Apa bedanya sakit kepala karena masuk angin atau gejala keracunan?
Apa mungkin sakit ini bukan hanya nasib buruk, melainkan bagian dari relasi kerja berbahaya di perkebunan sawit?
Apa yang harus kami lakukan, apa bila nyatanya kondisi kerja berbahaya ini menjadi takdir yang mengancam kesehatan dan keselamatan kita dan anak cucu di masa depan?
Bukan lagi sebuah rahasia, buruknya kondisi kerja di industri sawit menempatkan buruh dan keluarganya dalam situasi berbahaya yang sulit dihindari. Di tengah barisan tanaman sawit raksasa, buruh sawit bekerja dalam relasi kerja fleksibel yang mengurangi tanggung jawab perusahaan atas pemenuhan hak perburuhan serta hak Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sementara itu, tiap harinya para buruh menghadapi ancaman biologis (hewan buas, hama, dan serangga), fisika (alat berat dan peralatan kerja), serta kimia ( herbisida, pestisida, dan pupuk). Tidak luput, buruh juga menghadapi ancaman sosial seperti diskriminasi dan intimidasi yang terjadi akibat rendahnya daya tawar buruh dibandingkan dengan kuasa besar perusahaan.
Berbagai dilemma menyandera buruh, pertanyaan mereka, bagaimana mungkin para pemupuk yang kebanyakan BHL (Buruh Harian Lepas) dapat bekerja dengan sehat dan aman ketika harus menaburkan 600 kilogram (15 – 16 karung) selama 7 jam kerja dalam balutan APD (Alat Perlindungan Diri) berbahan lateks murah yang panas. Belum lagi, bagaimana dengan tantangan fisik perkebunan, mulai dari tanah gambut, jembatan setapak yang licin, parit limbah tanpa pagar, hingga serangan hewan? Yang tidak kalah penting, bagaimana mungkin memikirkan ancaman kesehatan jangka panjang, seperti gangguan organ dalam dan kanker, apa bila akses layanan kesehatan umum yang disediakan perusahaan dan pemerintah di areal perkebunan sangat terbatas?
Seperti dilema yang dialami buruh pemupuk, 16 buruh sawit laki-laki dan perempuan di bagian perawatan turut merasakan kontradiksi antara relasi kerja dan masalah kesehatan yang tak kunjung usai. Mereka adalah korban dari industri perkebunan sawit yang berfokus pada produktivitas monokultur yang mengabaikan pemenuhan tanggung jawab reproduksi sosial. Dalam konteks ini, tanggung jawab kesehatan dianggap sepele, seolah-olah buruh menyediakan tenaga dan kesehatan prima mereka secara sukarela. Sementara di saat yang bersamaan, konstelasi ekonomi politik jaminan sosial negara kini membatasi manfaat layanan kesehatan bagi buruh. Akibatnya, berbagai masalah kesehatan dan kecelakaan kerja diindividualisasi sebagai tanggung jawab buruh itu sendiri tanpa pengobatan yang tepat. Ironisnya, alih-alih diatasi secara sistematis, masalah ini berulang kali diperparah dengan lemahnya pengawasan negara terhadap pengusaha, lemahnya determinasi pasar global melihat peran buruh untuk mewujudkan “industri sawit berkelanjutan”, dan pasang surut serikat buruh perkebunan.
Naskah penelitian ini mengangkat dilema kesehatan buruh bagian perawatan dengan menganalisis bagaimana kepentingan monokultur bertentangan dengan pemenuhan kesehatan buruh sawit melalui penelusuran ide, peraturan, dan praktik K3 di perkebunan sawit sepanjang 2021 – 2022. Naskah ini menggunakan metode riset aksi partisipatoris bersama dua serikat buruh di Ketapang dan Sambas, Kalimantan Barat. Sebagai tambahan, di saat yang bersamaan riset ini juga dilakukan di Bagan Serai, Sungai Siput, dan Batang Berjuntai Malaysia (lihat naskah rangkuman hasil riset untuk diseminasi konferensi Transisi yang Adil di Industri Sawit). Seluruh buruh yang terlibat dalam riset ini aktif mendiskusikan K3, memetakan peran pemangku kebijakan, mendokumentasikan keluhan sakit, serta menghadapi langsung tantangan pengadvokasian masalah-masalah kesehatan dan peraturan K3 di tingkat perusahaan.
Terdapat lima bagian dalam naskah ini, yang dimulai dari menguraikan metodologi, kerangka pemikiran, proses kerja berbahaya, terkuburnya data-data sakit dan kecelakaan yang kami sebut “menjalar dalam diam,” serta kesimpulan dan rekomendasi. Pada bagian awal dimulai dengan menguraikan relasi kerja fleksibel dan struktur kerja perkebunan yang berbahaya. Kemudian, bagian akhir naskah ini dilengkapi cerita-cerita perjuangan buruh dalam memperjuangkan hak K3 tanggung jawab pemenuhan kesehatan. Pada bagian penutup ini, kami turut membagikan berbagai tantangan perjuangan buruh yang sakit seringkali terhenti di lingkaran terkecilnya dan terkendala akses untuk memperoleh pengobatan yang tepat.
Pada akhirnya, naskah ini mengajak pembaca untuk memahami kondisi kesehatan buruh sawit lebih mendalam dan melihat K3 di perkebunan sawit sebagai arena perjuangan buruh. Di satu sisi, aturan K3 dapat menjadi peraturan artifisial yang mengikat buruh melalui regulasi teknis yang terbatas, infrastruktur yang minim, tekanan audit, dan tuntutan nihil kecelakaan. Namun di sisi lain, melalui pengorganisasian sosial yang kuat serta peningkatan kapasitas buruh dalam hak-hak perburuhan, kesehatan, dan keselamatan kerja, aturan K3 bisa menjadi pintu masuk untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh.
Mari memulai percakapan ini dan berbagi suara dalam diskusi K3 di perkebunan sawit. Temukan selengkapnya dalam Menjalar dalam Diam yang bisa Anda unduh di sini:
Unduh Menjalar dalam Diam di Sini
Salam hangat,
Sekretariat TPOLS