Sudah lebih dari 1 dekade, paling tidak, perusahaan kebun sawit PT. London Sumatra (Lonsum) telah banyak disoroti oleh berbagai kelompok sipil terkait sejumlah indikasi pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini mulai dari konflik lahan dengan masyarakat lokal di Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Simalungun yang termiskinkan selama puluhan tahun, hingga laporan pelanggaran hak buruh yang dipekerjakan dengan kondisi kerja buruk.
Secara khusus, sebuah rangkaian investigasi oleh RAN, OPPUK dan ILRF pada 2016 dan 2017 mendokumentasikan berbagai indikasi pelanggaran hak buruh di perkebunan milik PT. Lonsum di Sumatera Utara, terutama terkait pekerjaan rentan, upah rendah di bawah standar minimum, buruh anak, standar kesehatan dan keselamatan kerja buruk, serta pembatasan hak berserikat.
Pelanggaran tersebut dikuatkan oleh temuan dan putusan badan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2018 yang berujung dikeluarkannya PT. Lonsum dan perusahaannya induknya PT. Salim Ivomas dari keanggotaan RSPO pada tahun 2019.
Menanggapi hasil investigasi tersebut, perusahaan justru berkilah, membela diri, dan berupaya menyerang balik. PT. Lonsum menyatakan bahwa segala praktek ketenagakerjaan yang diterapkan telah memenuhi peraturan yang berlaku di Indonesia. Sangkalan PT. Lonsum itu didasari oleh hasil pemeriksaan legal yang dilakukan oleh firma hukum ‘Hiswara Bunjamin & Tandjung’ yang menyatakan tidak adanya pelanggaran aturan hukum ketenagakerjaan.
Lonsum merupakan satu contoh dari begitu banyaknya cara perusahaan mengeksploitasi buruh dengan memanfaatkan celah hukum, terutama terkait perekrutan buruh harian lepas dan kontrak berjangka pendek. Di perkebunan milik PT. Lonsum—dan hampir di seluruh perkebunan yang ada—perusahaan mempekerjakan pekerja lapangan, terutama bagian perawatan (penebas rumput, penyemprot racun, dan penebar pupuk), pemungut biji berondolan, dan sebagian pemanen dengan status temporer, baik harian lepas maupun kontrak.
Perekrutan pekerja temporer itu, seperti yang dilakukan oleh PT. Lonsum didasari oleh klaim perusahaan bahwa pekerja temporer mengerjakan pekerjaan yang bersifat musiman, tidak menentu dan bukan pekerjaan inti industri. Perusahaan juga membenarkan praktek tersebut dengan berlindung di balik Kepmenakertrans No. 100/ Men/ Vi/ 2004 tentang Ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu yang mengatur bahwa pekerja temporer diperbolehkan untuk pekerjaan di luar kegiatan inti perusahaan dan/ atau bersifat musiman.
Perusahaan perkebunan sawit mengartikan pekerjaan temporer secara serampangan. Jika pekerjaan pemanenan dan perawatan kegiatan inti perusahaan, maka dari mana dihasilkannya tandan buah kelapa sawit yang diolah di kilang jika bukan hasil kerja para buruh pemanen dan buruh perawatan? Jika alasannya bukan soal inti dan non-inti kegiatan industri, melainkan sifat musiman, maka mengapa banyak sekali laporan para buruh harian lepas dan kontrak yang telah bekerja selama belasan tahun?
Pengartian serampangan atas pekerja temporer ini jelas merupakan cara perusahaan memperoleh keuntungan dengan mengeksploitasi buruh. Dengan statusnya yang ‘temporer’ maka perusahaan dapat dengan mudah membuang buruh begitu saja, termasuk sebagai cara untuk memberangus serikat buruh independen. Perusahaan juga dapat dengan mudah mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak penyedia jasa tenaga kerja/ agen outsourcing.
Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit juga secara vulgar berlindung di balik aturan ketenagakerjaan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri. Aturan ketenagakerjaan di Indonesia, mulai dari UU Ketenagakerjaan tahun 2004, Kepmenaker 2004 PKWT, hingga UU Cipta Kerja 2020 yang terbaru, merupakan produk hukum yang memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk merekrut dan memecat buruh dengan mudah.
Hukum juga digunakan oleh perusahaan sebagai alat untuk menyerang balik mereka yang memperjuangkan keadilan buruh. PT. Lonsum melalui surat tanggapannya kepada RAN menyiratkan pesan serangan balik melalui pernyataan “kami mempunyai hak, termasuk untuk mengambil tindakan hukum terhadap Anda atas informasi salah yang berkaitan pada perusahaan kami, tanpa memberitahu Anda.”
Alih-alih berupaya memperhatikan keluhan-keluhan para pekerja yang didokumentasikan dalam laporan investigasi dan memperbaikinya, perusahaan justru berupaya membungkam kritik.
Sikap tidak terbuka dan membela diri ini juga tampak ketika PT. Lonsum berupaya mementahkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial Medan (PHI) dengan mengajukan kasasi. Padahal, putusan PHI itu telah memenangkan gugatan pesangon 12 buruh harian lepas anggota serikat Serbundo yang bekerja di sejumlah perkebunan sawit milik PT. Lonsum di tiga kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.
Di tempat lain, PT. Lonsum menggugat 21 buruh harian lepas perempuan atas tuduhan pencemaran nama baik ke Pengadilan Negeri Medan. Perusahaan menuntut ganti rugi pembayaran honor pengacara perusahaan dan kerugian material dengan total nominal Rp. 2 miliar. Para buruh anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) sebelumnya memprotes tindakan pemecatan sepihak tanpa pesangon. Pihak Disnaker Pemkab Sergai telah mengeluarkan anjuran agar perusahaan mempekerjakan kembali atau membayar pesangon.
Praktek eksploitasi di perkebunan kelapa sawit merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Permainan celah hukum—yang didesain untuk ramah investor, anti serikat, dan memiskinkan—oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak bisa diterima.
Kami yang tergabung dalam jaringan serikat buruh dan masyarakat sipil dengan ini mengecam segala upaya perusahaan perkebunan, termasuk PT. Lonsum yang mengerdilkan, mengancam, serta menyerang serikat buruh dan kelompok sipil atas kebenaran yang diungkapkannya.
Kami juga menuntut kepada pemerintah Indonesia agar mencabut segala peraturan ketenagakerjaan yang mengandung unsur pasar kerja fleksibel dan menggantinya dengan aturan hukum yang demokratis, partisipatif, dan mensejahterakan rakyat pekerja.
Untuk itu, kami menyatakan
- Mendukung penuh buruh kebun PT. Lonsum anggota serikat Serbundo dan FSPMI, serta buruh kebun di tempat lainnya, yang berjuang untuk mendapatkan haknya serta hidup dengan bermartabat.
- Mendesak PT. Lonsum untuk menghormati putusan PHI atas pengabulan sebagian tuntutan buruh anggota Serbundo dengan membatalkan upaya kasasi, dan memenuhi kewajiban yang telah diputuskan pengadilan
- Mendesak PT. Lonsum untuk mencabut gugatan hukum terhadap 21 buruh anggota FSPMI atas tuduhan pencemaran baik, serta untuk memenuhi kewajibannya yang telah dianjurkan oleh Disnaker Pemkab Sergai.
- Mendesak PT. Lonsum untuk mengevaluasi praktek ketenagakerjaannya sebagaimana yang dipersoalkan oleh para buruh, terutama buruh harian lepas dan buruh perempuan, dan memperbaikinya dengan keterlibatan yang substantif serikat buruh independen.
- Menuntut pemerintah Indonesia untuk mencabut dan mengganti aturan ketenagakerjaan yang ramah investor, anti buruh, dan memiskinkan rakyat, termasuk UU Cipta Kerja 2020.
Surat pernyataan ini didukung oleh:
1) Koalisi Buruh Sawit
2) Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Kebun Kelapa Sawit
Jakarta, 9 April 2020