[TPOLS Network Talk 1] Bagaimana Plasma Memiskinkan Petani?

oleh | Jan 20, 2024 | Komunitas Lokal, Lingkungan dan Kesehatan, Pengorganisasian, Perburuhan

Fenomena kemitraan plasma sawit yang digiring oleh kuasa dan kendali perusahaan sawit, seiring dengan kehampaan kebijakan yang berpihak pada keadilan, berdampak pada semakin tergerusnya sumber penghidupan masyarakat. Hari demi hari, satu per satu tanah di berbagai dataran di negara ini dicaplok oleh perusahaan sawit; satu per satu anak dan cucu kehilangan tanah sebagai sumber penghidupan; yang tersisa, hanya tenaga yang terpaksa dijual murah sebagai buruh.

Sebagai gantinya, janji-janji pengentasan kemiskinan dengan istilah “perkebunan plasma” dihadirkan, bersamaan dengan pembentukan “koperasi plasma”. Akan tetapi, solusi yang dijanjikan justru semakin memperparah ketimpangan penguasaan lahan, pemerahan kemiskinan, serta memunculkan buruh-buruh baru yang terjebak dalam kondisi rentan, hingga memicu berbagai konflik yang mendatangkan aparatur negara dengan senjata lengkap. Nahasnya, kondisi yang nestapa ini terus meluas, baik di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, hingga Sulawesi merasakan hal yang sama.

Berdasarkan keresahan yang sama, pada hari Sabtu, 20 Januari 2024, jejaring TPOLS yang berisikan berbagai kolektif, mulai dari serikat buruh, petani, kelompok feminis, aktivis, dan peneliti mengulas kembali bentuk-bentuk permasalahan yang ditimbulkan plasma sawit secara daring di Zoom. Diskusi ini dipandu oleh Syiqqil (sekretariat TPOLS) dan dipantik oleh dua orang perwakilan dari komunitas yang sedang melakukan pendampingan masalah plasma, yaitu Fatrisia (FPPB/Forum Petani Plasma Buol di Sulawesi Tengah) dan Wayan (Agra Kalimantan Tengah).

Selama dua jam setengah, diskusi disambut dengan berbagai cerita dan tuntutan dari daerah-daerah yang terkena dampak plasma sawit. Tiap-tiap daerah memiliki tuntutan aksi yang berbeda, mulai dari permintaan tuntutan 20% plasma perusahaan, demokratisasi koperasi, hingga yang terbaru disuarakan oleh kawan-kawan Buol yang tengah terdesak atas ancaman kriminalisasi dan kedatangan aparatur negara yaitu pengembalian pengelolaan lahan plasma pada petani.

Cerita dari Lima Komunitas

Diskusi terlambat tiga puluh menit, ketika kami menunggu Fatrisia mendaki bukit untuk mendapatkan jaringan yang lebih baik. Sesaat Fatrisia bergabung, ia menyalakan kamera yang memperlihatkan latar ilalang hijau dan langit yang terkesan damai. Kemudian ia menggeser kameranya, untuk memperlihatkan barisan massa FPPB (Forum Petani Plasma Buol) yang tergabung dalam 4 koperasi di 6 desa yang bermitra dengan PT. HIP (Hardaya Inti Plantation) tengah melakukan aksi di Desa Maniala Buol Sulawesi Tengah. Mereka berusaha mengklaim 3.300 hektar dari luasan 6.766 hektar. Saat ini, situasi genting dihadapi oleh petani-petani plasma di Buol. Tentunya, tidak hanya Fatrisia, berbagai buruh dan komunitas membagikan cerita mereka tentang relasi kemitraan plasma yang menimbulkan berbagai prahara. Berikut sekilas cerita dari 5 komunitas:

  1. Forum Petani Plasma Buol – Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah: Enam belas tahun telah berlalu sejak PT. HIP membuka perkebunan plasma di atas lahan yang bukan HGU, yaitu di lahan produktif masyarakat desa dan membentuk 7 koperasi yang digadang-gadang mampu membuka lapangan kerja dan penghidupan yang lebih baik. Permasalahannya, hingga kini perusahaan tidak kunjung membagikan hasil “jatah hidup” dan keuntungan dalam bentuk SHU. Sebut saja Koperasi Amanah yang selama 16 tahun bermitra tidak kunjung mendapatkan SHU. Serta Koperasi Maniala yang sejak 2011 hingga saat ini tidak menerima dana apa pun. Kemalangan ini mendorong berbagai upaya aksi yang dikerahkan sejak 2021 oleh petani-petani plasma yang bergabung dalam FPBB. Semula, aksi-aksi dilakukan secara spontan dengan blockade jalan. Tuntutan itu pernah direspon dengan pembentukan Pansus (Panitia Khusus), namun tidak kunjung memberikan jalan keluar yang adil. Pada tahun 2023, tuntutan aksi FPBB mengakar pada permasalahan relasi kepemilikan, yaitu “kembalikan tanah” dan “hapuskan hutang”. FPBB mendesak supaya PT. HIP menghentikan produksi. Atas memanasnya konflik ini, FPBB berhadapan langsung dengan aparatur negara dan kini tengah dibentrokkan dengan buruh yang bekerja di dalam PT. HIP.
  2. Buruh dan Petani Plasma – Kabupaten Penyang, Kalimantan Tengah: Kebijakan plasma di Kabupaten Penyang tidak pernah dimulai dari inisiatif perusahaan, melainkan perjuangan mati-matian komunitas. Saat ini Kabupaten Penyang terapit oleh 6 perusahaan besar, yang tidak punya inisiatif untuk membagikan plasma. Berbagai hak yang seharusnya diberikan harus diperjuangkan oleh komunitas yang akan tergusur. Sejauh ini, perusahaan telah mengklaim luasan mereka 116 hektare, komunitas petani menginginkan lahan kemitraan, tapi perusahaan berdalih kalau lahannya berada dalam HGU.
  3. Organisasi Masyarakat – Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah: Telah terjadi banyak konflik akibat plasma, seperti di Desa Bangkal (Konflik Warga Pondok Damar dengan PT. Mustika Sembuluh, lihat [1] dan [2]), dan yang secara langsung didampingi di Desa. Parang Barang yang merupakan perusahaan PT. Best Agro Internasional, sampai sekarang, permasalahan utama yaitu 20% lahan plasma yang seharusnya dikelola untuk masyarakat atau dimitrakan tidak dilaksanakan. Berbagai perusahaan juga mengoperasikan perusahaan di atas lahan yang tumpang tindih di luar HGU. Kini, berbagai CSR dengan solusi yang tidak mengakar juga bermunculan. Organisasi masyarakat telah menyurati perusahaan, bupati, gubernur untuk meminta hak 20% lahan plasma tapi perusahaan berdalih bahwa kebijakan itu tidak lagi berlaku. Terlebih, perusahaan justru menawarkan untuk ekspansi ke lahan-lahan baru yang akan dimitrakan plasma. Tawaran ini ditentang masyarakat.
  4. Serikat Buruh – Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat: Plasma telah menimbulkan banyak masalah, seperti hutang, pembagian keuntungan tidak merata, hingga masalah dalam keluarga buruh. Misalnya, pembagian Plasma PT. ANI di Kampung Semangat didistribusikan dengan besaran hektar tidak merata sehingga menyebabkan konflik. Setelah kasus distribusi lahan dianggap selesai, masalah yang belum selesai yaitu jeratan hutang karena perusahaan “menalangi” biaya produksi sawit. Hingga saat ini, hanya segelintir orang yang bisa menikmati manfaat koperasi. Beberapa diantaranya yaitu sanak famili pengurus koperasi saja.
  5. Buruh dan Petani Plasma – Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah: Selama tujuh tahun terakhir, kami bermitra dengan salah satu grup Wilmar yaitu PT. KSI. Persoalan koperasi menjadi problem. Di lapangan kita sering melihat praktik curang seperti pengurus koperasi yang mengakumulasikan kekayaan pribadi.

 

Koperasi Plasma: Prahara atau Peluang?

Bukan lagi menjadi hal tabu bahwa perusahaan masuk pada komunitas dengan membeli lahan dan janji-janji membawa kesejahteraan dengan perekrutan tenaga kerja dan pembentukan koperasi untuk keuntungan bersama. Namun, setelah bergulirnya waktu, petani-petani plasma dari berbagai wilayah mulai mempertanyakan janji-janji kemitraan itu.

Mencuat diskusi tentang buruknya tata kelola koperasi plasma direspon oleh tim peneliti Sawit Rakyat Berkelanjutan dari Agrarian Resources Center yang terdiri dari Hilma, Erwin, dan Molisna. Menurut Erwin, melihat dari prinsip dan peraturannya, koperasi diperlukan sebagai upaya untuk mengorganisir komunitas petani dalam suatu model kerja kolektif dan berkeadilan. Permasalahannya, kemitraan inti-plasma justru menjadikan koperasi sebagai alat penundukan, penjinakan, dan manipulasi terhadap para petani. Atas melekatnya berbagai hal negatif dari koperasi plasma, pengistilahan “koperasi” pun menjadi istilah yang toxic. “Hal ini menjadikan peluang pengorganisasian: mengorganisir anggota koperasi yang bermasalah untuk diorganisir. Sehingga, dalam konteks koperasi plasma ini, jangan salahkan koperasi (sebagai lembaga), kesalahan ada pada bagaimana cara koperasinya dikelola. Bermitra dengan siapa?” ungkap Erwin Suryana, tim penelitian Sawit Rakyat ARC.

Sepakat dengan Erwin, Hilma menyatakan bahwa diksi tidak perlu banyak dipermasalahkan. Hal yang harus diperhatikan dalam koperasi plasma (apa pun istilah yang digunakan) adalah bagaimana dan untuk apa usaha bersama itu dijalankan. Secara ideal, seharusnya koperasi dapat memberi penghidupan bagi kelompoknya dengan kekhasan mengkonsolidasikan luasan wilayah yang dikuasai oleh anggota-anggota koperasi. Walaupun tidak dapat dipungkiri, praktik-praktik elit masih menjadi polemik internal yang dapat mengganggu demokratisasi ekonomi dalam koperasi. “Selemah-lemahnya iman harus diperkuat di tingkat lokal. Serta, bagaimana mendorong perubahan kebijakan,” ungkap Hilma Safitri, tim penelitian Sawit Rakyat ARC. 

 

Masih ingin menyimak lebih detil, mari tonton diskusi selengkapnya dalam tautan di bawah ini:

TPOLS Network Talk 1 (🇮🇩): Bagaimana Plasma Memiskinkan Petani?

 

Pin It on Pinterest