Agar silahturahim tidak terputus, pinjam dulu seratus, begitu pesan dari stiker WhatsApp. Namun, bila teman berhutang hingga 115 miliar rupiah atau terjebak siklus utang tak berujung yang menyebabkan kekerasan dalam keluarga, apakah itu masih normal?
Berdasarkan diskusi bersama Atmaezer (Ara) H. Simanjuntak[1], Eep (Cepot) Saefulloh[2], dan jejaring TPOLS (Transnasional Palm Oil Solidarity) yang dipandu Noor Vita Anggraeni[3], utang yang dialami buruh dan petani plasma bukan hal yang wajar, melainkan konsekuensi dari sistem monokultur yang boros dan desakan finansialisasi[4] global yang memunculkan bantuan perkebunan melalui program dan bank komersial. Berangkat dari itu, tulisan ini merangkum diskusi TPOLS Network Talk 2: Bentuk-Bentuk Utang di Perkebunan Sawit yang disiarkan pada Juli lalu untuk mengungkapkan mitos-mitos utang dan siasat menagih utang di perkebunan sawit.
Mitos 1: Berhutang itu wajar kok!
Pertanyaan ‘kepada siapa kamu berhutang?‘ membuka mitos #1: berhutang itu wajar. Bagi petani dan buruh di perkebunan, utang dianggap wajar untuk bertahan hidup di tengah panen yang tak pasti dan upah murah. Keduanya biasa berhutang pada lembaga non keuangan (misalnya, teman, tetangga, warung terdekat, dan kerabat) dalam jumlah di bawah puluhan juta. Atau, berhutang pada lembaga keuangan (misalnya, Credit Union (CU), Financial Technologi (fintech), multifinance, mau pun pinjaman online seperti AkuLaku) yang menyasar kemudahan akses untuk kegiatan produksi dan konsumsi, seperti, membeli bibit, pupuk, motor, walet, hingga membangun rumah. Tidak seperti jenis utang pertama yang jaminannya hanya janji manis semata, jenis utang kedua setidaknya harus mengagunkan akta tanah atau SK (Surat Ketetapan) pengangkatan karyawan dari perusahaan untuk menjamin kredit tidak macet.
Walaupun terdengar wajar, nyatanya berhutang bukan merupakan hal alamiah yang ditakdirkan dalam Lauh Mahfudz. Dengan kondisi historisnya, Ara Simanjuntak mengungkapkan tiga prinsip utama yang menjadikan utang dikondisikan. Pertama, berkaca dari era kolonial hingga kini, utang dikondisikan secara sistematik oleh bisnis perkebunan yang boros. Kedua, sebab musabab dari utang adalah surplus Negara Utara[5] yang memiliki banyak uang tapi sedikit tanah untuk berkebun, selagi Negara Selatan[6] yang masih punya tanah didorong untuk membuat perkebunan dengan komoditas “pesanan” melalui skema kredit. Ketiga, utang muncul sebagai dua mata koin, pertama, Ia memberikan harapan untuk memperpanjang kegiatan produksi. Disisi lainnya, bila tidak dikelola dengan baik maka utang dapat menjerat dengan bunga tinggi hingga kebangkrutan.
Layaknya hubungan toksik, bisnis perkebunan di Negara Global Selatan yang sudah dililit kreditur berabad-abad, tetap saja mengaplikasikan utang secara serampangan hingga abai risiko teror finansial. Misalnya, di Kepulauan Karibia, utang perkebunan menyebabkan ketimpangan antara pendapatan negara dan rumah tangga yang persentasenya mencapai 150%. Dampaknya, prioritas pendapatan negara digunakan untuk utang, bukan untuk kesejahteraan masyarakat maupun rehabilitasi pasca bencana alam. Layaknya bom waktu, teror ini turut mengakibatkan negara harus berhutang lagi dan lagi ke bank, lembaga internasional, dan Negara-Negara Global Utara.
Begitu pula dengan di Indonesia, sejak 1980-an aliran kredit dari negara global utara dengan pembangunan perkebunan sawit tidak dapat dipisahkan. Semula, kredit pembangunan perkebunan dialirkan melalui program PIR (Plasma Inti Rakyat) yang mengalirkan tanggung jawab risiko dari perusahaan ke petani plasma atau pekebun yang dianggap lebih efisien. Seiring waktu, masih dengan komoditas sawit, model silih berganti yang didukung dengan berbagai peraturan pemerintah. Salah satunya Inpres rencana aksi nasional tentang kebutuhan sumber daya ekstra untuk mendanai sawit berkelanjutan dan ekspor sumber pendanaan lain dari hibah dana lingkungan dan perdagangan karbon.
Perkembangan Model Kredit Pembangunan Perkebunan Sawit
Skema | Besaran Bunga | Sumber Pendanaan | Capaian |
Replanting dari BPDPKS (2017 – sekarang) | 6% p.a. + masa tenggang 5 tahun | BPDPKS (pungutan ekspor); bank komersial ; eksplorasi sumber baru (pribadi/perusahaan/kemitraan lain) | Rp. 9,25 T; 337.647 Ha (150.770 smallholder) |
Kredit replanting dari BPDPKS (2016) | 12.5% p.a. | BPDPKS 41% (pungutan ekspor); Bank komersial 59% | 2.200 smallholder (per April 2016) |
KUR (2007 – 15) | 14% p.a. | APBN via KEMENKO | total peminjam: 400.000 kebun |
KPEN-RP (2006 – 15) | 10% p.a. + masa tenggang 5 tahun | APBN via KEMENTAN | 75.888 smallholder |
KKPA (1992 – 2006) | 14% p.a. (sampai 1998) | Kredit likuiditas BI 75%; Bank komersial 25% | 155.211 Ha (76.157 smallholder) |
16% p.a. (setelah 1998) | Transfer sisa likuiditas BI ke PNM 100% | ||
PIR-TRANS (1986 – 90) | Perusahaan meminjam di 11% p.a. pada periode pembangunan kebun. 14% p.a. setelah panen perdana. Bank meminjam di 4% dari BI. | Kredit likuiditas BI 55% di 6.5% p.a. ; Bank komersial 45% di harga pasar ; Kementerian Transmigrasi mendanai pembangunan rumah dan infrastruktur publik | 138.327 Ha Inti ; 362.529 Ha Plasma |
PIR (1977 – 90) – ragam | 10.5% p.a. (sebelum buka lahan). Subsidi untuk smallholder 4.5% p.a. | KEMENTAN 70% ; Bank komersial 25% ; BI 5% | 67.754 Ha Inti ; 163.781 Ha Plasma |
Sumber: Ara Simanjuntak dan Adaptasi dari Pramudya, Hospes, Termeer (2017)
Dengan berbagai kemudahan utang untuk membangun perkebunan, pada tahun 2020 rasio utang Indonesia mencapai 40% yaitu tertinggi sejak era krisis moneter. Dampak dari peningkatan rasio utang menjerat rumah tangga yang paling rentan yaitu rumah tangga petani dan buruh. Tercermin dari 20 tahun belakangan ini, dalih besaran utang pembangunan perkebunan sawit menyebabkan para petani plasma diambil tanahnya, lalu berhutang di atas tanahnya sendiri. Sementara buruh kebun diambil tenaganya untuk diupah murah, minim perlindungan sosial, dan fasilitas kerja yang layak sehingga berhutang tiap hari untuk kebutuhan harian. Alih-alih penyelesaian yang sistematik, pemerintah justru membiarkan bisnis utang merampok masyarakat perkebunan, misalnya dengan kehadiran Bank 47 (tengkulak yang datang jam 4 – 7) yang bunganya tidak bisa dinegosiasi.
Jadi, mari kita tanamkan sekali lagi, utang merupakan suatu hal yang dikondisikan atas dasar kepentingan produksi berskala besar bernama bisnis perkebunan, sehingga mustahil untuk menyebutnya sebagai suatu hal yang terjadi secara alamiah. Ada pun, utang-utang yang kini menjerat negara perkebunan turut didukung oleh kepentingan pasar global.
Mitos 2: Kemitraan Inti-Plasma Membagikan Keuntungan untuk Petani!
Salah satu masalah utang yang paling tidak wajar dan fenomenal yaitu petani plasma terlilit utang fantastis sampai 115 miliar pada perusahaan perkebunan. Mitos yang beredar yaitu #2: kemitraan inti-plasma perkebunan sawit memberikan keuntungan untuk petani sawit. Akan tetapi, bila menguntungkan kenapa justru petani harus menanggung milyaran utang pembangunan. Lantas, bagaimana dengan porsi perkebunan sawit dan negara yang tetap untung. Sebenarnya apa yang terjadi?
Sesungguhnya, konflik kemitraan di perkebunan sawit lahir dari ketidaksetaraan keuntungan petani dengan perusahaan. Berdasarkan data Sawit Watch, per 2022 terdapat 9% konflik kemitraan yang diproyeksikan meningkat drastis dalam lima tahun terakhir. Beragam bentuk konfliknya, mulai dari unjuk rasa petani mitra yang berhutang hingga 10 milyar, bentrokkan antara kelompok buruh dan tani untuk memanen buah, hingga beragam bentuk kekerasan oleh aparatur negara yang berupaya membentengi aset perkebunan agar tidak dipanen petani. Menurut Cepot, konflik tersebut disebabkan gagalnya peran pengawasan pemerintah dan minimnya transparansi dalam perjanjian dan penyelenggaraan program-program kemitraan.
Sejarah awal utang dalam relasi kemitraan inti-plasma dapat dijelaskan melalui Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan (Kep Dirjenbun) Nomor: 345/Kpts/RC. 206/11/2015 tentang Satuan Biaya Maksimum Per Hektar Pembangunan Kebun Peserta Program Revitalisasi Perkebunan Tahun 2015 dan 2016. Keputusan tersebut mengatur satuan biaya maksimum luasan pembangunan perkebunan sawit (per hektar) di tiap-tiap daerah. Misalnya, pada wilayah III (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau) untuk membangun perkebunan sawit, tiap hektarnya menghabiskan biaya pembangunan infrastruktur (P0 – P3) maksimal 60,2 juta/hektar. Yang mana, nanti beban pembayarannya dibagikan kepada petani yang memiliki 1 kapling (2 hektar). Maka, dalam konteks pembangunan kebun sawit di Sanggau, misalnya, seorang petani plasma menyewakan 2 kapling tanahnya pada perusahaan, maka Ia berhutang modal sebesar 120,4 juta/hektar.
Sementara itu, hal yang menjadi masalah adalah ketika utang pembangunan kebun sudah lunas, akan tetapi terdapat berbagai “dana talangan”. Temuan dana talangan merujuk pada biaya operasional perkebunan plasma yang dikeluarkan perkebunan inti (yang kebanyakan) tanpa konsensus, transparansi dan notaris. Misalnya, di Gorontalo dana talangan dikeluarkan untuk perbaikan alat kerja, misal mesin rusak, perawatan, dan lain-lain. Dengan hal yang kurang lebih sama, di Sanggau total dana talangan tiba-tiba mencapai 115 Miliar Rupiah. Biaya yang tidak disadari ini menumpuk dan ujung-ujungnya keluarga harus terpaksa melepas tanah untuk menjadi buruh dan terjebak dalam lilitan utang antar generasional!
Jadi, menelisik lebih jauh, utang sebaik apa pun namanya, kredit, kemitraan inti-plasma, program revitalisasi tetap merupakan utang yang bila tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan kebangkrutan. Literasi tentang berapa jumlah piutang yang harus dibayar, model pembayaran, bunga, dan relasi talangan ini menjadi penting untuk dikenali.
Mitos 3: Utang yang Memalukan Perlu Disembunyikan
Bagi orang tua, utang merupakan aib yang sebaiknya disembunyikan saja. Sementara itu, hal yang kita coba tutupi nyatanya merupakan masalah yang di alami oleh lebih dari 16,2 juta buruh dan komunitas masyarakat sekitar perkebunan. Agar dapat mendudukkan masalah utang menjadi masalah bersama, penting untuk keluar dari mitos #3: Utang yang Memalukan Perlu Disembunyikan untuk memetakan kapan dan mengapa buruh dan komunitas masyarakat terjebak dalam utang dalam tiga babak.
Pada babak pertama, salah satu pola umum dalam perkebunan sawit yaitu kaum tani yang kehilangan tanah atas berbagai alasannya akhirnya terpaksa menjadi buruh upah murah di perkebunan. Keputusan untuk menjadi buruh bukan pilihan murah dan gratis. Misalnya, pemuda-pemudi di NTT yang tidak dapat menggarap tanah memilih untuk berhutang pada keluarga dan tetangga untuk kontraktor agar bisa bekerja di perusahaan perkebunan. Di sisi lainnya, keluarga petani gurem yang tinggal di sekitar perkebunan untuk mengelola petak tanah-tanah kecil akhirnya kalah bersaing dengan sawit dan membuka menjual tanahnya dengan kredit selagi mereka merantau kerja ladang atau pabrik kayu ke negeri Jiran.
Babak kedua, bekerja sebagai buruh nyatanya merupakan jebakan dalam kerja-kerja per satuan hasil yang melelahkan dengan upah murah di kondisi kerja yang buruk dan minim fasilitas. Misalnya, di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, buruh kebun harus mengajukan kredit untuk alat produksi, misalnya egreg, motor, rice cooker, hingga kebutuhan pangan keluarga pada koperasi bentukan perusahaan.
Babak ketiga, saking banyaknya utang harian, upah yang dibayar per 30 hari sekali itu hanya lewat saja. Pada beberapa kasus, kredit juga menyasar biaya berobat di rumah sakit yang menjadikan buruh bahkan dapat terlilit utang hingga wafat.
Akumulasi utang dari ketiga babak turut mempengaruhi dinamika sosial komunitas masyarakat perkebunan. Pertama-tama, hal yang jarang didiskusikan yaitu dampak beban ganda kelompok perempuan yang harus ucap kali menjadi buruh tempel. Mereka bekerja pagi hari di perkebunan sawit, siang hari pada kebun keluarga, dan belum lagi kerja perawatan keluarga. Tidak jarang, permasalahan utang ini juga mudah memicu KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Berbagai permasalahan lainnya, yaitu ketergantungan buruh dengan utang di perusahaan dan perbankan yang menyaratkan agunan SK turut mempengaruhi militansi gerakan buruh. Pasalnya, ketika mengagunkan SK, buruh menjadi lebih takut berserikat karena takut di PHK karena takut tidak bisa bayar utang.
Di sisi lain, fenomena utang juga membuat keterkaitan baru antara buruh dan masyarakat setempat. Misalnya, dalam beberapa kasus di Kalimantan Timur, buruh sawit membeli tanah dari masyarakat adat yang terlilit utang dengan cara kredit. Tentunya, sudah bisa ditebak, apa yang mereka tanam. Yap, lagi-lagi sawit.
Siasat Menagih Utang
Pada akhirnya, ketika kondisi utang dikondisikan, maka para debitur menyesuaikan. Utang memang bukan sesuatu hal yang lahiriah, akan tapi cerita tentang utang mencerminkan kehidupan di bawah bayang-bayang industri perkebunan yakni perasaan tidak berdaya serta harapan untuk masa depan. Lantas, bagaimana menjadikan utang menjadi lebih bermanfaat, terdapat beberapa siasat yang didiskusikan:
- Dalam konteks plasma, logika keuntungan 80% perusahaan perkebunan dan 20% petani plasma tidak lagi relevan dengan besarnya utang awal perkebunan dan tumpukan dana talangan.
- Dalam konteks plasma, penting untuk menyasar usaha perkebunan dengan dorongan transparansi. Selama ini, bank pertanian selalu muncul sebagai solusi kredit berkelanjutan. Hanya saja, kredit berkelanjutan hanya bisa berlangsung apa bila bisnis dilakukan secara. “saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat dan saling menguntungkan”
- Dalam konteks masyarakat dan calon-calon buruh perkebunan, penting untuk menyasar broker-broker tenaga kerja yang melakukan penipuan
- Dalam konteks serikat buruh dan komunitas petani plasma, manifestasi untuk merenggut koperasi bukanlah hal yang tidak mungkin dibayangkan. Bentuk-bentuk sederhana untuk menyediakan koperasi kebutuhan rumah tangga, simpan pinjam, hingga kelak menjadi lebih kompleks, misalnya koperasi produksi untuk perkebunan plasma masih memungkinkan dibayangkan.
Catatan
[1] Atmaezer H. Simanjuntak atau biasa dipanggil Ara merupakan kandidat doktoral di Departemen Antropologi kampus Northwestern yang mempelajari tentang utang pada masyarakat perkebunan dan yang terbaru tentang PSR (Program Strategis Nasional) perkebunan rakyat.
[2] Eep Saefulloh atau biasa dipanggil Cepot merupakan peneliti di Sawit Watch.
[3] Noor Vita Anggraeni atau biasa dipanggil Vita merupakan peneliti independen.
[4] Finansialisasi merupakan fase monopoli peran industri keuangan. Fase ini menunjukkan pergeseran industri dari komoditas benda (industri jasa dan barang, misalnya industri sawit) menjadi komoditas tak benda (industri keuangan, misalnya industri perbankan) [Baca lebih lanjut secara singkat di sini].
[5-6] Negara Global Utara (negara bagian utara, misalnya Eropa, Amerika, Rusia) dan Negara Global Selatan merupakan sebutan politis-populer pasca perdagangan global yang juga merujuk pada ketimpangan, marginalisasi, dan mekanisme penarikan keuntungan antara negara yang harus memproduksi dan negara yang mengolah. Baca lebih lanjut pada [2].