yang membutuhkan aliran listrik.
Karena tanggung jawab penyediaan kebutuhan pangan keluarga ini, para buruh perempuan harus memberikan waktu dan mengeluarkan tenaga lebih banyak.
Di sisi lain, jika kebutuhan pangan tidak dapat mencukupi kebutuhan semua anggota keluarga, buruh perempuan yang pada umumnya mengurangi konsumsi pangannya. Padahal, mengingat beban ganda yang ditanggungnya, buruh perempuan juga memerlukan sumber energi dan nutrisi yang cukup. Menurut Rai dkk (2004), hal ini menunjukkan terjadinya penipisan dalam level individual buruh perempuan.