Pada 27 November 2024, seorang buruh perempuan kabur dengan berjalan kaki dari perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Buruh perempuan ini berasal dari Kota Medan, dan tidak tidak ada biaya sama sekali untuk pulang ke kampungnya. Beruntung, setelah berjalan selama 3 jam dengan menahan haus dan lapar, buruh perempuan ini singgah di sekretariat Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI), serikat buruh di perkebunan sawit lainnya yang berdekatan dengan perkebunan tempat dia bekerja. Atas dasar solidaritas, SEPASI melakukan investigasi dan menemukan bahwa akar masalahnya terletak pada kekacauan perekrutan ketenagakerjaan yang sengaja dibiarkan oleh pihak perusahaan. SEPASI berinisiatif mempublikasikan hasil investigasinya supaya kasus-kasus serupa dapat dipantau, ditindak tegas, dan tidak berulang lagi. Berikut krolonogi kasus dan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim SEPASI:
Kronologi Kasus
Pada pertengahan Agustus 2024, seorang buruh perempuan (SBW) dan suaminya mendatangi seorang mandor yang bekerja di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Tengah, yang juga merupakan perekrut buruh dari wilayah-wilayah lain. SBW dan Suami ikut Mandor tersebut dari Medan menuju perkebunan kelapa sawit Kalimantan Tengah melalui jalur air. Mereka mengendarai bus dari Kota Medan hingga Tanjung Priok Jakarta, kemudian dari Jakarta lanjut mengendarai kapal penumpang menuju pelabuhan Kumai Kalimantan Tengah, dan selanjutnya dibawa ke area perkebunan.
Setibanya di perkebunan, SBW, suami dan tiga rekannya langsung dibawa ke poliklinik PKS (Pabrik Kelapa Sawit) untuk dilakukan medical cek up. Setelah selesai, mereka diantar ke Afdeling dan selanjutnya menunggu sekitar 3 hari untuk mendapatkan alat kerja. Alat kerja ini wajib dicicil sebesar Rp 125.000/bulan, namun SBW tidak mengetahui sampai kapan pemotongan alat kerja itu lunas. Selain itu, SBW juga wajib membayar peralatan masak senilai Rp 650.000.
SBW bekerja sebagai pemupukan, dan ketika kondisi cuaca hujan SBW melakukan pekerjaan lain seperti mengitip brondol. Sedangkan suami SBW bekerja sebagai pemanen. Seiring berjalannya waktu, SBW dan suami bekerja seperti biasa, hingga menerima pengupahan sebanyak 3 kali. Di pengupahan pertama dan kedua, SBW dan suaminya sudah merasakan kejanggalan dan menganggap upahnya tidak sesuai dengan apa yang disepakati dengan mandor yang merekrut mereka pada saat pemberangkatan.
Pada November 2024, suami SBW sudah tidak sangup lagi untuk melanjutkan kerja karena hasil yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, bahkan hanya menambah utang untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga suami SBW pergi meninggalkan istrinya yang masih mau bekerja di perusahaan tersebut. Berselang sekitar satu pekan, SBW masih melakukan aktivitas seperti biasanya, sejauh itu pihak perkebunan tidak nampak sibuk mencari tahu keberadaan suaminya; hanya mandor yang tinggal dalam satu afdeling dengan SBW yang turut mencari, namun tidak juga mendapatkan informasi keberadaan suaminya. SBW tidak bisa melakukan komunikasi dengan suami atau keluarganya, karena SBW tidak lagi memiliki handphone (HP) dan juga tidak menyimpan nomor HP suami atau keluarganya di kampung.
Dalam kondisi terpuruk, SBW juga mengalami pelecehan verbal oleh oknum kepala kebun dengan memanggilnya “rondo anyar”. Bukannya simpatik, oknum kepala kebun malah melontrkan ucapan yang menambah beban mental dan memperparah kondisinya, sehingga SWB nekat kabur dari Afdeling pada 27 November 2024, sekitar jam 07:00 WIB, dengan berjalan kaki selama sekitar 3 jam, tanpa tahu pasti ke mana arah dan tujuannya, hanya dengan memakai baju yang di badannya saja, tanpa membawa pakaian ganti, hingga sampai di perbatasan perkebunan sawit lainnya yang berdekatan dengan perkebunan tempat dia bekerja, lalu dia mendatangi Pos Security perkebunan tersebut untuk meminta minum karena sangat kelelahan dan kehausan. Setelah diberi makanan dan minuman, tim security yang juga merupakan anggota SEPASI mengantar SBW untuk beristirahat dan tinggal sementara di Sekretariat SEPASI.
Hasil Investigasi Tim SEPASI
Setelah melakukan investigasi, Tim SEPASI menemukan bahwa tidak ada perikatan kerja (kontrak) yang jelas antara pihak manajemen dengan SBW dan rekan-rekannya. Kesepakatan kerja hanya dilakukan melalui lisan antara SBW dan suaminya dengan mandor yang sekaligus sebagai perekrut tenaga kerja. Karena sistem kerja dan pengupahan tidak sesuai dengan kesepakatan awal, SBW kabur dari perkebunan tempat dia bekerja.
Tidak hanya kekacauan perekrutan buruh, alasan kaburnya SBW juga disebabkan kerentanan yang dialaminya. Upahnya tidak pernah cukup untuk memenuni kebutuhan hidup sehari-hari. Harga sembako mahal. Sedangkan upahnya harus dipotong untuk menyicil atau melunasi pembelian peralatan kerja dan masak, tanpa mengetahui sampai kapan utangnya bisa lunas. Koperasi yang disediakan oleh perusahaan tidak memperbolehkan buruh baru untuk kasbon tanpa ada penjamin dari orang kedua (mandor/atasan/kepala kebun).
Dalam pelariannya, SBW harus berhati-hati dan melewati lorong-lorong kebun (pasar pikul), dan tidak berani melewati jalan karena jika dia ketahuan kabur maka pihak security akan mengejar dan menangkapnya, lalu membawanya ke ruang tahanan khusus buruh yang kabur (mako) selama beberapa hari untuk dipekerjakan kembali dengan pengawasan yang lebih ketat.
Saat berada di Sekretariat SEPASI, SBW dalam keadaan trauma dan ingin segera bertemu dengan keluarga (Ibu, saudara dan anak-anaknya) di kampungnya. SBW adalah anak kedua dari sebuah keluarga. Orang tua laki-lakinya sudah meninggal. SBW memiliki dua anak yang masih kecil. Atas dasar solidaritas, SEPASI memutuskan untuk memulangkan SBW ke kampung halamannya di Kota Medan. Dengan dibantu oleh beberapa jaringan, SEPASI berhasil mengantar SBW ke Bandara Cilik Riwut Palangkaraya untuk pulang ke kampungnya, pada tanggal 1 Desember 2024.
Publikasi kronologi dan investigasi kasus ini diharapkan mampu mendorong dan memperkuat jaringan solidaritas, baik untuk membongkar kekacauan-kekacauan dan masalah-masalah perburuhan yang sudah lama terjadi, dibiarkan, dan dianggap lumrah, maupun untuk mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kondisi tersebut.