Merek-merek dan bank-bank terkemuka dunia dibalik eksploitasi buruh kelapa sawit

oleh | Apr 29, 2021 | Buruh Migran, Kabar

Penerjemahan artikel ini telah mendapat persetujuan oleh penulis Associated Press untuk tujuan Pendidikan. Artikel asli dalam bahasa Inggris berjudul “Palm oil labor abuses linked to world’s top brands, banks” dimuat di situs Associated Press pada 24 September 2020.

Ditulis oleh MARGIE MASON dan ROBIN McDOWELL

24 September 2020

SEMENANJUNG MALAYSIA (AP) — kata-kata Jum meluncur keluar lewat telepon, suaranya terdengar semakin panik.

Di sela-sela isak tangisnya, laki-laki ini mengatakan bahwa dia terjebak di perkebunan Malaysia yang dikelola oleh perusahaan milik pemerintah Felda, salah satu perusahaan minyak sawit terbesar di dunia. Atasannya menyita dan kemudian menghilangkan paspor Indonesia-nya, katanya, membuatnya rentan ditangkap. Malam demi malam, dia terpaksa bersembunyi dari pihak berwenang, tidur di berlantaikan hutan, terkena angin dan hujan. Ketakutan terbesarnya adalah harimau yang berkeliaran.

Sementara itu, Jum mengatakan supervisornya meminta dia untuk tetap bekerja, merawat buah kelapa sawit berwarna jingga kemerahan yang telah masuk ke rantai pasok perusahaan-perusahaan makanan dan kosmetik paling ikonik di planet ini seperti Unilever, L’Oreal, Nestle dan Procter & Gamble.

“Saya bukan orang bebas lagi sekarang,” katanya dengan suara serak. “Saya rindu sekali dengan ibu dan ayah saya. Saya ingin pulang ke rumah!”

Investigasi Associated Press menemukan banyak pekerja seperti Jum di Malaysia dan negara tetangga Indonesia – angkatan kerja tak terdeteksi yang terdiri dari jutaan pekerja dari beberapa bagian termiskin di Asia, banyak dari mereka mengalami berbagai bentuk eksploitasi, dengan penganiayaan paling serius termasuk mempekerjakan anak, perbudakan total dan tuduhan pemerkosaan. Bersama-sama, kedua negara ini menghasilkan sekitar 85 persen dari pasokan minyak sawit dunia yang diduga senilai $65 miliar.

Minyak kelapa sawit pada hakekatnya tidak mungkin dihindari. Seringkali disamarkan pada label sebagai salah satu bahan yang dicantumkan lebih dari 200 nama, minyak ini dapat ditemukan pada kurang lebih setengah produk yang dijual di supermarket dan di sebagian besar merek kosmetik. Minyak ini ada dalam cat, kayu lapis, pestisida, dan pil. Juga terdapat dalam pakan ternak, bahan bakar nabati, dan bahkan pembersih tangan (hand sanitizer).

AP mewawancarai lebih dari 130 pekerja dan mantan pekerja dari dua puluh empat perusahaan kelapa sawit yang berasal dari delapan negara dan yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan di banyak daerah di Malaysia dan Indonesia. Hampir semuanya mengeluhkan perlakuan terhadap mereka; beberapa mengatakan bahwa mereka ditipu, diancam, ditahan di luar keinginan mereka atau dipaksa untuk bekerja membayar hutang yang tidak dapat dilunasi. Yang lainnya mengatakan mereka terus-menerus diusik pihak berwenang, dirazia dan ditahan di gedung-gedung pemerintah.

Para pekerja ini juga mencakup warga minoritas Rohingya yang telah lama mengalami penganiayaan di Myanmar, yang melarikan diri dari pembersihan etnis di tanah air mereka hanya untuk dijual ke industri minyak sawit. Nelayan yang lolos dari perbudakan bertahun-tahun di atas kapal juga menceritakan bagaimana mereka mendarat untuk mencari bantuan, namun malah akhirnya dijual ke perkebunan – terkadang dengan keterlibatan polisi.

AP menggunakan data terbaru yang diterbitkan produsen, pedagang dan pembeli minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia ini, serta catatan Bea Cukai AS, untuk menghubungkan minyak sawit hasil keringat para pekerja ini serta produk turunannya dari pabrik yang memprosesnya ke rantai pasok perusahaan-perusahaan papan atas Barat seperti produsen biskuit Oreo, pembersih Lysol, dan camilan cokelat Hershey.

Wartawan menyaksikan sebagian penganiayaan secara langsung dan meninjau laporan polisi, pengaduan yang diajukan ke serikat pekerja, video dan foto yang diselundupkan keluar perkebunan dan cerita-cerita dari media lokal untuk menguatkan laporan jika memungkinkan. Dalam beberapa kasus, wartawan melacak orang-orang yang membantu pekerja yang diperbudak melarikan diri. Lebih dari seratus pembela hak, akademisi, anggota organisasi keagamaan, aktivis dan pejabat pemerintah juga diwawancarai.

___

Penulisan kisah ini didanai sebagian oleh McGraw Center for Business Journalism di Newmark Graduate School of Journalism Universitas Kota New York

___

Meskipun sebagian besar masalah ketenagakerjaan telah diabaikan, efek negatif minyak sawit terhadap lingkungan telah lama dikecam. Namun, lembaga-lembaga keuangan raksasa Barat seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC dan Vanguard Group terus membantu memicu peningkatan produks tanaman yang booming di seluruh dunia, melonjak dari hanya 5 juta ton pada 1999 menjadi 72 juta ton saat ini, menurut Departemen Pertanian AS. Negara Amerika Serikat sendiri telah menyaksikan lonjakan permintaan sebesar 900 persen di kurun waktu tersebut.

Kadang-kadang lembaga-lembaga di atas berinvestasi secara langsung namun semakin banyak yang menggunakan pihak ketiga seperti Maybank yang berbasis di Malaysia, salah satu pemodal minyak sawit terbesar di dunia, yang tidak hanya memberikan modal kepada para petani namun, dalam beberapa kasus, juga memroses pembayaran upah perusahaan-perusahaan perkebunan. Para pakar kejahatan keuangan mengatakan bahwa dalam sebuah industri yang sarat dengan masalah, bank-bank harus menandai pemotongan gaji yang sewenang-wenang dan tidak konsisten sebagai indikator potensial dari kerja paksa.

“Ini telah menjadi rahasia tersembunyi industri minyak kelapa sawit selama beberapa dekade,” kata Gemma Tillack dari Rainforest Action Network yang berbasis di AS, yang telah mengungkap penyalahgunaan/penganiayaan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit. “Banklah yang bertanggung jawab. Pendanaan merekalah yang memungkinkan berlangsungnya sistem eksploitasi ini.”

Ketika permintaan global untuk minyak sawit melonjak, perkebunan berjuang untuk mendapatkan cukup tenaga kerja, seringkali bergantung pada para broker tenaga kerja yang memangsa orang-orang yang paling berisiko. Banyak pekerja asing akhirnya dikelabui oleh sindikat perekrut tenaga kerja dan pejabat korup dan seringkali tidak dapat berbicara bahasa setempat, membuat mereka sangat rentan terhadap perdagangan manusia dan berbagai penganiayaan lainnya.

Para pekerja ini kadang membayar hingga $5.000 hanya untuk mendapatkan pekerjaan mereka, jumlah yang bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk didapatkan di negara asal mereka, seringkali datang melakukan pekerjaan yang sudah dihancurkan oleh hutang. Banyak yang paspornya disita oleh pejabat perusahaan agar mereka tidak melarikan diri, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa diakui sebagai pertanda potensial dari kerja paksa.

Banyak pekerja lainnya tidak tercatat dan terutama takut untuk berbicara. Mereka mencakup migran yang bekerja tanpa surat-surat resmi dan anak-anak yang disaksikan wartawan AP berjongkok di ladang seperti kepiting, memetik buah yang jatuh bersama orang tua mereka. Banyak perempuan juga bekerja tanpa bayaran atau bekerja harian, dengan upah hanya $2 per hari, terkadang selama beberapa dekade.

AP tidak mengidentifikasi sebagian besar pekerja atau perkebunan khusus mereka untuk melindungi keselamatan mereka, berkaca dari kasus-kasus pembalasan yang terjadi sebelumnya. Banyak wawancara berlangsung secara diam-diam di rumah atau kedai kopi di kota dan desa dekat perkebunan, terkadang di tengah malam.

Pemerintah Malaysia dihubungi AP berulang kali selama seminggu namun tidak memberikan komentar. Felda juga tidak menanggapi, namun divisi komersialnya, FGV Holdings Berhad, mengatakan pihaknya telah berupaya untuk menangani keluhan para pekerja di perkebunannya, termasuk melakukan perbaikan dalam praktik perekrutan dan memastikan bahwa pekerja asing memiliki akses ke paspor mereka.

Warga negara Indonesia seperti Jum mendominasi pekerja kelapa sawit di seluruh dunia, termasuk di Malaysia, di mana sebagian besar penduduk setempat menghindari kerja-kerja kotor dan bergaji rendah. Kedua negara ini memiliki bahasa yang serupa dan perbatasan yang mudah dilewati, namun hubungan dekat mereka tidak menjamin pekerjaan yang aman.

Tidak berhasil mendapatkan pekerjaan di negara sendiri, Jum mengatakan dia pergi ke Malaysia pada 2013, menandatangani kontrak melalui agen untuk bekerja di perkebunan Felda selama tiga tahun. Dia menanggung kondisi yang keras karena keluarganya membutuhkan uang, namun dia mengatakan dia telah meminta behenti begitu kontraknya habis. Namun sebaliknyalah yang terjadi, katanya, kontraknya diperpanjang dua kali di luar keinginannya.

Dia mengatakan pada awalnya dia ditempatkan bersama warga Indonesia lainnya dalam kontainer pengapalan dari logam, yang panas tak terkira di tengah terik udara tropis. Kemudian, tempat tidurnya hanya berupa tikar bambu di samping api unggun, tanpa perlindungan sama sekali terhadap api dan kayu bakar serta ular dan hewan-hewan mematikan lainnya yang mencari mangsa di hutan.

“Kadang-kadang saya tidur beratapkan ribuan bintang, namun di malam-malam lainnya langit gelap total. Anginnya sangat dingin, seperti ribuan silet menusuki kulit saya, apalagi saat hujan deras,” ujarnya. “Saya merasa saya ditinggalkan dengan sengaja oleh perusahaan. Sekarang, harapan saya hanya satu: Pulang ke rumah.”

Dia telah menjalani hidup seperti ini terlalu lama, dia memberi tahu AP melalui telepon – takut untuk tetap tinggal, dan takut untuk pergi.

“Tolong bantu saya!” mohonnya.

___

Setengah abad yang lalu, minyak sawit hanyalah salah satu komoditas yang tumbuh subur di daerah tropis. Banyak negara Barat mengandalkan tanaman mereka sendiri seperti kedelai dan jagung untuk memasak, sampai pengecer besar menemukan bahwa minyak murah dari Asia Tenggara ini memiliki kualitas yang dapat dikatakan ajaib. Minyak ini memiliki umur simpan yang lama, namun hampir padat di suhu ruang dan tidak berasap saat dipanaskan, bahkan saat digunakan untuk menggoreng.

Ketika peneliti mulai memperingatkan bahwa lemak trans seperti yang ditemukan dalam margarin membawa risiko kesehatan yang serius, permintaan minyak sawit lantas melonjak bahkan semakin tinggi.

Hampir setiap bagian dari buah tersebut dapat dimanfaatkan, dari daging luar hingga daging dalamnya, dan keserbagunaan minyak itu sendiri serta turunannya tampaknya tidak ada habisnya.

Minyak ini membantu menjaga zat-zat berminyak agar tidak terpisah dan mengubah mie instan menjadi secangkir sup yang mengepul, hanya dengan menambahkan air panas. Minyak ini digunakan dalam susu formula bayi, krim non-susu, dan berbagai suplemen dan tercantum pada label segala macam produk mulai dari selai kacang Jif Natural sampai permen batangan Kit Kat.

Seringkali tersembunyi di antara nama-nama ilmiah pada label produk, minyak ini juga bermanfaat dalam sejumlah pembersih dan produk kosmetik. Minyak ini menimbulkan gelembung di sampo, berbusa di pasta gigi Colgate, melembabkan sabun Dove dan membantu menjaga lipstik agar tidak meleleh.

Namun, semua kenyamanan ini ada ongkosnya: Bagi pekerja, pekerjaan memanen buah bisa menjadi sesuatu yang brutal.

Medan hutan yang tidak rata itu kasar dan terkadang tergenang air. Pohon kelapa sawit itu sendiri berfungsi sebagai penghalang angin, menciptakan kondisi seperti dalam sauna, dan pemanen membutuhkan kekuatan luar biasa untuk mengangkat tiang panjang yang dipasang arit di ujungnya ke pepohonan yang menjulang tinggi.

Setiap hari, mereka harus menyeimbangkan alat ini seraya dengan hati-hati mengiris tandan buah berduri yang cukup berat untuk melukai atau membunuh jika menimpa manusia, merawat ratusan pohon di hamparan yang dapat membentang hingga lebih besar dari 10 lapangan sepak bola. Mereka yang gagal memenuhi kuota yang terlalu tinggi untuk dicapai, dapat melihat upah mereka akan dipotong, sehingga terkadang memaksa seluruh keluarga untuk ikut bekerja di ladang untuk memenuhi kuota harian.

“Saya bekerja membantu suami saya mengumpulkan buah yang jatuh. Saya tidak dibayar,” kata Yuliana, yang bekerja di perkebunan milik London Sumatra, yang memiliki sejarah masalah ketenagakerjaan dan dimiliki oleh salah satu pembuat mi instan terbesar di dunia.

Muhamad Waras, Kepala Divisi Keberlanjutan di London Sumatra, menanggapi bahwa masalah upah dan perkiraan panen harian dibahas secara rutin dan bahwa pekerja ilegal tidak diizinkan untuk direkrut.

AP berbicara dengan beberapa pekerja perempuan dari beberapa perusahaan lain yang mengatakan bahwa mereka mengalami pelecehan seksual dan bahkan mengalami pemerkosaan di kebun, termasuk beberapa anak di bawah umur.

Para pekerja juga mengeluhkan kurangnya akses ke perawatan medis atau air bersih, terkadang mereka harus mengumpulkan limpasan air hujan untuk membersihkan residu dari tubuh mereka setelah menyemprotkan pestisida berbahaya atau menyebarkan pupuk.

Sementara laporan-laporan media sebelumnya sebagian besar terfokus pada satu perusahaan atau satu perkebunan, investigasi AP adalah penggalian paling komprehensif ke dalam pelanggaran ketenagakerjaan di industri ini.

AP menemukan masalah yang tersebar luas di perkebunan besar dan kecil, termasuk di beberapa perkebunan yang memenuhi standar sertifikasi yang ditetapkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah asosiasi yang mempromosikan produksi yang etis – termasuk  perlakuan terhadap pekerja – dan yang anggotanya mencakup petani, pembeli, pedagang dan pemerhati lingkungan.

Beberapa dari perusahaan yang menampilkan logo sawit hijau RSPO yang berarti telah disetujui RSPO ini dituduh terus merampas tanah dari masyarakat adat dan menghancurkan hutan hujan perawan yang menjadi rumah bagi orangutan dan spesies yang terancam punah lainnya. Mereka berkontribusi terhadap perubahan iklim dengan menebangi pohon, mengeringkan lahan gambut yang kaya karbon, dan mempraktikkan tebang habis-bakar yang dilarang yang secara rutin membuat sebagian kawasan Asia Tenggara diselimuti kabut tebal.

Ketika dimintai komentar, beberapa produsen produk mengakui riwayat masalah ketenagakerjaan dan lingkungan industri ini, dan semuanya mengatakan mereka tidak mentolerir pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penahanan upah (tidak dibayar) dan kerja paksa. Sebagian besar menegaskan mereka bekerja untuk memperoleh minyak sawit yang hanya dihasilkan secara etis, mendorong pemerintah untuk membuat perubahan sistemik, dan mengambil langkah segera untuk melakukan penyelidikan ketika diperingati ada masalah-masalah mengganggu dan menangguhkan hubungan dengan produsen minyak sawit yang gagal menangani keluhan.

Nestle, Unilever dan LÓreal termasuk di antara perusahaan yang menyatakan telah berhenti membeli langsung dari Felda atau afiliasi komersialnya, FGV. Akan tetapi, menghilangkan minyak sawit kotor itu sulit, karena masalah ketenagakerjaan begitu endemik dan sebagian besar pembeli besar bergantung pada jaringan pemasok pihak ketiga yang rumit.

Sementara beberapa perusahaan, seperti Ikea, Colgate-Palmolive dan Unilever, secara langsung mengkonfirmasi penggunaan minyak sawit atau turunannya dalam produk-produk mereka, banyak perusahaan menolak bicara atau hanya memberikan sedikit informasi, terkadang bahkan ketika “minyak sawit” secara jelas tercantum pada label produk mereka. Sebagian perusahaan lainnya mengatakan sulit untuk mengetahui apakah produk mereka mengandung minyak sawit ini karena, dalam barang-barang seperti kosmetik dan bahan pembersih, beberapa nama yang tercantum pada label mungkin malah berasal dari minyak kelapa atau bentuk sintetis.

“Saya memahami mengapa perusahaan berjuang keras karena minyak sawit memiliki reputasi yang buruk,” kata Didier Bergeret, Direktur Divisi Keberlanjutan Sosial di Consumer Goods Forum, sebuah kelompok industri global. “Bahkan meskipun minyak tersebut berkelanjutan, perusahaan tidak ingin membicarakannya sama sekali.”

Menanggapi kritik tersebut, Malaysia dan Indonesia telah lama memuji tanaman emas ini sangat penting untuk mengentaskan kemiskinan, mengatakan bahwa petani kecil dapat menanam sendiri tanaman kelapa sawit dan perkebunan industri besar menyediakan pekerjaan yang sangat dibutuhkan bagi pekerja dari daerah-daerah miskin.

Nageeb Wahab, ketua Asosiasi Minyak Sawit Malaysia, sebuah kelompok payung dukungan pemerintah, menyebut tuduhan terhadap industri tersebut tidak beralasan. Dia menyatakan bahwa semua perusahaan di asosiasinya, yang sebagian besar merupakan perusahaan menengah dan besar di negara itu, harus memenuhi standar sertifikasi.

“Saya terkejut dengan semua tuduhan yang dibuat. Semuanya tidak benar,” ujarnya. “Mungkin ada pelanggaran oleh sebagian perusahaan, namun yang pasti itu adalah kasus tunggal dan bukan dari perkebunan anggota kami.”

Namun, Soes Hindharno, juru bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia, mengatakan kepada AP bahwa banyak pekerja Indonesia yang menyeberang ke Malaysia secara ilegal untuk bekerja di perkebunan “mudah diintimidasi, gaji mereka dipotong atau mereka diancam akan dilaporkan dan dideportasi.” Sebagian pekerja bahkan paspornya disita oleh majikan mereka, ujarnya.

Dia menambahkan bahwa banyak kekhawatiran yang diangkat oleh AP tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia belum disampaikan ke tingkatannya, namun dia mengatakan bahwa semua perusahaan yang didapati tidak mengikuti aturan dan peraturan pemerintah dapat dikenai sanksi, termasuk penutupan operasi mereka.

AP melakukan perjalanan ke perkebunan Felda di Malaysia tempat Jum bekerja awal tahun ini untuk menemuinya, namun panggilan ke ponselnya tidak dijawab. Rekan-rekan kerjanya membenarkan bahwa dia tidak lagi tidur di barak dan sebaliknya, karena rentan akibat ketiadaan surat-surat identitas, harus menyembunyikan diri dari kepolisian.

Rekan kerja Jum setidaknya memiliki tempat bernaung dengan atap, namun tempat tersebut lebih menyerupai gudang. Dapur yang kotor di tempat tersebut memiliki sebuah kompor listrik dan hanya sedikit panci dan wajan. Hanya dua toilet jongkok di luar ruangan yang berfungsi, memaksa banyak pria untuk saling mengantri, dan palung semen berjamur berfungsi sebagai baskom umum untuk mencuci. Penyemprot pestisida ditumpuk di sepanjang dinding dari logam, dekat dengan ranjang mereka.

Para pekerja laki-laki tersebut mengatakan bahwa mereka dipaksa untuk bekerja lembur tanpa upah lembur setiap hari. Seorang mengeluh mengalami sakit perut, mengatakan kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja di kebun dan telah meminta perusahaan untuk mengembalikan paspornya sehingga dia bisa pulang ke tempat asalnya. Dia mengatakan dia diberitahu bahwa dia harus membayar lebih dari $700 untuk bisa pergi – uang yang tidak dia miliki.

“Kami bekerja sampai sekarat,” kata seorang pekerja yang duduk di sebuah ruangan bersama dua rekan kerjanya. Matanya digenangi air mata setelah mengetahui Felda adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia.

“Mereka menggunakan minyak sawit untuk membuat semua produk ini,” katanya. “Itu membuat kami sangat sedih.”

Dan pandemi global hanya menambah kesulitan, membatasi arus pekerja dan berkontribusi pada kekurangan tenaga kerja yang lebih besar di Malaysia.

Pekerja AP yang diwawancarai berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina dan Kamboja, serta dari Myanmar, yang mewakili kelompok terbaru dari pekerja yang dieksploitasi.

Di antara yang berasal dari Myanmar adalah Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan seperti Sayed.

Penindasan selama puluhan tahun dan munculnya banyak kekerasan telah menyebabkan hampir satu juta warga Rohingya meninggalkan Myanmar dalam lima tahun terakhir. Sayed termasuk salah satu di antara mereka yang melarikan diri dengan perahu – hanya untuk akhirnya disandera, katanya, dan disiksa oleh pedagang manusia di sebuah kamp hutan di Thailand.

Setelah kerabatnya membayar uang tebusan, Sayed mengatakan dia dikirim ke negara Malaysia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, di mana ribuan warga Rohingya mengungsi. Dia mendengar tentang pekerjaan bagi pekerja tanpa izin dengan upah $14 sehari, jadi dia melompat ke bagian belakang truk bersama delapan laki-laki lainnya dan mewaspadai situasi selama berjam-jam saat jalan raya yang ramai menyempit ke jalan gunung dari tanah yang dikelilingi karpet hijau tanaman kelapa sawit yang seolah tak berujung.

Begitu sampai di perkebunan, Sayed mengatakan dia tinggal di sebuah pondok terpisah, bertahan hidup dari sedikit nasi dan ikan kering yang diberikan majikannya. Dia mengatakan dia melarikan diri setelah bekerja selama sebulan dan kemudian ditangkap, menghabiskan satu setengah tahun di pusat penahanan imigrasi, di mana dia dipukuli para penjaganya.

“Tidak ada keadilan,” katanya. “Orang-orang di sini berkata, ‘Ini bukan negaramu, kami akan melakukan apapun yang kami inginkan.’”

Shamshu, yang juga seorang warga Rohingya, mengatakan dia juga lari dari perkebunannya setelah menyadari dia tidak akan pernah dibayar. Namun, pelariannya tidak mengakhiri penderitaannya.

Shamshu memiliki kartu pengungsi yang dikeluarkan oleh PBB, yang dapat memberikan perlindungan tertentu meskipun Malaysia tidak mengakuinya sebagai dokumen legal, namun dia dan yang lainnya mengatakan sudah umum terjadi pihak berwenang merobek kartu-kartu tersebut. Dia mengatakan dia dihentikan oleh polisi dan menghabiskan empat bulan di penjara dan kemudian enam bulan di pusat penahanan imigrasi, di mana dia dipukuli dengan tongkat.

Dalam salah satu aksi pemukulan, dia menjelaskan betapa seorang penjaga membenturkan wajahnya ke dinding, sementara dua penjaga lainnya menjepit lengan dan kakinya. Kisah serupa disampaikan ke AP oleh beberapa pekerja migran lainnya, termasuk Vannak Anan Prum, seorang warga Kamboja yang menerbitkan sebuah novel grafis pada tahun 2018 yang menggambarkan penganiayaan terhadap dirinya.

“Ini masih ada bekas lukanya… dan masih terasa sakit,” kata Shamshu tentang pemukulan yang dialaminya. “Saya pikir tongkat pemukulnya dialiri listrik karena saya sampai pingsan saat itu.”

Dalam beberapa kasus penganiayaan terburuk, para pekerja migran mengatakan bahwa mereka melarikan diri dari satu jenis perbudakan ke jenis perbudakan lainnya, dengan merinci bagaimana mereka diperdagangkan, dijual dan diperbudak tidak hanya sekali, tetapi dua kali.

Lima laki-laki dari Kamboja dan Myanmar menceritakan kepada AP kisah-kisah yang sangat mirip tentang dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan Thailand selama bertahun-tahun pada waktu yang berbeda. Mereka mengatakan berhasil membebaskan diri saat berlabuh di Sarawak, Malaysia, sebelum ditangkap oleh polisi dan dengan cepat dijual kembali ke perkebunan.

“Di Kamboja, saya sering mendengar orang tua saya bicara tentang derita hidup mereka di bawah rezim Khmer Merah, namun saya sendiri juga telah mengalami derita ini, ketika saya bekerja di kapal nelayan Thailand dan di perkebunan kelapa sawit Malaysia,” kata Sren Brohim, 48 tahun, yang melarikan diri dengan menawarkan kerja menangkap ikan secara cuma-cuma dengan imbalan perahu untuk berlayar pulang. Bekerja di dua tempat ini seperti bekerja di neraka.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia membenarkan bahwa perdagangan ganda bukanlah hal yang aneh, terutama lima hingga 10 tahun yang lalu, ketika agen perekrut tenaga kerja dan pedagang manusia berdiam di sepanjang pantai menunggu para nelayan yang melarikan diri.

Tahun lalu di Malaysia, seorang laki-laki Kamboja lainnya yang mengatakan dia menghabiskan lima tahun diperbudak di laut dan empat tahun lagi di perkebunan termasuk di antara mereka yang muncul ke permukaan. Alih-alih dipulangkan sebagai korban perdagangan manusia, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan dia dipenjara selama berbulan-bulan karena berada di negara itu secara ilegal.

Seorang laki-laki Burma, Zin Ko Ko Htwe, mengatakan dia juga dibawa ke perkebunan setelah melarikan diri dari kapal pada tahun 2008 dan menghabiskan beberapa bulan bekerja di sana, tanpa dibayar. Dia memutuskan untuk lari suatu hari, namun mengatakan para pengawas perkebunan mengejarnya, mengeluarkan pistol dan mengurungnya.

“Keluar!” dia ingat teriakan mereka. “Jika tidak, kami akan membunuhmu!”

Ko Htwe dibawa kembali ke perkebunan, di mana dia mengatakan bahwa majikannya mengikat kedua tangannya dan, di bawah todongan senjata, menyuruhnya untuk berlutut di depan pekerja lain sebagai peringatan. Dia akhirnya berhasil melarikan diri, namun baru berhasil pulang tahun 2016 – hampir satu dekade setelah dia pergi meninggalkan rumah.

“Kami mengucurkan keringat dan darah kami untuk minyak sawit,” kata Ko Htwe. “Kami dipaksa bekerja dan dianiaya.”

Ketika orang Amerika dan Eropa melihat minyak sawit terdaftar sebagai salah satu bahan dalam makanan ringan mereka, lanjut Ko, mereka harus tahu “itu sama dengan mengonsumsi keringat dan darah kami.”

___

Dominasi industri kelapa sawit mungkin paling baik dipahami dengan melihat jejaknya dari ketinggian 35.000 kaki di angkasa. Pohon-pohon yang ditanam dalam barisan yang rapi membentang bermil-mil di dataran datar di kedua negara, dibelah sungai berwarna coklat muda dan akhirnya mengelilingi pegunungan berteras sejauh mata memandang, menciptakan hamparan hijau hampir seukuran negara bagian Kansas.

Sangat mudah untuk memahami daya pikatnya, mengingat tanaman seperti rapeseed, wijen, dan jagung membutuhkan lebih banyak lahan namun menghasilkan minyak yang jauh lebih sedikit.

Malaysia dan Indonesia mulai menggenjot produksi komersial mereka pada tahun 1960-an dan 70-an, didukung oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, yang memandang minyak sawit sebagai mesin bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Dewasa ini, dengan kemajuan dalam transportasi dan kemampuan penyulingan, kedua negara ini hampir memonopoli pasokan global, bahkan ketika produksi sawit meluas di Afrika dan Amerika Latin, di mana juga ada laporan tentang sederet penganiayaan tenaga kerja.

China dan India telah menjadi pelanggan utama, dan hasil panen tersebut kini dipandang sebagai sumber energi potensial untuk pembangkit listrik, kapal dan pesawat terbang, yang akan menciptakan permintaan lebih banyak.

“Jika seluruh dunia Barat berhenti menggunakan minyak sawit, saya pikir itu pun tidak akan membuat perbedaan,” kata Gerrit van Duijn, mantan manajer kilang di Unilever, salah satu pembeli minyak sawit terbesar di dunia untuk produk makanan dan perawatan pribadi.

Pohon kelapa sawit hanya membutuhkan waktu tiga atau empat tahun untuk tumbuh dewasa dan kemudian berbuah sepanjang tahun sampai tiga puluh tahun. Namun, sebagian besar perusahaan tidak dapat mempertahankan laju ekspansi tanpa pendanaan dari luar. Setiap 10.000 hektar penanaman baru membutuhkan dana hingga $50 juta, menurut perkiraan van Duijn.

Bank-bank Asia sejauh ini merupakan pemodal paling kuat dari perkebunan-perkebunan ini, namun lembaga pemberi pinjaman dan perusahaan investasi Barat telah menggelontorkan hampir $12 miliar untuk perkebunan kelapa sawit dalam lima tahun terakhir saja, memungkinkan penghancuran dan penanaman kembali lahan yang terus meluas, menurut Forest and Finance, sebuah database yang dijalankan oleh enam organisasi nirlaba yang melacak aliran uang ke perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Lembaga-lembaga AS BNY Mellon, Charles Schwab Corp., Bank of America, JPMorgan Chase & Co., dan Citigroup Inc., bersama HSBC, Standard Chartered, Deutsche Bank, Credit Suisse dan Prudential di Eropa, bersama-sama menyumbang $3,5 miliar dari jumlah tersebut, menurut database tersebut.

Kontributor lainnya termasuk serikat pensiunan dan guru negara AS, termasuk CalPERS, dana karyawan publik besar-besaran California, dan perusahaan asuransi seperti State Farm, yang berarti bahwa bahkan konsumen yang cermat pun tanpa disadari terus mendukung industri ini  hanya dengan mengunjungi ATM, menggadaikan rumah, mengasuransikan mobil, atau menanam uang di akun pensiun 401K.

Bank of America, HSBC, Standard Chartered, Deutsche Bank, Credit Suisse, CalPERS dan State Farm menanggapi dengan menyebutkan kebijakan-kebijakan mereka, yang berjanji untuk mendukung praktik keberlanjutan dalam industri minyak sawit, dengan banyak di antaranya juga memasukkan hak asasi manusia ke dalam pedoman mereka. JPMorgan Chase menolak berkomentar, dan BNY Mellon, Citigroup dan Prudential tidak menanggapi. Charles Schwab menyebut investasinya “tidak banyak”.

Beberapa, termasuk dana pensiun pemerintah Norwegia – dana kekayaan berdaulat terbesar di dunia, bernilai sekitar $1 triliun – telah melepaskan atau menjauhkan diri dari perusahaan kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, Norwegia dan banyak bank dan lembaga keuangan ternama di seluruh dunia terus menjalin hubungan dengan bank terbesar Malaysia, Malayan Banking Berhad. Lebih dikenal sebagai Maybank, bank ini telah mengeluarkan dana hampir $4 miliar untuk membiayai industri minyak sawit Asia Tenggara antara 2015 dan 2020, atau sekitar 10 persen dari semua layanan pinjaman dan penjaminan emisinya, menurut Forests and Finance.

Meskipun Forests and Finance menuduh Maybank memiliki beberapa kebijakan penilaian sosial dan lingkungan yang paling longgar di industri tersebut, para pemegang sahamnya mencakup lembaga-lembaga seperti Vanguard Group, BlackRock dan State Street Corp.

Keuntungan terbesar bagi bank-bank yang berafiliasi dengan kelapa sawit datang dari layanan keuangan besar, seperti pinjaman perusahaan. Namun, sebagian dari lembaga-lembaga ini juga menawarkan layanan perbankan bagi para pekerja, menangani pengupahan, dan menempatkan mesin-mesin ATM di perkebunan.

“Dan di sinilah bank-bank, seperti Maybank, bisa mendapati diri mereka berada di jantung masalah kerja paksa,” kata Duncan Jepson, direktur pelaksana kelompok nirlaba anti perdagangan manusia global Liberty Shared. “Lembaga keuangan memiliki kewajiban etis dan kewajiban kontrak kepada semua klien mereka, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar pelanggan. Dalam hal ini, itu berarti perusahaan kelapa sawit dan para pekerjanya.”

Jepson mengatakan pemotongan gaji yang tidak normal umum terjadi di dunia industri, yang seharusnya memicu penyelidikan oleh tim manajemen risiko bank terhadap kemungkinan pencucian uang.

Dalam sebuah pernyataan, Maybank menyatakan keterkejutannya atas kritik terhadap standarnya, dengan mengatakan bahwa “kami menolak setiap sindiran bahwa Maybank mungkin terlibat dalam perilaku tidak etis.” Pihak bank mengatakan tidak menerima keluhan apapun tentang pengupahan pekerja dan “tidak secara sewenang-wenang melakukan pemotongan ke rekening klien kecuali diperintahkan atau diberi wewenang untuk melakukannya oleh pemegang rekening.” Pihak bank mengatakan mereka akan segera menyelidiki setiap keluhan yang diajukan. Mereka juga menolak tuduhan memiliki standar tata kelola sosial yang longgar.

Saat diminta mengomentari investasi-investasi mereka, BlackRock menegaskan kembali komitmennya terhadap praktik berkelanjutan, Vanguard mengatakan mereka memantau perusahaan-perusahaan dalam portofolionya terkait pelanggaran hak asasi manusia, dan State Street tidak memberi tanggapan.

Organisasi tempat Jepson bekerja mengajukan petisi kepada pemerintah AS awal tahun ini, mengutip tuduhan pekerja anak dan kerja paksa, dan mengupayakan larangan semua impor minyak sawit dari Perkebunan Sime Darby. Produsen raksasa yang berbasis di Malaysia itu mengatakan kepada AP bahwa mereka telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan, termasuk menyiapkan saluran bantuan pekerja multibahasa. Dua petisi serupa diajukan tahun lalu oleh kelompok-kelompok lain terhadap FGV Holding, divisi komersial Felda.

FGV Holdings, yang mempekerjakan hampir 30.000 pekerja asing dan mengelola sekitar 1 juta ekar (sekitar 404.685,6 Ha) kebun, memiliki usaha patungan 50/50 dengan raksasa barang konsumen Amerika Procter & Gamble Company. FGV Holdings telah dikecam karena pelanggaran ketenagakerjaan dan dikenai sanksi oleh kelompok sertifikasi RSPO dua tahun lalu.

Nurul Hasanah Ahamed Hassain Malim, kepala keberlanjutan FGV, mengatakan bahwa meskipun perusahaan berupaya untuk melakukan perbaikan, masalah yang diangkat tidak hanya menyangkut FGV dan bahwa pemerintah juga harus berperan dalam melindungi pekerja migran.

“Ini adalah masalah industri. Dan menurut saya ini tidak spesifik hanya untuk perkebunan – Anda akan menyaksikan masalah yang sama di sektor-sektor lainnya juga,” katanya.

Sebagian pekerja di berbagai perusahaan, termasuk perusahaan perkebunan tempat Jum bekerja, menunjukkan kepada AP slip gaji mereka dan buku besar yang mendokumentasikan upah harian. Beberapa pekerja mengatakan bahwa mereka biasanya dipotong upahnya karena tidak memenuhi kuota atau dipotong gajinya setiap bulan, kadang-kadang sampai bertahun-tahun, untuk membayar broker tenaga kerja yang merekrut mereka. Dalam satu kasus, pendapatan seorang karyawan Malaysia dipotong lebih dari 40 persen, termasuk untuk listrik.

Beberapa bulan, Jum dan pekerja lainnya berkata bahwa mereka hanya mendapatkan $10 sehari. Sebagian besar bekerja dalam panjang waktu yang sama, melakukan pekerjaan yang sama, namun mengatakan mereka tidak pernah tahu berapa jumlah yang akan diterima sebelum memeriksa rekening Maybank tempat gaji mereka disimpan setiap bulannya.

Karim, seorang pekerja Bangladesh yang tiba di Malaysia secara resmi 12 tahun lalu setelah dijanjikan posisi di sebuah perusahaan elektronik, mengatakan dia akhirnya bekerja untuk subkontraktor di banyak perkebunan besar yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan terbesar.

“Saya sudah ditipu lima kali dalam enam tahun,” katanya, dan melanjutkan bahwa ketika dia meminta gaji yang belum dibayar, majikannya “mengancam akan melindas saya dengan mobilnya.”

Banyak dari kondisi-kondisi ini seharusnya sudah tidak mengejutkan perusahaan yang membeli minyak sawit dan perusahaan-perusahaan yang membantu mendanai perkebunan.

Departemen Luar Negeri AS telah lama mengaitkan industri minyak sawit di Malaysia dan Indonesia dengan eksploitasi dan perdagangan manusia. Dan laporan tahun 2018 yang dirilis oleh Consumer Goods Forum menemukan indikator-indikator kerja paksa di perkebunan-perkebunan di kedua negara – yang pada dasarnya membuat 400 CEO di forum ini waspada. Anggota forum ini mencakup pelanggan minyak sawit seperti Nestle, General Mills Inc., PepsiCo Inc., Colgate-Palmolive Company dan Johnson & Johnson.

Banyak pemasok besar telah berjanji untuk membasmi pelanggaran ketenagakerjaan setelah mendapat tekanan dari pembeli yang mengecam mereka. Namun, beberapa pekerja mengatakan bahwa mereka disuruh bersembunyi atau diajari harus mengatakan apa selama kunjungan terjadwal auditor ketika hanya kondisi-kondisi terbaik yang seringkali ditampilkan demi sertifikasi keberlanjutan.

Sistemlah yang membuat pekerja seperti Jum tidak pernah terdeteksi.

__

Segera setelah pembicaraan lewat teleponnya dengan AP untuk memohon bantuan, Jum memutuskan untuk menyelinap pergi dari perkebunannya, bahkan tanpa pamit kepada teman-temannya. Sebaliknya, dia mengirimi mereka pesan singkat yang mengatakan dia sudah tidak tahan dan akan berupaya menemukan kapal ilegal untuk pulang ke Indonesia.

Itu adalah rencana yang berbahaya. Risiko tertangkap atau mati di laut sangat nyata. Dia bisa menghilang begitu saja.

Hari demi hari berlalu tanpa berita. Namun akhirnya, Jum muncul: Dia telah mencapai pantai Malaysia tapi tidak memiliki cukup uang untuk membayar para penyelundup untuk pulang ke Indonesia. Dia meringkuk di gubuk kecil dari logam agar tidak terlihat, menyeka air matanya dan menyisiri rambut hitamnya yang kusut.

“Jika saya ketahuan,” dia memberi tahu AP melalui video call, “Saya khawatir saya tidak akan pernah melihat ibu saya lagi.”

Jum bersembunyi di koridor yang populer bagi para migran gelap, dan pihak berwenang secara agresif sering berpatroli di daerah tersebut. Perantara yang bermulut manis juga tengah berburu, menunggu untuk menerkam para pekerja rentan dan menjanjikan perjalanan yang aman dengan ongkos yang seringkali dinaikkan begitu perjalanan dimulai.

Jum selalu menyembunyikan masalahnya dari keluarganya dan pikiran untuk meminta bantuan dari mereka membuat dia malu. Namun, seiring berlalunya hari, dia tidak punya pilihan lagi: Dia menelepon dan mereka meminjam uang yang dibutuhkan untuk membawanya pulang.

Saat tiba waktunya berangkat, Jum bermalam di hutan bersama sekelompok warga Indonesia yang juga tengah gelisah tentang aksi penyeberangan mereka yang berisiko ini. Dia menyiapkan diri untuk terjun ke kegelapan Laut Cina Selatan sebelum fajar untuk berenang ke kapal yang menunggunya, salah satu bagian paling berbahaya dari perjalanan ini.

Begitu Jum naik ke kapal, kehabisan tenaga, dengan ngerinya dia segera menyadari bahwa laki-laki yang telah menarik uang sebesar $600 miliknya untuk perjalanan sampai ke desanya telah menghilang. Dia mencoba untuk menanyakan apa yang terjadi, namun dibungkam dan disuruh menyerahkan teleponnya kecuali dia ingin ponselnya dilemparkan ke laut.

“Tidak ada pertanyaan!” sang kapten berteriak padanya. “Kamu ingin hidup atau mati?”

Jum menghabiskan perjalanan dengan penuh ketegangan, matanya terus mengawasi laut sekelilingnya untuk melihat apakah ada lampu kapal patroli perbatasan yang dapat menangkap mereka saat kapal dihantam ombak yang cukup kuat untuk membalikkan kapal. Dia tidak bisa rileks sampai kakinya menyentuh pantai Indonesia.

Dia selamat. Namun, kantung dia juga kosong, dan keluarganya masih ribuan mil jauhnya. Dia berupaya mencari pekerjaan, namun tidak ada yang mau mempekerjakannya tanpa dokumen identitas yang layak – KTP-nya, yang menyatakan dia berusia 32 tahun, yang sudah habis masa berlakunya selama bertahun-tahun – jadi dia bergantung pada orang tak dikenal untuk memohon makanan dan tempat berteduh.

Setelah hening beberapa saat, Jum akhirnya menghubungi AP lagi – sambil menangis, didera rasa lapar. AP bertanya apakah dia ingin dihubungkan ke kantor Organisasi Internasional untuk Migrasi setempat, yang membawanya ke tempat penampungan dan menunjuknya sebagai korban perdagangan. Dia dikarantina karena banyaknya kasus virus korona hingga akhirnya – tiga bulan setelah melarikan diri dari perkebunannya – dia dibawa pulang dengan pesawat.

Kegembiraannya bertemu kembali dengan keluarganya musnah oleh rasa malu yang dia rasakan karena pulang dengan tangan kosong setelah bekerja di perkebunan selama tujuh tahun. Namun, itu tidak menjadi masalah bagi keluarganya.

“Bagi orang tua saya, yang terpenting adalah saya kembali ke rumah dengan selamat dan sehat,” katanya. “Saya merasa sangat lega ketika kaki saya melangkah kembali ke desa asal saya. Sungguh sangat melegakan, seperti seseorang yang baru saja lolos dari hukuman. … Saya merasa seperti orang bebas!”

Dengan hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar, satu-satunya pekerjaan Jum sekarang adalah merawat sawah tetangga nyaris tanpa upah. Ini adalah masalah yang dihadapi banyak pekerja migran: Apakah keluarga mereka menjadi lebih baik saat mereka pergi? Paling tidak memang mulut yang harus diberi makan telah berkurang satu, dan mereka dapat mengirim sedikit uang ke rumah.

Broker tenaga kerja seringkali mencibiri mereka yang telah kembali ke rumah dan nyaris tidak bisa menghasilkan seperti Jum, mencoba untuk memancing mereka untuk pergi lagi dengan janji-janji kekayaan yang diperbarui.

Maka, tidak heran bila datang panggilan telepon dari agen di Malaysia yang sudah mendapatkan nomor baru Jum.

Kembalilah, sang agen meyakinkannya. Segalanya akan lebih baik kali ini. Ayo, kembalilah.

___

Wartawan Associated Press Sopheng Cheang dan Gemunu Amarasinghe berkontribusi pada liputan ini.

 

Pin It on Pinterest