Tulisan ini merupakan catatan perjalanan dari kegiatan pendidikan tentang “Gender, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja Pekerja di Perkebunan Sawit” yang diadakan SBSS (Serikat Buruh Sawit Sejahtera) dan jejaring solidaritas buruh sawit di Desa Kebur, Musi Rawas, Sumatera Selatan pada Januari 2023. Pada tulisan ini kami menggambarkan kondisi desa yang terkepung perkebunan sawit, perubahan ruang hidup masyarakat menjadi buruh, dan dinamika ajakan berkumpul bersama serikat pekerja.
Semenjak kabut tipis masih menyelimuti pepohonan di pekarangan rumah, para perempuan sudah berjalan bergerombol dengan menggendong keranjang berisikan parang di punggungnya. Para laki-laki telah memacu bising motor grandong nya, beberapa berboncengan dengan istrinya yang menandu egrek dibahu. Langkah mereka beradu dengan laju truk bermuatkan tujuh hingga delapan ton buah sawit hilir-mudik di jalanan berliku khas Lintas Sumatera. Satu menuju kebun karet. Satu menuju kebun kopi. Sisanya berbondong-bondong menuju ke kebun sawit yang kebanyakan dikuasai swasta.
Tepat di tengah-tengah keramaian pagi hari itu, kami singgah di sebuah desa kecil bernama Desa Kebur yang terletak di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Sebuah desa yang luasnya 25,78 kilometer persegi ini benar-benar ada dalam posisi terhimpit. Sejumlah 950 penduduk setempat yang semula menanam tanaman pangan, berkebun kopi, menyepah karet kini perlahan meninggalkan tanah-tanah kecilnya untuk menjadi buruh di perusahaan perkebunan sawit seperti PT. Gunung Sawit Selatan Lestari (GSSL), PT. Pratama Palm Abadi (PPA), PT. Dapo Agro Makmur (DAM), dan PT. Agro Kati Lama (AKL) yang sudah mengelilingi wilayah ini sejak sebelum 2011 silam.
“Di sini kami hidup sudah dikepung kebun sawit, Bang,”
Ujar seorang buruh perempuan.
Perjalanan darat malam hari dari Palembang ke Lubuk Linggau membuat kami bangun terlampau siang untuk mengikuti para pekerja berangkat ke kebun. Sebagai gantinya, menjelang siang hari, berbekalkan masker ala kadar, topi, sepatu boot karet, kaca mata, dan motor grandong pinjaman, kami memulai observasi ke area kebun sawit. Tujuan utama kami saat itu adalah satu: mengabarkan ajakan berkumpul anggota serikat pekerja disela-sela waktu istirahat buruh perkebunan yang menunggu jam pulang.
Perjalanan dari basecamp menuju wilayah perkebunan sawit terdekat, yaitu PT. Agro Kati Lama (AKL) menempuh waktu 90 menit. Kami akan menyeberangi sungai. Kemudian membelah wilayah menyerupai hutan melalui setapak jalanan tanah merah yang terjal, berlumpur, sekaligus berdebu. Menurut kawan kami, ini merupakan rute paling aman bagi pemula. Sekaligus rute paling tragis untuk menyaksikan secara langsung proses cengkeraman perusahaan perkebunan terhadap ruang hidup warga-warga Desa Kebur: tanah, air, udara dan semua yang bisa dirasakan itu dirampas dengan seenaknya.
Perubahan Ruang Hidup
Menuju ke kebun, kami melewati jembatan yang membentang di atas Sungai Beliti yang airnya berwarna hijau ke abu-abuan. Sungai Beliti yang merupakan salah satu anak Sungai Musi adalah satu-satunya sungai yang membelah wilayah Kebur dengan fungsi yang cukup vital bagi kehidupan warganya. Warga yang hidup di tepian sungai ini kerap kali melakukan kegiatan mandi-cuci-kakus.
Aktivitas rumah tangga warga seringkali dituduh mencemari sungai akibat penggunaan sabun yang mengandung bahan kimia ketika mereka mencuci atau mandi dan hanyut hingga ke hilir. Namun, dalam skala yang lebih besar, ulah perusahaan perkebunan sawit dan pabrik kelapa sawit lah perubahan kualitas air terjadi secara signifikan. Beragam masalah baru yang mencuat kini, diantaranya: tingginya intensitas banjir bandang dengan muatan tanah, muatan zat kimia berbahaya, dan semakin berkurangnya populasi ikan yang dapat dipancing di sungai.
Sejenak kami mengingat masa kecil dulu. Salah satu di antara kami merupakan seseorang yang tumbuh di dekat aliran sungai. Ia mengaku senang berenang di aliran sungai yang airnya berwarna coklat tanah dan tidak peduli meskipun sampah-sampai melalui tubuhnya. Sementara itu, seorang kawan justru menyesal pernah mandi di air sungai ini:
“Saya nyesel karena pernah berenang disini. Air sungai ini ternyata udah tercemar bahan kimia perkebunan,”
Mendengar penyesalan salah seorang teman, benar kiranya, menjadi dewasa artinya memang menghilangkan sedikit kesenangan dalam bermain-main. Setelah beranjak dewasa kini, sekiranya cukup jelas, kami tidak boleh cukup senang-senang main air saja. Kami tahu bahwa sungai tidak seharusnya tidak seperti ini. Tentunya, salah satu hal paling utama yang mencemari sungai ini sudah sangat jelas di depan mata yaitu sistem perkebunan sawit yang ditanam sejenis (monokultur) secara masif.
Perkebunan sawit menggunakan berbagai produk kimia pestisida untuk mengendalikan hama. Sayangnya, produk kimia yang digunakan ini tidak memberikan manfaat baik bagi lingkungan, sebut saja tanah yang kehilangan zat hara dan air tanah yang tercemar kimia. Tidak jarang pula, residu zat kimia tidak dikelola dengan baik, dibiarkan mengaliri parit yang hilir drainasenya menjadi tempat mandi, cuci, kakus warga Desa.
Jika berpikir dengan sudut pandang pihak perkebunan, satu-satunya cara pembuangan limbah cair perkebunan yang paling ‘murah’ bagi mereka adalah melalui sungai, baik secara sengaja maupun tidak sengaja; melalui resapan air tanah atau saluran air yang ada di perkebunan.
Dari sungai tempat kami mengamati limbah, hanya perlu sedikit tanjakan curam, sebelum akhirnya ponsel kami kehilangan sinyal di antara pohon-pohon kebun campuran tinggi berbatang besar yang menyerupai hutan. Mayoritas kebun campuran ditanami oleh kopi dan tanaman buah-buahan yang dilakukan secara turun-temurun. Selain kebun campuran, terdapat pula pohon karet yang akan disadap, serta sepetak tanah tandus dan pohon-pohon yang sudah menjadi arang dibiarkan begitu saja.
“Tanah itu kadang buat ditanamin sawit lagi, kadang juga warga yang ingin menanam kopi,”
Ujar kawan yang warga Kebur.
Sementara itu, pohon sawit muda yang ditanam mandiri oleh warga setempat menyembul di antara semak-semak yang belum merunduk. Diam-diam sedang bergulat dengan putaran waktu: akankah tiga tahun mendatang dia dapat berbuah banyak dan dijual mahal, atau, mati diinjak-injak kawanan babi hutan?
Selamat Datang di ‘Tanah’ Perkebunan Sawit
Tidak jauh dari tempat itu, hamparan gulma yang merambat sudah menyelimuti gundukan tanah di tengah hutan. Itu tandanya, kebun sawit sudah dekat.
Benar saja, 100 meter kemudian terdapat portal besi menghalangi jalan setapak tanah merah. Selamat datang di perkebunan sawit, dunia yang selalu punya batas tegas atas luasan sawitnya. Tapi sengaja kabur atas luasan tanggung jawab pemenuhan hak buruh dan kerusakan ruang hidup.
Begitu masuk areal perkebunan, jalanan beralaskan kerikil dan pohon sawit yang ditanam dengan jarak sama menyambut dalam hening. Sebuah rute jalan yang monoton dan mudah dilupakan.
Ada hal menarik yang kami temukan di sana. Jika jeli, pada sisi kanan dan kiri kami, bertebaran artefak kehidupan buruh sawit. Salah satunya yaitu bekas kaleng susu kental manis yang berkarat, ditinggalkan, dan ditancapkan pada ujung batang daun sawit yang mengering. Sekilas, memang tampak seperti sampah kaleng biasa, namun dari situ, bukti dari kelicikan perusahaan sawit tentang extra fooding [1] masih dijalankan.
“Setiap seminggu sekali, perusahaan memang memberi susu kental manis kepada para pekerja semprot dan pupuk untuk ‘puding’ (sebutan mereka untuk extra fooding). Katanya, susu kental manis ini buat menetralisir racun dan memenuhi nutrisi para pekerja kebun,”
Ujar pekerja perempuan bagian penyemprotan.
Jelas hal ini tidak benar. Susu kental manis (SKM) sesungguhnya lebih banyak mengandung gula ketimbang kandungan yang bermanfaat guna ketahanan tubuh atau pemenuhan nutrisi lainnya. [2] Lebih dari pada itu, dengan menggunakan susu kental manis, perkebunan sebenarnya mendorong para pekerja agar tetap dapat bekerja, dengan anggapan bahwa ‘perhatian akan kesehatan pekerja sudah dipenuhi, jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak bekerja karena kondisi tubuh sedang tidak baik-baik saja’. Embel-embel ‘susu dapat menyehatkan’ jelas mereka gunakan untuk mengelabui para pekerja.
Sekitar 200 meter dari tempat kami berhenti tadi, ada sebuah tanah lapang kecil dan pondok hujan [3] yang tampak sepi tanpa pekerja satu pun. Di lapangan itu, setiap paginya, buruh melakukan pendisiplinan yaitu mengikuti upacara/apel pagi. Pada setiap apel pagi juga, pekerja yang terlambat, kerja di bawah standar produktivitas perusahaan, tertangkap mencuri, atau membawa pulang brondol sawit dibariskan terpisah dan dihukum di lapangan itu.
“Kami diminta datang pukul 6 pagi bang ke kebun, dan diwajibkan ikut apel pagi setiap hari. Orang-orang yang terlambat juga ada hukumannya sendiri, ”
Ujar salah seorang mantan pekerja perkebunan.
Beranjak sekitar 1 kilometer dari lapangan itu, kami menemui pondok hujan lainnya. Tepat waktu, pondok hujan masih sangat ramai oleh pekerja beristirahat dan menunggu waktu pulang dan kami sangat disambut oleh para mereka. Pekerja laki-laki dan perempuan bercampur menjadi satu dalam tempat itu, ada pula yang meneduh di bawah pohon-pohon sawit, atau nongkrong di atas motor grandongnya.
Tidak lupa, di sudut-sudut pekerja terdapat beberapa pekerja yang masih menggunakan helm merah (para mandor) yang was-was menunggu komando, kapan jam yang tepat untuk mengaktifkan mesin pencatat jam pulang pekerja. Meski demikian, mereka relatif terbuka kepada kami, apalagi perihal permasalahan kerja.
Kami berjalan-jalan santai, sebagian dari kami berbaur dalam diskusi pekerja. Sebagian berkelana dari grup ke grup. Ke mana pun langkah kami, tujuan kami tetap sama, mengabarkan undangan berkumpul bersama serikat.
Dalam obrolan santai siang itu, kami menemukan bukti-bukti pemakaian Alat Perlindungan Diri (APD) yang masih jauh dari kata aman. Mulai dari masker kain yang ternyata masih mereka kenakan setiap harinya, pemakaian apron yang sudah robek dan berlubang, helm yang sama sekali tidak ada, kacamata untuk para pekerja juga tidak ada, dan lainnya. Bila beruntung, pekerja akan mendapatkan pinjaman barang bagus ketika ada audit. Kondisi yang miris ini diceritakan dengan setengah marah sekaligus tertawa.
“Ini bang foto saja apron saya, dan tolong laporin ya, bang,”
Gerutu seorang buruh perempuan ketika saya izin untuk mendokumentasikan apronnya yang sudah robek dan berlubang.
“Memang, kami selalu memakai masker (kain) ini memang. Ini juga kita dapat beli sendiri!”
Ujar seorang buruh laki-laki.
“Pernah beberapa kali kami memakai perlengkapan (APD) bagus yang diminta oleh perusahaan. Tapi itu hanya saat ada kunjungan tamu audit saja. Mereka (perusahaan) menyimpan seluruh perlengkapannya di gudang. Dan sepengetahuan saya, mereka hanya punya kurang dari 100 buah per perlengkapan itu. Makanya sebagian dari kami kadang diminta untuk bekerja dan sebagian tidak saat ada tim audit atau tamu datang,”
Ujar salah satu buruh menjelaskan bagaimana tindakan perusahaan terkait pemberian APD ini.
Sebentang tali tambang plastik di antara dua bilah bambu yang penuh sampiran APD itu membuat kami menelusuri proses kerja yang dilakukan pekerja setiap harinya. Lagi-lagi, kami menemukan betapa tidak berkomitmennya perusahaan atas tanggung jawab kesehatan dan lingkungan buruh dengan tidak tersedianya air bersih guna sanitasi dan konsumsi para pekerja.
Untuk dapat mendapatkan air bersih selama bekerja, para pekerja hanya memanfaatkan botol minum 1,5 liter yang mereka bawa dari rumah. Selain itu, kondisi ini juga memaksa mereka menggunakan genangan air yang ada di sekitar perkebunan untuk mencuci pakaian mereka setelah bekerja, dan memasak air untuk membuat kopi atau mie instan.
“Kami memang menggunakan genangan air itu untuk cuci baju, kadang juga masak air buat bikin kopi atau masak mie instan. Air bersih paling kami bawa dari rumah, itu pun kadang tidak cukup untuk bekerja selama satu hari,”
Kata seorang ibu pekerja.
Dari sini, kita dapatkan jika proses terkontaminasinya para pekerja dari bahan kimia berbahaya selain dari paparan langsung lewat hidung dan masker pelindung yang tidak memadai, juga dari konsumsi air yang telah tercemar di sekitar perkebunan sawit. Di sisi lain, hal ini juga dampak dari kebijakan perusahaan yang hanya diam akan masalah ini.
“Malam ini, kita berkenalan dan cerita lebih lanjut ya di tempat kita biasa berkumpul. Besok, kita diskusi dengan ibu Dosen,”
Ujar kawan kami memungkas diskusi.
Satu jam berlalu begitu cepat, sekitar pukul 15:30 tepat pada waktu pulang bagi pekerja, begitu juga kami. Butuh waktu 90 menit untuk keluar dari wilayah perkebunan dan hutan menggunakan sepeda motor. Kami bertegur-sapa dengan seorang perempuan pekerja yang pulang berjalan kaki seraya jalan pulang. Memang masih banyak pekerja sawit yang pulang dan pergi, dari rumah ke kebun atau sebaliknya dengan berjalan kaki di kontur wilayah perbukitan dan hutan.
“Sebagian dari kami memang masih banyak yang pulang dan pergi jalan kaki bang. Justru rumah mereka memang tidak terlalu jauh dari batas hutan, jadi mereka jalan kaki. Sekitar satu jam mungkin mereka baru sampai rumah,”
Ujar salah satu pekerja perempuan di perkebunan sawit.
Demi Menggapai Setiap Hari, di Tengah Penetrasi Perkebunan
Hari ini, boleh dikatakan, kami beruntung dapat berkumpul di tengah kumpulan buruh sawit seperti ini. Pertama, siang hari memang merupakan jam berkumpul sebelum pulang. Kedua, kami berada di tengah kondisi serikat pekerja mulai menghangat. Meskipun, beberapa dari mereka masih awas atas kedatangan kami yang asing, dan beberapa justru sebaliknya.
Sejatinya, kondisi ini merupakan sebuah hal yang paling berharga bagi serikat pekerja. Bertahun-tahun dari kondisi yang tidak terorganisir, akhirnya dibentuklah serikat pekerja yang semula dimotori oleh buruh yang juga warga setempat.
“Dulu sekitar tiga tahun lalu, mereka cenderung menutup diri dan kabur pergi ketika orang luar seperti kawan-kawan yang datang menemui mereka di perkebunan. Sekarang mereka sudah mau (terbuka) dengan kawan-kawan dan langsung diajak untuk duduk bersama mereka,”
Ujar salah satu pengurus serikat
Dalam hal ini, serikat memang menjadi agen dengan peranannya yang penting dalam mengagitasi dan menyadarkan para pekerja terkait kondisi kerja mereka. Apalagi dalam kasus serikat di Kebur, penggerak serikatnya adalah warga Kebur itu sendiri, sehingga rasa kepercayaan dapat tumbuh secara organik.
Prosesnya, jatuh bangun serikat pekerja melakukan 1001 pendekatan yang salah satunya mencoba menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak dasar pekerja menggunakan jalur pengaduan RSPO. Hal seperti ini, tentu dialami oleh serikat buruh mana pun – yang membedakan mungkin hanya arah juang dan praktiknya saja.
Melalui keberhasilan ini, perlahan pekerja mulai meyakini kehadiran serikat pekerja punya posisi yang vital untuk kesejahteraannya. Sehingga, beberapa mulai ‘mengadu’ nasibnya pada pengurus serikat. Beberapa yang dulunya penuh ketakutan dan bungkam, kini mulai antusias bila ada tamu datang. Walaupun praktiknya, masih sedikit yang berani untuk berjuang pada garda depan serikat, terutama pada rentang umur 20 – 25 tahunan.
Tapi kami sadar betul, waktu yang terus bergulir harus dapat menjawab tantangan solidaritas ini. Salah satu cara yang dapat kami tawarkan bersama yaitu mendengarkan dan menghubungkan. Seperti hari ini, penjelajahan kami untuk melihat dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap ruang hidup rupanya terus merembet pada permasalahan kesehatan pekerja, baik laki-laki maupun perempuan mengalami ragam keluhan kesehatan yang disadari atau tidak muncul dalam relasi kerja.
Demikian kami mencoba menggapai hari ini, kemudian kami mengumpulkan strategi untuk memantik diskusi lingkungan dan dampak kesehatan.
Bersambung ke bagian 2
Keterangan:
[1] Extra fooding merupakan bagian dari kebijakan perusahaan yang dianjurkan pemerintah, yaitu dengan pemberian makanan tambahan untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi pekerja. Pemberian extra fooding juga dapat diberlakukan bagi pekerja yang sehari-harinya lembur dan terpapar bahan kimia berbahaya. Pemberian extra fooding harus tepat gizi.
[2] Susu kental manis tidak dapat menjadi sumber gizi, memiliki kandungan gula tinggi yang berbahaya bagi anak dan dewasa, dan sebaiknya tidak untuk diseduh, melainkan digunakan sebagai toping. Lihat penjelasan Badan POM RI dalam https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/141/PENJELASAN-BADAN-POM-RI-Tentang–Pemberitaan-Susu-Kental-Manis–SKM-.html dan konfirmasi berita oleh Kominfo https://www.kominfo.go.id/content/detail/37074/disinformasi-susu-kental-manis-tidak-boleh-diseduh-dengan-air-panas/0/laporan_isu_hoaks
[3] Istilah setempat, sebuah tempat yang menyerupai pos penjaga yang tanpa personel penjaga. Diperuntukkan untuk beristirahat, berteduh, dan berkumpul serikat pekerja selagi menunggu jam pulang.