Dearah Perbatasan Indonesia-Malaysia Jalur Perdagangan Manusia. Foto: Google, 2019
KOMPAS.com – Gubernur Nusa Tenggara Timur ( NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat, langsung mengumumkan moratorium pengiriman tenaga kerja dari wilayahnya ke luar negeri, beberapa saat setelah dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Presiden, Jakarta, Rabu (5/9/2018) lalu.
Sikap tegas Viktor tersebut, lantaran maraknya kasus human trafficking ( Perdagangan manusia) di wilayah yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia.
Viktor menyebut, NTT harus memiliki tenaga kerja yang terampil, namun bukan dikirim ke luar negara, melainkan bekerja di negeri sendiri.
“Saya akan pergi ke Malaysia untuk mengajak saudara-saudara kita yang bekerja sebagai buruh, kembali bangun NTT. Mereka kembali sebagai owner di tanah mereka sendiri,” kata Viktor kepada sejumlah wartawan di Kupang, belum lama ini.
Hingga kini, TKI legal asal NTT yang bekerja di Malaysia berjumlah sekitar 50.000 orang. Angka itu, belum termasuk tenaga kerja ilegal yang jumlahnya juga mencapai puluhan ribu orang. Para TKI ilegal itu sebagian besar merupakan korban perdagangan manusia. Mereka bekerja di berbagai sektor seperti perkebunan dan asisten rumah tangga.
TKI NTT yang meninggal di Malaysia meningkat
Berdasarkan data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), Kupang, jumlah TKI asal NTT yang meninggal di Malaysia dalam enam tahun terakhir ini cenderung meningkat setiap tahunnya.
Kepala BP3TKI Kupang, Siwa mengatakan, pada tahun 2013 sebanyak 31 orang TKI meninggal, tahun 2014 menurun menjadi 21 orang, tahun 2015 sebanyak 28 orang, tahun 2016 naik menjadi 49 orang dan tahun 2017 meningkat menjadi 62 orang. Kemudian, pada tahun 2018 jumlah TKI yang meninggal meningkat pesat mencapai 105 orang dan tahun 2019, hingga November tercatat 105 orang meninggal.
Khusus untuk tahun 2019, TKI yang paling banyak meninggal di Malaysia, berasal dari Kabupaten Ende dan Kabupaten Malaka serta Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Siwa menyebut, mereka tidak memiliki dokumen atau TKI ilegal yang menjadi korban perdagangan orang.
“Sebagian besar TKI yang meninggal undocumented atau ilegal, yang menjadi korban human trafficking,” ungkap Siwa kepada Kompas.com.
Menelusuri jejak perdagangan manusia di NTT
Melihat maraknya kasus itu, Kompas.com pun menelusuri salah satu daerah yang menjadi kantong perdagangan manusia di Pulau Timor yakni Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Cuaca pagi itu Kamis (21/11/2019) cerah. Sinar mentari pagi terasa menyengat kulit, meski waktu baru menunjukan pukul 9.00 WITA. Kendaraan Toyota Avanza warna hitam yang saya tumpangi bersama penumpang lain, perlahan-lahan mulai keluar dari Kota Kupang menuju Soe, ibukota Kabupaten TTS.
Ongkos bayar mobil rental tersebut sekali jalan Rp 50.000 Jarak dari Kupang yang merupakan ibu kota provinsi NTT ke Soe, yakni 110 kilometer. Kondisi jalan negara yang mulus dengan lalu lintas yang tidak terlalu padat, mempercepat waktu tempuh kami yakni selama kurang dari dua jam.
Sebelum tiba di lokasi, saya sudah berkomunikasi dengan beberapa rekan saya di Soe yang konsen dengan masalah perdagangan orang. Ada tiga orang teman yang saya hubungi, di antaranya Megi Fobia, Rudi dan Ike. Mereka sudah merekomendasikan beberapa tempat di Kabupaten TTS yang menjadi lokasi para korban perdagangan manusia.
Kurang 5 menit pukul 11.00 Wita, mobil yang saya tumpangi tiba di Kota Soe. Kami sepakat bertemu di rumah Ike. Kami lalu duduk berdiskusi sembari menyeruput kopi panas. Meski waktu siang, namun udara Kota Soe memang dingin dan sejuk karena topografinya berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Soe dijuluki kota dingin, karena cuacanya lebih dingin ketimbang ibu kota kabupaten lainnya di Pulau Timor.
Usai duduk ngobrol, kami langsung bergerak ke lokasi pertama yakni di Desa Fatukoko, Kecamatan Mollo Barat, yang berjarak sekitar 24 kilometer arah selatan Kota Soe. Jalan ke Desa Fatukoko memang mulus, karena melintasi jalan negara Trans Timor.
Namun, sekitar empat kilometer jalan masuk ke Desa Fatukoko, belum beraspal dan rusak parah, sehingga kami memutuskan untuk mengendarai dua sepeda motor sambil berboncengan. Butuh tenaga ekstra untuk sampai ke desa itu, karena harus melintasi dua sungai kering dan jalan terjal berlubang dan penuh bebatuan besar berserakan di sepanjang jalan.
Bahkan, jelang 100 meter hendak masuk ke Kampung Fatukoko, sebatang pohon kelapa kering dengan panjang empat meter melintang menutup jalan. Praktis tak ada jalan alternatif. Kami berempat dengan sekuat tenaga lalu memindahkan batang pohon kelapa untuk melanjutkan perjalanan.
Tiba di Desa Fatukoko, kami langsung menuju rumah seorang warga yang bernama Agustina Naku. Kami disambut ramah oleh Agustina dan beberapa orang kerabatnya. Mereka ramai-ramai menyampaikan keluhan soal beberapa anak mereka yang hilang tanpa kabar hingga hari ini, akibat menjadi korban perdagangan manusia.
Uang sirih pinang
Sejumlah anak asal Desa Fatukoko yang menghilang tanpa kabar, di antaranya Metilia Usboko, Marselia Nenobota, Amelinda Takentanu dan Silvina Usboko. Agustina Naku mengaku, putrinya Metilia Usboko yang berusia 26 tahun, menghilang dari rumahnya sejak menjadi murid kelas VI di SD Fatukoko.
Metilia hilang dari rumah, sekitar pertengahan April 2004 silam. Metilia sempat meminta izin untuk bekerja bersama sepupunya di Kupang.
“Saat itu, dia datang bersama seorang laki-laki yang mengaku dari Soe. Laki-laki itu meminta saya agar Metilia bekerja di Malaysia sebagai pekerja di restoran dengan gaji yang besar. Dia kasih saya uang sirih pinang sebesar Rp 1,5 juta,” ungkap Agustina.
Uang yang diberikan itu lanjut Agustina, kemudian diterimanya dan digunakan untuk keperluan sehari-hari. Meski menerima uang, Agustina sempat menolak anaknya bekerja ke luar negeri. karena masih terlalu kecil. Apalagi saat itu Metilia masih sekolah. Metilia kemudian minta izin lagi untuk menghubungi sepupunya, tapi rupanya dia kabur sampai hari ini dan tak kunjung kembali.
Beberapa minggu setelah pergi dari rumah, Metilia sempat menghubungi kakak kandungnya yang bekerja di Kalimantan. Dia mengabarkan kalau Metilia sudah berada di Jakarta.
“Anak saya yang kerja di Kalimantan lalu menelpon saya dan memberitahu kalau saat ini Metilia sudah di Jakarta. Saya pun sempat terpukul mendengar kabar itu sehingga saya kasih tahu kakaknya agar menyampaikan pesan ke Metilia, bahwa kamu sudah ambil keputusan untuk kerja sehingga harus dipikul sendiri, apalagi usianya belum pantas untuk bekerja,” ucap dia.
Yang Agustina ingat, Metilia hanya menelpon pada 2004 dan hingga kini tak pernah memberi kabar kepada keluarga tentang kondisi dan lokasi di mana dia bekerja saat ini.
“Saya sekarang bingung harus buat apa karena tidak tahu siapa yang membawa Metilia ke Jakarta, sehingga mau lapor polisi pun saya tidak punya bukti kuat. Saya sekarang hanya pasrah saja, apalagi suami saya juga sudah meninggal tahun 2003 lalu. Walaupun begitu saya masih optimis suatu saat anak saya pasti kembali ke kampung,” jelas Agustina dengan mata berkaca-kaca.
Agustina berharap, suatu hari kelak anaknya bisa kembali ke rumah. Meski sudah lama tak bersua, Agustina rupanya masih menyimpan kerinduan yang mendalam pada Metilia.
Dibawa kabur calo
Usai menggali informasi di Desa Fatukoko, kami berempat lalu kembali dan bergerak menuju Desa Bonleu, Kecamatan Mollo Utara. Di Desa Bonleu yang berada di bawah kaki Gunung Mutis (Gunung tertinggi di Pulau Timor), kami menemui seorang warga bernama Welmince Fallo Welmince Fallo bercerita, soal anaknya Dina Mariana Fallo yang hilang sejak 21 April 2015.
Menurut Welmince, putri sulungnya menghilang dari rumah saat dirinya bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Mendengar kabar anaknya raib dari rumah, dia segera meminta izin majikannya untuk kembali ke Indonesia pada Mei 2015 silam.
“Saya sudah bekerja di Malaysia sejak tahun 2007 dan setiap tahun saya selalu izin pulang libur ke kampung. Anak saya ada dua orang dan Dina ini anak pertama, sedangkan adik laki-lakinya saat ini masih kelas VI SD Bonleu,” jelas Welmince.
Dina sempat menghubungi Welmince lewat telepon genggam. Saat itu, sang ibu dalam perjalanan menuju kampung halaman Soe, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS). Waktu berbicara jarak jauh dengan dirinya, anaknya Dina tengah berada di Surabaya.
Tetapi percakapan berlangsung singkat lantaran telepon genggam Dina direbut oleh seorang pria. Pria itu menjelaskan ke Welmince kalau Dina akan diperkerjakan dengan baik. Si pria yang tak menyebutkan namanya itu tak menjelaskan kapan dan di mana Dina akan bekerja.
Tetapi sejak itu, nomor selular Dina anaknya tak lagi bisa dihubungi. Setiba di kampung, Welmince segera berembuk dengan keluarga. Termasuk mencari tahu dari tetangga mengenai keberadaan Dina.
Titik terang mengenai keberadaan Dina muncul saat anak perempuan bernama Marlis Tefa dideportasi dari Malaysia. Marlis dikembalikan lantaran tak memiliki dokumen resmi, saat menjadi TKI di negeri jiran itu. Kepada keluarga Welmince, Marlis mengatakan kalau Dina bekerja di Malaysia bersama dirinya.
Mereka berdua bersama anak-anak perempuan lain direkrut oleh tiga calo Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia di Kupang. Ketiga calo itu yakni berinisial MO, AM dan RT Bersama orang tua Marlis dan keluarganya, Welmince melaporkan tiga orang calo ke Kepolisian Sektor Mollo Utara pada akhir April 2015.
Kasus tersebut telah diproses oleh polisi dan tiga calo itu telah divonis tiga tahun penjara oleh pengadilan setempat dan sudah mendekam di Rutan Soe, TTS.
Calo incar anak perempuan keluarga miskin
Welmince hanyalah satu dari sedikit orang tua yang berani melaporkan kasus kehilangan anak ke kepolisian. Sebab orang tua lainnya tak berani melapor ke polisi karena takut dan juga rasa sungkan. Jumlah anak perempuan yang menghilang dari rumah di TTS tak sedikit.
Di Desa Bonleu, selain Dina Mariana Fallo dan Marlis, ada juga Yetri Liem, Serli Liem, Silpa Fallo, Vony Fobia dan Ida Ola. Dari penelusuran Kompas.com pada empat desa di tiga kecamatan di TTS, anak-anak perempuan meninggalkan rumah karena termakan bujuk rayu para calo perusahaan pengerah jasa tenaga kerja.
Para calo berkeliaran di desa-desa miskin TTS untuk merekrut calon TKI. Semua anak-anak perempuan yang terekrut pun harus bekerja secara ilegal di luar NTT dengan dokumen yang dipalsukan. Berbagai cara ditempuh para calo untuk merekrut calon TKI.
Umumnya mereka mengincar anak perempuan belia dari keluarga miskin. Ada juga calo yang menyerahkan sedikit uang alias “uang sirih pinang” kepada orang tua agar mengizinkan anaknya bekerja menjadi TKI di luar negeri. Rata-rata besaran uang sirih pinang yang diberikan berkisar Rp 1,5 juta – Rp 5 juta.
Sementara jika orang tua tetap berkeras menolak, para calo membawa kabur anak-anak perempuan dengan iming-iming diperkerjakan di tempat layak dengan gaji yang tinggi. Iming-iming lainnya adalah hidup mewah.
Saat ini, Kabupaten TTS menjadi daerah strategis untuk para calo memburu calon TKI. Sebabnya, di daerah ini termasuk banyak keluarga yang miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2014, jumlah penduduk miskin di Kabupaten TTS mencapai 124.010 atau 27,53 persen dari total jumlah penduduk 456.152 jiwa.
Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, pendapatan per-kapita warga TTS berkisar Rp 2 juta lebih, dengan penghasilan rata-rata per keluarga mencapai Rp 1,5 juta per bulannya. Sebagian besar warga di kabupaten TTS bekerja sebagai petani penggarap lahan.
Pengakuan calo perekrut TKI ilegal
Seorang calo berinisial RT, yang diwawancarai Kompas.com di Soe, membantah kalau dirinya terlibat dalam kasus perdagangan anak dibawah umur. RT mengaku, direkrut secara resmi oleh salah satu PJTKI di Kota Kupang. Menurut RT, sebagai calo dirinya dijanjikan uang sebesar Rp 1 juta untuk satu orang calon TKI oleh perusahaan PJTKI.
Namun, ketika dia berhasil merekrut Dina Mariani Fallo dan Marlis Tefa, uang yang dijanjikan perusahaan tak juga diterimanya sampai dirinya sekarang mendekam di penjara. Dia mengaku merekrut anak-anak perempuan sekadar menolong.
Anak-anak perempuan ini, ucap RT, meminta pekerjaan karena mengaku sulit mendapatkan uang di kampung.
Desak Gubernur NTT untuk bertindak
Relawan Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT dan Peneliti di IRGSC, Ardy Milik, mendesak Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, agar lebih fokus mengatasi masalah perdagangan manusia di NTT.
“Mengenai persoalan perdagangan orang. Kita menyangsikan kebijakan pemerintah NTT yang inkonsisten. Satu sisi hendak menindak tegas pelaku perdagangan orang, tetapi hingga kini tidak ada kejelasan penanganannya,” kata Ardy.
Hal itu disampaikan Ardy, menyusul sejumlah pernyataan kontroversi yang disampaikan Viktor dalam berbagai kesempatan. Menurut Ardy, ada beberapa masalah krusial yang menghantui NTT yang merupakan warisan dari kepemimpinan sebelumnya.
Masalah tersebut yakni tingkat ketiga terkorup, pendidikan terendah, provinsi termiskin, provinsi darurat perdagangan orang, angka kematian ibu, dan anak yang tinggi dan krisis air.
Menurut Ardy, Viktor harus menentukan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah itu selama periode kepemimpinannya. Namun, Ardy menyebut masalah itu tidak akan bisa selesai begitu saja.
Ia berharap, pemerintah fokus pengatasan yang melibatkan para pihak lintas sektoral, tidak sebatas hanya mendengar tim ahli, tapi tidak ada kebijakan berarti. Semisal, nasib moratorium tambang dan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia asal NTT hingga kini tidak ada kejelasan.
Ardy mengatakan, jumlah korban perdagangan manusia makin tinggi, akibat migrasi non prosedural berpuluh tahun lampau. Pihaknya mencatat sedikitnya 2.000 kasus perdagangan orang. Anehnya, ada rencana mengirim 1.000 orang untuk menjadi pekerja di kebun kelapa sawit di Malaysia.
“Ada apa di balik ini? Kita mencurigai adanya kepentingan inventasi plus eksploitasi manusia yang dikirim dan okupasi lahan lahan strategis yang ditinggalkan,” ujar Ardy.
“Sementara kita tahu bahwa ada 95.751 pekerja migran Indonesia (Migrant Care 2016-2017) di Malaysia, kemungkinan korban asal NTT di Malaysia akan berdatangan sampai 40 tahun ke depan,” sambungnya.
Ardy menjelaskan, pada usia satu tahun kepemimpinan Gubernur Viktor dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi, masyarakat sipil berharap visi dan misi harus dijalankan tidak sebatas jargon tegas dan pernyataan kontroversial.
Pernyataan kontroversi oleh Gubernur NTT, seolah olah hendak menyelesaikan semua, tapi hanya selesai dalam citra yang tegas tidak menyentuh akar soal. Karena itu, pemerintah NTT harus melibatkan para pihak lintas sektor dan mengakomodir kajian yang sering dihelat akbar di hotel berbintang.
Kebijakan yang mampu menanggulangi kemiskinan, korupsi, perdagangan orang, krisis air dan stunting yang tinggi di NTT.
Upaya maksimal
Secara terpisah, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, mengaku prihatin atas banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia di Malaysia.
Dia menyayangkan warga NTT memilih menjadi TKI ilegal di luar negeri karena menjadi TKI ilegal tidak mendatangkan keuntungan bagi para pekerja itu sendiri.
“Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apalagi,” kata Viktor kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019). Viktor mengaku, pihaknya selama ini kesulitan mendeteksi keberadaan TKI ilegal asal NTT yang bekerja di luar negeri.
“Mereka kan TKI ilegal. Kita tidak tahu mereka tinggal di mana. Kalau tidak terdata, bagaimana kita mau tahu keberadaan mereka,” ujarnya. Menurut dia, kebanyakan TKI ilegal yang dikirimkan ke luar negeri kerap menjadi korban human trafficking. Kasus meninggalnya TKI ilegal tidak akan berhenti dari tahun ke tahun.
“Polisi Malaysia saja kewalahan karena saat dikejar, mereka terus menghindar dan kabur ke hutan,” ujarnya. Dia mengaku, guna menekan kasus human trafficking terjadi pada pekerja asal NTT, pihaknya akan berkoordinasi dengan BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Sekarang ini kita tidak tahu sehingga kita tunggu saja kalau dia hidup makmur dan sejahtera kita ucapkan syukur alhamdulilah. Kalau meninggal ya kubur. Mau apa lagi, karena tidak ada upaya lain,” ujar Viktor.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menguak “Human Trafficking” di NTT: Berkedok Uang Sirih Pinang, Incar Anak Keluarga Miskin”, https://regional.kompas.com/read/2019/11/27/10104891/menguak-human-trafficking-di-ntt-berkedok-uang-sirih-pinang-incar-anak?page=all#page2.
Penulis : Kontributor Kupang, Sigiranus Marutho Bere
Editor : Aprillia Ika