Resume Diskusi
Diskusi tentang “Kondisi Buruh Perkebunan Sawit di Tengah Pandemi Covid-19” telah diadakan secara virtual pada 26 Juli 2020 yang diikuti oleh organisasi-organisasi anggota jaringan TPOLS. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terperinci mengenai kondisi yang saat ini dialami oleh buruh di perkebunan kelapa sawit di Filipina, Indonesia dan Malaysia. Kegiatan ini juga ditujukan sebagai sarana konsolidasi jaringan di mana anggota jaringan TPOLS dapat berinteraksi dan bertukar pikiran.
Diskusi ini secara garis besar menyoroti tentang kondisi kerja di perkebunan kelapa sawit serta bagaimana pandemi Covid-19 semakin memperparah kerentanan yang telah dihadapi buruh perkebunan sawit sebelumnya. Peserta diskusi juga menyoroti tentang lemahnya perlindungan terhadap buruh perkebunan dari resiko kesehatan dan ekonomi yang timbul dari pandemi Covid-19, baik dari pihak perusahaan maupun dari pemerintah nasionalnya.
Kondisi yang ada baik di Filipina, Indonesia dan Malaysia, buruh perkebunan secara umum berada pada kondisi yang serba tidak pasti dengan lemahnya jaminan kerja dan perlindungan. Dalam kondisi pandemi Covid-19, buruh yang cenderung dipekerjakan dengan status temporer atau berdasarkan kontrak berjangka mengalami penurunan pendapatan hingga setengahnya.
Hal ini terutama terjadi ketika perkebunan berhenti beroperasi sementara waktu (2-4 minggu) pada masa awal penyebaran pandemi (antara Maret-April). Pada periode tersebut, buruh tidak diberikan pekerjaan oleh majikan. Oleh karena buruh dipekerjakan dengan status harian lepas atau dengan sistem no work no pay, buruh tidak mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Penghentian sementara operasi produksi disebabkan oleh adanya kebijakan pembatasan aktivitas yang dikeluarkan oleh pemerintah nasional Filipina, Indonesia dan Malaysia. Pembatan aktivitas ini ditujukan untuk mencegah penyebaran infeksi virus. Secara normatif, kebijakan tersebut perlu diikuti dengan penerapan protokol kesehatan, seperti penjagaan jarak fisik, pemantauan dan pemeriksaan kesehatan dan penyediaan alat perlindungan diri masker.
Namun, peserta dari Filipina, Indonesia dan Malaysia melaporkan bahwa perusahaan perkebunan sawit tidak betul-betul menerapkan protokol kesehatan. Hanya sebagian kecil perkebunan yang melakukan monitor kondisi kesehatan buruh atau penyemprotan disinfektan di area perumahan pekerja.
Baca juga: Upaya Perlindungan Kesehatan dan Ekonomi Bagi Buruh Perkebunan Sawit Dalam Pandemi Covid-19
Pada konteks di Malaysia, buruh yang tidak dipekerjakan semasa produksi terhenti tidak mendapatkan pendapatan maupun bantuan finansial, baik dari perusahaan maupun pemerintah—pengecualiannya hanya pada kebun milik Sime Darby. Kondisi ini sempat memburuk hingga terjadinya persoalan kelaparan dan kelangkaan bahan pangan di beberapa perkebunan.
Baca juga: Solidaritas Dengan Buruh Migran Perkebunan Sawit Di Sabah Hadapi Pandemi Covid-19
Secara umum, kondisi yang paling mencolok di banyak perkebunan adalah rutinitas ‘normal’ dalam kehidupan sehari-hari di perkebunan. Rutinitas normal yang dimaksud adalah, pada konteks perkebunan yang menghentikan proses produksi—maupun perkebunan yang telah melanjutkan proses produksi—buruh bekerja seperti ‘biasa’ tanpa adanya pengurangan jam kerja maupun target kerja. Buruh bagian perawatan jarang mendapat masker pernapasan, baik pada kondisi sebelum maupun pada saat pandemi Covid-19.
Namun demikian, resiko penyebaran infeksi dan dampak kesehatan dan ekonomi tetap dirasakan oleh buruh perkebunan. Pada konteks Sabah, banyak buruh perkebunan di area Tawau milik Sabah Softwood dilaporkan terinfeksi oleh Covid-19. Laporan adanya infeksi juga terjadi di perkebunan milik Lonsum di daerah Kotawaringin Timur, Kalimantan Timur, Indonesia.
Meski demikian, tidak banyak informasi yang diketahui mengenai penyebaran pandemi di area perkebunan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses untuk ke area kebun dan letak geografis perkebunan yang kebanyakan berada di daerah yang terpencil dan terisolasi.
Di sisi lain, Covid-19 membuat perusahaan semakin memperketat penjagaan akses keluar masuk area kebun. Hal ini membuat informasi dari dalam area kebun semakin sulit di bawa ke luar. Selain itu, upaya penyaluran bantuan dari serikat maupun organisasi pendukung, seperti yang dialami oleh serikat SPN di Indonesia dan kesatuan SPIEU dan SFPA ke dalam area kebun menjadi semakin terbatas.
Pembatasan aktivitas dalam bentuk pembatasan akses keluar-masuk area perkebunan telah mengganggu akses buruh terhadap pemenuhan kebutuhan harian. Pembatasan aktivitas ini juga mengganggu jalur logistik yang menyebabkan barang kebutuhan dasar mengalami kelangkaan dan kenaikan harga. Dalam satu kasus di Kalimantan Timur, perusahaan menyuplai kebutuhan dasar buruh, namun dengan pemotongan gaji.
Baca juga: Kondisi Buruh Kebun Sawit di Indonesia dan Malaysia di Tengah Pandemi Covid-19
Pembatasan aktivitas juga berdampak dengan lebih ekstrim pada konteks Malaysia. Akibat penutupan area perbatasan dengan kontrol lebih ketat, banyak buruh migran yang sedang dalam perjalanan kembali ke Sabah dari kampung halaman, seperti dari NTT maupun Sulawesi Selatan terlantar di beberapa daerah transit seperti di pelabuhan Pare-Pare.
Pada kondisi di mana perkebunan sawit di Malaysia amat bergantung pada pasokan tenaga kerja buruh migran, penutupan area perbatasan ini mengganggu rekrutmen tenaga kerja. Pada beberapa kebun, perusahaan melakukan praktek perekrutan pekerja yang telah melebihi masa tinggal maksimal 10 tahun. Berdasarkan aturan perekrutan tenaga kerja asing di Malaysia, buruh migran perkebunan hanya diperbolehkan tinggal dan bekerja paling lama 10 tahun dan harus kembali ke pulang halaman.
Praktek perekrutan ini diketahui dan mendapat izin dari otoritas Malaysia melalui Jabatan Tenaga Kerja. Meski solusi ini dipandang sebagai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak, di mana perusahaan membutuhkan tenaga kerja, dan pekerja membutuhkan pekerjaan, namun praktek perekrutan ini berpotensi memunculkan masalah legalitas dokumen nantinya.
Di saat yang sama, pembatasan aktivitas serta penutupan perbatasan tidak menghentikan razia dan penangkapan buruh migran tidak berdokumen di Sabah maupun migran yang melintas melalui jalur tidak resmi. Hal ini kemudian berdampak pada semakin buruknya proses deportasi yang semakin memakan waktu lebih panjang akibat pembatasan penyeberangan wilayah perbatasan. Proses panjang deportasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan deportan di Pusat Tahanan Sementara di Sabah hingga memunculkan masalah over-kapasitas.
Di sisi lain, pemerintah lokal di Indonesia tidak betul-betul menyiapkan untuk kedatangan deportan. Area karantina untuk deportan, misalnya di Pare-Pare telah melebihi kapasitas. Pemeriksaan kesehatan untuk deportan juga tidak memadai, sementara deportan mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai pembawa virus. Deportan yang tiba di NTT saat ini telah mencapai 4.000 orang, dengan 219 di antaranya diketahui terinfeksi Covid-19.
Peristiwa deportasi yang diamati oleh Solidaritas Perempuan Anging Mamiri bersama Koalisi Buruh Migran Berdaulat ini juga berhasil mengungkap perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh deportan di Pusat Tahanan Sementara selama ini. Berdasarkan kisah yang berhasil dikumpulkan, deportan mengalami penyiksaan fisik dan psikologis selama di Pusat Tahanan Sementara. Selain itu, fasilitas kebersihan, kesehatan dan kebutuhan dasar sangat tidak memadai. Tidak sedikit deportan yang menderita penyakit ketika berada di ruang tahanan.
Baca juga: Deportan: “Kami Diperlakukan Seperti Binatang”
Sebagai ringkasan, Covid-19 telah memperdalam kerentanan yang telah dihadapi sebelumnya oleh buruh perkebunan kelapa sawit. Covid-19 juga telah mengungkap dan semakin memperjelas kondisi buruk yang selama ini dialami oleh buruh perkebunan kelapa sawit, mulai dari persoalan ketidakpastian kerja, upah rendah, keterisolasian hingga persoalan dokumentasi yang khususnya dialami oleh buruh migran.