“Selama bekerja saya dan teman-teman terpaksa mengkonsumsi air hujan yang kami tampung sebab tidak ada sumber air lain. Kondisi air yang kami tampung tersebut sama sekali tidak baik bagi kesehatan saya
dan teman-teman karena air yang kami tampung tersebut disalurkan dengan mengunakan atap seng yang sudah berkarat. Selama saya tnggal dan bekerja di perkebunan kelapa sawit saya selalu mengunakan air hujan untuk kebutuhan setiap hari”
Johan Nifu bertutur mengenai kondisinya selama bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Johan, bersama 15 temannya berangkat ke Malaysia lewat Nunukan pada 1998. Alasan mereka merantau sederhana: menyambung hidup. Di kampung asalnya, kondisi perekonomian sangat sulit, dengan infrastruktur yang terbatas.
Namun, saat bekerja di kebun sawit, rupanya kondisi kerjanya tidak berbeda dengan perkebunan sawit di Indonesia. Johan bekerja sebagai buruh harian lepas dengan upah yang tidak seberapa. Johan juga berbagi pengalaman dengan para migran lainnya yang hidup dalam ketakutan tertangkap oleh otoritas setempat oleh sebab masalah dokumen.
Proses perekrutan dan migrasi yang dialami oleh Johan, 15 kawannya, dan jutaan migran yang bekerja di Sabah tidak jarang melalui penipuan, pemalsuan data hingga yang terburuk perdagangan manusia oleh agen swasta/ perekrut tenaga kerja.
Kisah-kisah ini didokumentasikan dengan baik dalam terbitan Asian Justice and Rights (AJAR) dan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang berjudul “Perjuangan, Luka, dan Harapan: Tuturan Korban dan Penyintas Perdagangan Orang Asal NTT”.
Untuk membaca lebih jauh, silakan buka pranala berikut: Perjuangan, Luka dan Harapan