Siang itu, 26 November 2023, sekitar 25 orang (10 orang luar negeri) dari berbagai organisasi mengendarai bus dari Kota Pontianak ke Desa Sijang Sambas, dengan tujuan melakukan “kunjungan solidaritas sehari” dengan petani dan buruh sawit, sebelum pelaksanaan konferensi “transisi berkeadilan” selama 2 hari di Kota Sambas. Serikat buruh yang berperan sebagai panitia lokal mempersiapkan dan mengatur kunjungan di Desa Sijang dengan baik. Desa ini termasuk yang sudah dikepung oleh 4 perkebunan sawit luas (PT SAM, PT PANP, PT LAIK, PT KMP). Setelah menempuh perjalanan 6 jam, beberapa keluarga dan anggota serikat buruh menyambut rombongan dengan hangat.
Keesokan harinya, 27 November 2023, di pagi hari sekitar 10 orang dari komunitas petani datang dengan antusias sambil membawa sampel air sungai. Salah satu agendanya memang melakukan pengujian ketercemaran air sungai. Pada siang hari, kegiatan diskusi dilakukan di area kebun sawit, yang di luar dugaan sekitar 30-an buruh sawit berdatangan dengan antusias untuk mengikuti pertemuan.
Tulisan ini tidak akan mengurai rentetan kegiatan di Sambas, tetapi mencoba menyusun kegelisahan-kegelisahan yang muncul dalam berbagai obrolan bersama petani dan buruh sawit di Desa Sijang, mengulas beberapa pernyataan dalam diskusi pada konferensi dua hari di Kota Sambas, lalu mempertanyakan ke mana arah jaringan aliansi buruh-tani dalam konferensi internasional yang katanya mengusung “transisi berkeadilan” ini.
Petani “Paruh-Waktu” yang Kian Terjerat Ketergantungan
Di pagi hari, sambil menunggu pengujian ketercemaran air sungai, beberapa petani dan buruh berkenalan dan mengobrol santai di ruang depan rumah. Para petani ini ternyata adalah buruh yang di-PHK oleh perusahaan sawit yang mengambil alih pengelolaan lahannya dengan skema plasma.
Mirip dengan yang terjadi di berbagai lokasi lainnya di Kalimantan, kebun plasma berada di area HGU yang berarti merupakan kebun inti dan sepenuhnya dikelola perusahaan sawit. Sedangkan keluarga petani pemilik lahan kemudian direkrut menjadi buruh upahan dengan “pendapatan tambahan” dari skema plasma. Artinya, skema plasma tidak lebih dari cara perusahaan sawit untuk menguasai dan mengelola lahan sekaligus memudahkan pengerahan buruh dari masyarakat setempat.
Setelah di-PHK, selain mengandalkan pendapatan dari skema plasma, para petani plasma ini mencoba memaksimalkan pemanfaatan sisa lahan sempit yang memang sengaja tidak diserahkan ke perusahaan sawit.
Namun demikian, pendapatan dari skema plasma semakin tidak menentu. Selain jumlah pembayaran yang kian berkurang, kadang juga dibayarkan setelah 3 bulan. Pihak perusahaan berdalih bahwa pengurangan pembayaran plasma ini disebabkan oleh berkurangnya lahan kebun sawit yang dikelola perusahaan. “Memang luasan kebun sawit bisa menyempit sendiri? Kok bisa?,” ungkap salah satu pemilik plasma dengan gusar.
Lalu, seorang anggota serikat buruh menimpali bahwa pengurangan lahan kebun sawit itu terjadi setelah pihak perusahaan sawit digugat oleh pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) karena kebun sawitnya merambah kawasan hutan.
Meski kalah bersengketa dengan KLHK, tentu saja perusahaan sawit tidak mau pemasukannya berkurang, karenanya pengurangan pembayaran dibebankan pada pemilik plasma. Karena kondisi inilah para petani plasma mencoba bernegosiasi dengan pihak perusahaan untuk tidak memperpanjang HGU sebelum membangun kesepakatan-kesepakatan baru. Namun, upaya negosiasi dengan pihak perusahaan baru sebatas aspirasi pemilik plasma, belum tahu apakah ada peluang untuk duduk bersama dan membangun kesepakatan terkait penguasaan dan pengelolaan lahan dengan pihak perusahaan sawit.
Selain itu, pengelolaan sisa lahan sempit juga menghadapi banyak tantangan. Cerita tentang pengelolaan lahan sawah sempit muncul dari buruh harian lepas (BHL) saat diskusi kelompok kecil di area kebun sawit pada sore harinya.
Tiga perempuan BHL yang terlibat diskusi ternyata menggunakan separuh waktunya untuk menggarap sawah atau ladang.
“Habis mupuk dan pulang dari sini, langsung naik motor lagi ke sawah,” ujar seorang ibu BHL. Ketika ditanya capek atau tidak, dia langsung menjawab dengan gusar, “Ya, capek lah, tapi gimana lagi, kan kita butuh uang. Itu belum ngurusi masak dan bersih-bersih habis dari sawah”.
Lebih lanjut ibu BHL itu menjelaskan masalah-masalah pertanian terkait banyaknya hama, besarnya biaya produksi dan perawatan, dan hasil produksinya pun kurang bagus. “Kebun sawit ini yang bikin hama sawah tambah banyak,” celetuk seorang ibu BHL lainnya. Sebagian hasil produksi sawahnya dikonsumsi sendiri, dan sebagian lagi dijual untuk menambah pemasukan.
Namun, beras yang diproduksi sendiri tidak pernah cukup untuk dikonsumsi sampai hasil panen berikutnya. Ketika ditanya tentang pengeluaran rumah tangga yang paling tinggi, ibu BHL itu menjawab: membeli beras, gula, kopi, dan jajan anak. Besarnya biaya untuk memenuhi kebutuhan pokok itu mengharuskan ibu-ibu BHL itu berutang ke warung setiap bulannya. Ironis, penggarap sawah masih harus berutang untuk membeli beras. Dalam kondisi inilah petani membutuhkan pemasukan lain sebagai BHL di kebun sawit untuk menutupi utang, yang terus berulang setiap bulannya.
Berbagai persoalan yang dialami petani paruh waktu itu menggugah pertanyaan: masih adakah petani yang tidak harus mencari pemasukan lagi dari perburuhan karena hasil pertaniannya sudah mencukupi? Kalau ada, sebanyak apa? Atau jangan-jangan, mayoritas petani sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan buruh. Lahan pertanian sudah tidak signifikan untuk menjadi sumber penghidupan. Besarnya biaya hidup yang semakin tidak terkendali menjadikan para petani tidak mampu mengendalikan ekonomi rumah tangganya, dan mengharuskannya terlunta-lunta untuk menemukan pemasukan lainnya di sektor perburuhan.
Dalam situasi inilah petani dan buruh tidak bisa lagi dibedakan: terjerat pasar, tidak mampu mengendalikan ekonomi rumah tangga, dan terpaksa menggantungkan penghidupannya pada perusahaan pemberi kerja. Mungkinkah dalam posisi ketergantungan ini terjadi negosiasi yang setara?
Dilema Status Kerja Buruh dan “Upah Layak”
Salah satu aspirasi yang muncul dari buruh BHL adalah menuntut pengangkatan status kerja tetap, yang dilontarkannya saat ditanya terkait hutang.
“Gak mungkin lah, kita gak ngutang ke warung, mana cukup. Makanya, serikat harus berhasil memperjuangkan kita jadi buruh tetap, biar nambah gajinya,” ujar ibu BHL sambil melirik pengurus serikat buruh.
Saat itu serikat buruh memang sedang menuntut pengangkatan status kerja tetap bagi buruh-buruh BHL yang juga meletakkan harapannya pada serikat buruh. Namun, pengangkatan status kerja tetap dan naiknya nominal upah tidak perlu dipisahkan dari dinamika kerja dan pemenuhan kebutuhan hidup. Berbagai persoalan tetap layak diajukan terus-menerus: Apakah kenaikan upah tidak beriringan dengan penambahan beban, waktu, dan risiko kerja? Apakah kenaikan upah tidak beriringan dengan kenaikan biaya pemenuhan kebutuhan hidup, termasuk kesehatan? Seberapa besar sebenarnya upah yang layak bagi buruh?
Persoalan perburuhan dan sistem pengupahan bergulir dalam diskusi-diskusi workshop pada acara konferensi “Transisi Berkeadilan di Industri Sawit” selama dua hari setelahnya di Kota Sambas.
Dalam Workshop 9 dengan topik “Upah Layak Lintas Sektor?”, seorang pengurus serikat buruh menyatakan bahwa, meski banyak buruh yang upahnya berada di bawah ketetapan upah minimum, tetapi tidak seharusnya serikat buruh hanya mengejar target upah minimun yang ditetapkan pemerintah, karena ketetapan upah minimun masih tidak bisa dianggap sebagai upah layak dengan memerhatikan beratnya beban kerja yang dialami buruh.
Kemudian seorang aktivis perburuhan menanggapi bahwa upah tidak boleh dilihat dari angka nominalnya saja, tetapi perlu memeriksa lebih terperinci realisasinya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan buruh. Meski angka nominalnya tinggi, namun sama saja tidak ada harganya kalau belum mengimbangi lonjakan biaya-biaya yang harus ditanggung buruh, termasuk tingginya biaya pendidikan anak, biaya bensin dan perawatan motor untuk transportasi kerja, dan sebagainya.
Dalam Workshop 9 tersebut, tersirat kebutuhan untuk menformulasikan ulang “upah layak” yang sebenar-benarnya adil berdasarkan beban kerja dan pemenuhan biaya-biaya kehidupan yang ditanggung buruh. Penghitungan upah layak ini menuntut pemeriksaan kondisi dan dinamika riil yang dialami buruh, yang tentu berbeda dari lokasi ke lokasi lainnya, dan terlalu berlebihan kalau menyamaratakannya lintas sektor, apalagi lintas negara. Perubahan tinggi dan rendahnya biaya hidup berkaitan erat dengan perubahan cara pemenuhan kebutuhan, baik dengan cara produksi sendiri maupun dengan cara membeli.
Perubahan cara pemenuhan kebutuhan ini tentu saja berkaitan dengan perubahan ruang hidup. Perkebunan sawit skala luas jelas memiliki andil besar terhadap perubahan ruang hidup, seperti perubahan sungai, hutan, tanaman, binatang, dan segala ekosistemnya. Karenanya, memberikan upah layak yang sebenar-benarnya adil adalah kewajiban bagi perusahaan sawit. Tapi tentu saja, pihak perusahaan akan sulit menerima argumen ini, alih-alih memenuhinya.
Masih Adakah Potensi “Transisi”, Terlebih “Berkeadilan”?
Meski jelas bahwa perusahaan bertanggung jawab atas perubahan ruang hidup dan relasi-relasi sosial-ekologis, yang mengarah pada penajaman krisis di sepanjang sejarahnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan mengantongi otoritas penuh secara legal untuk melakukan pengaturan pengelolaan, produksi dan ketenagakerjaan. Lalu, mungkinkah “transisi” terjadi?
Salah satu kegelisahan muncul dalam diskusi terkait kemungkinan memanfaatkan kelembagaan sertifikasi produksi (EUDR, RSPO, ISPO dan semacamnya) sebagai alat advokasi buruh.
“Sertifikasi EUDR ini kan butuh biaya yang cukup mahal ya. Biasanya perusahaan tidak mau rugi, biaya itu diambil dengan cara mempertajam penghisapan terhadap buruh-buruhnya,” ungkap seorang aktivis pertanian sebagai peserta diskusi Workshop 4 dengan topik “EUDR dan Sertifikasi”.
Belum ada cara untuk mengidentifikasi bagaimana biaya-biaya yang dianggap mengurangi keuntungan perusahaan justru dibebankan pada buruh, dengan cara meningkatkan kerja-kerja tidak berbayar. Lebih lanjut peserta ini menyatakan bahwa sertifikasi produksi lebih berguna bagi perusahaan untuk melegitimasi produknya dan memenangkan persaingan pasar, alih-alih mengidentifikasi dinamika perburuhan dan krisis sosial-ekologis. Mirip dengan kasus sengketa perusahaan sawit dan KLHK yang dijelaskan di atas, yang berujung pada pemecatan buruh dan pemangkasan pembayaran plasma. Jangan-jangan, pemecatan buruh hanya cara untuk menciptakan ketergantungan dan merekrut lagi buruh-buruh yang lebih murah.
Dengan demikian, persoalan “transisi” layak diajukan: masih adakah kemungkinan transisi, sementara perusahaan tetap memegang kendali penuh atas pengaturan pengelolaan, produksi dan perburuhan? Apakah jaringan aliansi buruh-tani yang dibangun dalam konferensi internasional ini mampu melepas jerat ketergantungan, memperkuat kendali ekonomi rumah tangga, dan membangun kedaulatan kelola ruang hidup dalam rangka pemulihan krisis sosial-ekologis? Atau jangan-jangan, “transisi” hanya beredar dalam imajinasi para pemikir. Meski imajinasi juga termasuk realitas. Lalu, bagaimana memaknai “keadilan”? Jawabannya masih menjadi misteri.
Transisi seharusnya lebih dari sekadar kenaikan upah, penyediaan air bersih, penanganan kesehatan dan sebagainya, tanpa memutus lingkaran ketergantungan, kerentanan dan ketidakberdayaan.
Transisi menuntut perubahan struktural yang lebih mendasar dan menyeluruh, begitu pernyataan yang sering dilontarkan almarhum Gunawan Wiradi, seorang tokoh reforma agraria Indonesia.
Sekali lagi, tulisan ini hanya akan melempar persoalan: ke mana arah jaringan aliansi buruh-tani yang terbentuk dalam konferensi internasional yang katanya mengusung “transisi berkeadilan” ini?